AMINA WADUD
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat pada Matakuliah Pemikiran Modern dalam Islam
Dosen Pembimbing: Abdul Muthalib
Oleh :
Ati Puspita (1111032100055)
Dede Ardi
Hikmatullah (1111032100037)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
PENDAHULUAN
Saat ini, di dunia telah ramai dengan perubahan dan perkembangan
di segala bidang, termasuk salah satunya pada kemajuan di bidang ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan gender terhadap dehumanisasi-sosial mulai dilakukan para aktivis,
seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan kemitrasejajaran antara perempuan dan
laki-laki. Pendekatan gender melahirkan kesadaran sosial bahwa selama dalam realitas
sosial telah terjadi diskrimasi dan penganiayaan yang secara langsung atau
tidak langsung dirasakan terhadap dan oleh kaum perempuan itu sendiri. Di
antara hal baru yang giat dilakukan yaitu melakukan analisis atas beberapa atribut
sosial dan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi ketidakadilan sosial.
Selanjutnya, dalam konteks keagamaan mulai beredar isu pentingnya terhadap reinterpretasi ayat-ayat gender, untuk menemukan
atribut-atribut sosial yang selama ini masuk dalam penafsiran al-Qur'an, lalu menelaah kembali semangat keadilan dan kemanusiaan yang dibawa
oleh Islam. Kemajuan ini, di
satu sisi memberikan perubahan terhadap paradigma berpikir, telah menyita perhatian
intelektual muslim-feminis untuk melakukan pengembangan metodologis, guna melahirkan
penafsiran yang berperspektif gender dan berkeadilan sosial, diantaranya adalah
apa yang akan digagas oleh tokoh dalam pembahasan makalah ini yakni Amina Wadud
Muhsin.
Dalam pengantar salah satu bukunya, “Qur’an
Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab
Suci dengan Semangat Keadilan”, Amina menyatakan bahwa
bukan tentang teks al-Qur’an yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran
terhadap teks teks keagamaan itulah yang
membatasinya –yang telah dianggap lebih penting daripada al-Qur’an sendiri-. Amina juga mengungkapkan bahwa arti penting analisis tentang konsep
al-Qur’an tentang perempuan, harus diukur dari perspektif al-Qur’an sendiri, baik sebagai
kekuatan dalam sejarah, politik, bahasa, budaya, kecendekiawanan, dan
spiritualitas, maupun sebagai kitab suci.
Dalam makalah ini,
sedikit banyak akan kami uraikan mengenai
pemikiran dan ide pembaharuan dari Amina
Wadud
Muhsin, mulai dari biografi secara singkat, karya-karya intelektual, hingga beberapa pemikirannya,
khususnya berkenaan dengan perempuan dan kesetaraan gender.
B.
AMINA WADUD MUHSIN
1.
Biografi
Singkat
Amina
Wadud Muhsin
(selanjutnya dalam makalah ini disebut dengan Amina Wadud) lahir di Negara
Amerika Serikat pada tahun 1952 [1], ia merupakan warga Amerika Serikat
keturunan Afrika-Amerika (kulit hitam). Amina menjadi seorang muslimah kira-kira pada akhir tahun 1970-an [2], namun
berkat ketekunan dalam melakukan
studi keislaman ia
bias menjadi seorang pemikir yang bisa diandalkan dedikasi keilmuannya terhadap
Islam. Ia juga pernah selama tiga
tahun memberi kuliah pada Universitas Islam Internasional, di Kuala Lumpur,
Malaysia. [3] Sebelumnya, ia menyelesaikan studi di Universitas Michigan dan mendapat gelar
MA pada tahun 1982 dan gelar Ph. D pada tahun 1988. Selain
bahasa Inggris, Amina juga menguasai beberapa bahasa lain seperti; Arab,
Turki, Spanyol, dan Jerman.[4]
2.
Karya-karya
Intelektual
Amina termasuk tokoh feminis
muslim yang cukup produktif
baik berupa buku, artikel yang dimuat
dalam beberapa jurnal, seminar-seminar, dan beberapa proposal Research (proposal
penelitian) dalam bidang perempuan, gender, agama, pluralisme dan kemanusiaan.
Karya-karyanya tersebut antara lain: [5]
a.
Buku
Qur’an and Women: Rereading the Sacred Textform a Women’s perspective (Oxford
University Press: 1999).
Qur’an and Women (Fajar Bakti Publication,
Oxford University Press Subsidiary), Kuala Lumpur Malaysia (Original Eddition,
1992).
b.
Artikel
Alternatif
Penafsiran Terhadap Al-Qur’an dan Strategi KekuasaanWanita Muslim, dalam buku “Tirai Kekuasaan: Aktivitas KeilmuanWanita Muslim”,
Editorial Gisela Webb, Syracuse University Press, 1999.
Gender,
Budaya dan Agama: Sebuah Perspektif Islam, dalam buku
“Gender,
Budaya dan Agama: Kesederajatan di Hadapan Tuhan dan Ketidak
sederajatan di Hadapan Laki-laki”, Editorial Norani Othman
dan Cecilia Ng, Persatuan Sains Sosial, Kuala lumpur Malaysia, 1995.
Mencari
Suara Wanita dalam al-Qur’an, dalam Orbis Book,
SCM Press,1998.
Muslim
Amerika: Etnis Bangsa dan Kemajuan Islam, dalam buku”Kemajuan Islam; Keadilan, Gender dan Pluralisme”
Editorial Omid Safi, Oxford: One World Publication, 2002.
Parameter
Pengertian al-Qur’an terhadap Peran Perempuan dalam Konteks dunia Modern, dalam
Jurnal “Islamic Quarterly”, edisi Juli,1992.
Qur’an,
Gender dan Kemungkinan Penafsiran, dalam
Jurnal “Kesepahaman Muslim-Kristen”, Georgetown University, Washington DC.
Qur’an,
Syari’ah dan Hak Politik Wanita Muslim, makalah Simposium”
Hukum Syari’ah dan Negara Modern”, Kuala Lumpur Malaysia, 1994.
Wanita
Muslim: Antara Kewarganegaraan dan Keyakinan, dalam Jurnal “Women andCitizenship”.
Wanita Muslim
sebagai Minoritas, dalam “Journal of
Muslim MinorityAffairs”, London, 1998.
Ayat 4:34:
Sebuah Konsep Kedinamisan Hubungan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Islam, dalam “Malaysian Law News”, Edisi Juli, 1990.
Dari pergumulannya
sebagai aktivis wanita yang berupaya memperjuangkan
keadilan gender, ia berpendapat bahwa selama ini sistem relasi laki-laki dan wanita
di banyak negara sering kali mencerminkan adanya bias patriarkhi[6] sehingga mereka
(para wanita) kurang mendapat keadilan
yang proporsional.
Karya-karya Amina Wadud tersebut merupakan
bukti keistimewaan intelektualnya dalam
memandang fenomena ketidakadilan di
masyarakat sampai dewasa
ini. Maka, ia mencoba merekonstruksi
metodologis tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menghasilkan
sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan.
3. Metode Feminis
Amina mengasumsikan dasar kerangka pemikirannya adalah bahwa al-Qur'an tetap merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki
dan perempuan setara.
[7] Karena
itu, perintah dan petunjuk Islam yang termuat dalam
al-Qur'an semestinya diinterpretasikan dalam konteks historis quran yang spesifik. Mengenai penafsiran al-Qur’an ini, menurut pandangan Amina,
ada beberapa hal yang harus digarisbawahi, yaitu:
1. Tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif
Menurutnya, masing-masing dari
ahli tafsir sering melakukan beberapa pilihan subjektif dan terkadang hal itu tidak mencerminkan maksud dari nash-nya.[8] Sebuah
produk tafsir selalu dipengaruhi olah pengalaman subjektif dan latar belakang
masing-masing orang. Contoh sederhana, orang yang fanatik terhadap ilmu fiqih
maka ketika menafsirkan al-Qur'an maka ia akan lebih banyak
menggunakan pengalaman fiqih-nya.
2. Tidak
adanya pemahaman yang tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an
Tidak
adanya pemahaman yang tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah terjadi sejak ayat-ayat tersebut diturunkan dari waktu ke waktu.[9] Termasuk
adalah para sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Rasul
sekalipun sering berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan
ini pun sampai
kepada ulama mufassirin pada periode-periode
berikutnya. Jadi, tidak mengherankan bila kemudian muncul penafsiran-penafsiran yang
berbeda tentang makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
3.
Kategorisasi penafsiran al-qur'an
a) Tradisional: model
tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu, sesuai
kemampuan mufasir-nya, seperti kemampuan dalam bidang hukum, nahwu,
sharaf, sejarah, tasawuf dan sebagainya. Maka, tafsir
seperti ini bersifat atomistik, artinya penafsiran dilakukan
atas ayat perayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial
dan tidak ada upaya untuk mengenali tema-tema dan membahas hubungan al-Qur'an
dengan dirinya sendiri, secara tematis. [11] Dan
yang paling ironi, pada model penafsiran tradisional ini menurut Amina Wadud adalah
semuanya hanya ditulis oleh kaum laki-laki. Hal ini berarti bahwa subjektifitas, pengalaman
laki-laki dapat dimasukkan ke dalam tafsir mereka dan sementara wanita dan
pengalaman wanita diabaikan, maka wajar bila kemudian tafsir yang muncul adalah
menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan khas laki-laki (patrinial). [12]
b) Reaktif, tafsir model ini merupakan reaksi para pemikir modern terhadap
sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal
dari al-Qur'an. Tujuan dan metode yang digunakan berasal dari cita-cita dan
dasar pemikiran kaum feminis. Namun, terkadang analisis yang
dipakai tidak komprehensif dan sering menyebabkan
sikap egoisme perempuan yang tidak sesuai dengan sikap al-Qur'an sendiri
terhadap perempuan.
Maka, sebenarnya kelemahan ini bisa ditekan
bila mereka berpegang teguh pada konsep pembebasan terhadap
sumber utama (al-Qur’an) dari ideologi dan teologi Islam.[13]
c) Holistik, merupakan penafsiran yang melibatkan banyak persoalan, sosial,
moral, ekonomi dan politik modern, termasuk persoalan wanita yang muncul
pada era modern. [14] Satu
unsur khas untuk menafsirkan dan memahami setiap nash adalah nash sebelumnya yang disusun oleh penafsir yang
dipengaruhi oleh suasana bahasa dan budaya saat nash dibaca, maka hal
tersebut tidak dapat dielakkan dan dihindari. [15]
Melalui
kesadaran tersebut, Amina Wadud memberikan sebuah tawaran metode ketika akan
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an terutama ayat-ayat yang bias gender, yang
dikemasnya dalam tiga aspek penting, yaitu :
Ø Dalam konteks apa ayat tersebut
diturunkan.
Ø Bagaimana pengungkapan lalu apa yang dikatakannya dari komposisi tata bahasa teks ayat tersebut.
Untuk keperluan langkah dalam
teknis operasional ketika akan menafsirkan, setiap
ayat yang harus dianalisis adalah: [17]
1) Dalam konteksnya
2) Dalam konteks pembahasan topik yang sama dengan al-Qur'an
3) Menyangkut
bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan dalam
seluruh bagian al-Qur'an
4) Menyangkut sikap benar berpegang teguh pada
prinsip-prinsipal-Qur'an
Dengan metode
tawarannya tersebut, Amina sebenarnya ingin menangkap spirit dan ide-ide al-Qur'an secara utuh, holistik
dan integratif hingga tidak terjebak pada teks-teks yang
bersifat parsial dan legal formal. Hal ini dianggap penting, karena problem penafsiran
al-Qur'an sesungguhnya adalah bagaimana memaknai teks al-Qur'an yang terbatas
dengan konteks yang tidak terbatas. Karena, konteks
selalu mengalami perkembangan, apalagi pada waktu yang bersamaan kita
ingin menjadikan al-Qur'an selalu relevan dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
C. PEMIKIRAN AMINA WADUD
1. Poligami
Salah
satu isu yang dianggapnya bias nilai-nilai keadilan gender adalah persoalan
pembolehan poligami dalam ayat al-Qur'an, yaitu Surat al-Nisa’ ayat 3. Menurut Amina, ayat ini menerangkan tentang bagaimana perlakuan terhadap anak yatim, di mana sebagian wali laki-laki
yang mempunyai tanggung jawab untuk mengelola kekayaan harta anak yatim
perempuan, namun kebanyakan mereka tidak dapat berbuat adil terhadap anak
yatim. Maka ayat (4
: 3) tersebut adalah satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah
penyalahgunaan dari berbuat tidak adil terhadap hak anak yatim. [19]
Pada
satu sisi, al-Qur'an membatasi jumlahnya hanya sampai empat orang. Di lain
sisi, adanya
tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan dapat mengimbangi
tercampurnya harta anak yatim melalui tanggung jawab managemen. Inilah yang
sering dilupakan oleh para pendukung poligami yaitu bahwa keberadaan ayat ini
dalam rangka perlakuan adil terhadap anak yatim.
Amina
berpendapat ada beberapa alasan dalam berpoligami yang dengan bias
gender, bahkan alasan-alasan tersebut jelas tidak pernah ada dalam ayat-ayat al-Qur'an
sebagai sumber utama dalam pembolehan poligami itu sendiri. Alasan-alasan
tersebut yaitu:
Pertama,
alasan ekonomi (finansial),
Amina berpendapat bahwa dalam konteks masalah ekonomi seperti seorang
laki-laki yang secara finansial mampu hendaknya mengurus lebih
dari satu istri, lagi-lagi pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua wanita
adalah beban finansial, pelaku reproduksi, bukan produsen. Di dunia zaman ini, banyak wanita yang tidak memiliki maupun membutuhkan sokongan
laki-laki, karena satu hal, sekarang tidak bias diterima lagi bahwa hanya
laki-laki yang bisa bekerja, melakukan pekerjaan, atau menjadi pekerjaan di
luar rumah, yaitu pekerjaan yang digaji hanya didasarkan pada produktivitas.
Produktivitas pada gilirannya didasarkan pada berbagai faktor, dan gender
hanyalah salah satunya. Dengan begitu poligami bukan solusi yang sederhana
untuk masalah perekonomian yang kompleks.
Kedua,
istri mandul atau tidak dapat memberikan keturunan, pendapat umumnya bahwa berpoligami dibolehkan ketika si istri tidak dapat
mempunyai anak. Lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan
berpoligami dalam al-Qur’an. Namun demikian, keinginan mempunyai anak memang
naluri alami. Jadi, kemandulan laki-laki dan istri tidak meniadakan kesempatan
bagi salah satunya untuk menikah, maupun mengurus dan mendidik anak. Apakah
solusi yang mungkin untuk keduanya bila istri atau suami streril sehingga
pasangan itu tidak dapat mempunyai anak? Di dunia yang sedang perang atau
porak-poranda, masih banyak anak anak yatim muslim maupun non-muslim yang
menantikan uluran tangan cinta dan perawatan dari pasangan tanpa anak.
Barangkali umat muslim dapat merawat seluruh anak-anak dunia mengingat bencana di dunia
yang masih belum terpecahkan. Hubungan darah sendiri memang penting, tapi
mungkin menjadi tidak penting,
kalau dilihat dari penilaian akhir tentang kemampuan seseorang
untuk merawat dan mengasuh.
Dan Ketiga, untuk memenuhi
kebutuhan seks kaum laki-laki yang tinggi (hyperseks), [20] menurut Amina alasan
ini sangat mementingkan “ego
libido”
laki-laki, ia menyatakan ketidaksepakatannya. Alasan ketiga untuk berpoligami
ini selain tidak mempunyai sandaran dalam al-Qur’an, jelas-jelas alasan tersebut tidak Qur’ani karena berusaha untuk menyetujui nafsu laki-laki
yang tidak terkendali yakni jika kebutuhan seksual laki-laki tidak dapat
terpuaskan dengan satu istri, dia harus mempunyai dua, barangkali nafsunya lebih
besar dari pada dua, maka dia harus mempunyai tiga dan terus sampai empat orang
istri, baru
setelah empat prinsip al-Qur’an tentang pengendalian diri, kesederhanaan, dan
kesetiaan dilakukan. Karena,
pada awalnya istri disyaratkan untuk mengendalikan diri dan setia,
kebajikan moral ini penting untuk suami. Al-Qur’an jelas tidak menekankan pada
suatu tingkat yang lebih tinggi dan beradab untuk wanita sementara
membiarkan laki-laki berinteraksi dengan yang lain pada tingkat yang paling
hina. Sebaliknya, tanggung jawab bersama mengenai khalifah di
muka bumi diserahkan kepada separuh
kemanusiaan, sedangkan separuh lainya tetap menyerupai binatang.
Dengan demikian pendapat Amina Wadud
tentang tidak diperbolehkannya poligami karena memang alasan-alasan yang selama
ini diyakini tidak pernah ada dalam al-Qur'an. Poin
penting dari pemikiran Amina Wadud yaitu adanya upaya untuk
membongkar pemikiran lama dan mitos-mitos lama yang dibangun oleh budaya patriarkhi.
Upaya ini dimulai dengan melakukan rekonstruksi metodologi tafsirnya, adanya
mitos-mitos dan penafsiran yang bias patriarkhi dapat menyebabkan ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat
dan tidak sesuai dengan prinsip dan dasar semangat al-Qur'an.
Karena, menurutnya, al-Qur'an sendiri mendudukkan laki-laki dan perempuan dengan
sangat adil. [21]
2.
Hukum
Wanita sebagai Imam Shalat
Sebagaimana telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, menurut
Amina salah satu penyebab terjadinya
ketidakadilan dalam gender dalam kehidupan sosial adalah karena pengaruh
ideologi-doktrin penafsiran al-Qur’an yang bias patriarkhi. Karya-karya
tafsir tradisional
yang hanya ditulis oleh laki-laki, jelas sekali corak tafsirnya terkesan banyak meninggalkan kepentingan wanita. [22] Di dalam penafsiran semacam ini tidak ada upaya mendiskusikan tema-tema
tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Dari kritik yang dilakukan, kemudian ia
menggagas sebuah alternatif penafsiran yang diyakininya lebih memperlihatkan
kesetaraan gender. Sebuah tafsir khas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang
bias gender. Ia menyebutnya dengan tafsir “hermeneutika tauhid”. [23]
Pada tahun 2005 tepatnya hari Jumat tanggal 18 Maret tahun tersebut, Amina pernah menjadi khatib dan imam shalat Jumat di Synode House,
gereja Katedral St. John milik keuskupan di Manhattan New York, Amerika
Serikat. [24] Hal ini menimbulkan banyak perdebatan. Pro dan kontra kemudian bermunculan,
mengingat wanita yang menjadi imam shalat secara terang terangan hanya ia yang
berani untuk melakukannya di hadapan publik. Salah seorang tokoh yang pro Amina ialah Gamal al-Bana,
secara tegas ia mengatakan sepakat dengan apa yang dilakukan Amina. Sikap
mendukung ia ini didasarkan pada konsep imamah
dalam Islam yang termasuk kategori ijtihadiyah, dan ia mengungkapkan bahwa
tidak ada ayat al-Qur’an atau Hadist shahih yang secara tegas mengatakan imamah
itu hanya untuk laki-laki. [25] Selain al-Bana, Husein Muhammad, seorang Direktur
Pahmina Institute, mengungkapkan hal senada. Husein mengatakan bahwa jika kita
membaca dengan cermat kitab-kitab klasik kita akan menemukan pandangan yang
membolehkan bahwa seorang perempuan menjadi imam dari makmum laki-laki. Diantara
kitab-kitab itu adalah al-Majmu karya imam
Nawawi dan syarah atas kitab al-Mubadzah karya Abu Ishak al-Syirazi. Di sana terdapat tiga ahli fiqih
terkemuka yang membolehkan perempuan mengimami shalat laki-laki, yaitu Abu
Tsaur, al-Muzami, dan Ibnu Yani al-Thabari. Landasan pandangan dalam hal ini
mengacu pada “Hadist Ummu Waraqah”, [26] yang berbunyi:
Øدثنا ابونعيم قال Øدثنا الوليد قال Øدثتني جدتي عن ام ورقة بنت
عبدالله بن الØارث الانصاري وكانت قدجمعت القرآن وكان النبي صلى الله عليه Ùˆ سلم
قد امرهاان تؤم اهل دارها وكان لها مؤذن وكانت تؤم اهل دارها.
Hadist
di atas menceritakan bahwa Rasulullah telah memerintahkan Ummu
Waraqah untuk mengimami keluarganya dan ia mempunyai seorang muadzin dan menjadi
imam anggota keluarganya. Hadist ini diperoleh dari dua jalur, yaitu dari Ahmad
ibn Hambal dan Abu Daud. Pada riwayat Abu Daud ditemukan dua rangkaian
jalur sanad, yaitu Usman ibn Muhamad, Waki ibn Jarrah,
al-Walid, al-Lathif, Laily, dan jalur Hasan ibn Hammad,
Muhammad ibn Fudal, al-Walid. Sedangkan yang melalui riwayat Ahmad ibn Hambal
bertemu sanad al-Walid.[27]
Amina selain
menyatakan tidak ada ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa wanita tidak
boleh menjadi imam dan berpegang pada Hadist diatas, juga menyatakan bahwa
hukum yang ada sekarang kebanyakan diciptakan kaum pria sehingga terkesan
menghapus hak-hak wanita muslim. Wanita muslim kehilangan hak-hak intelektualitas
dan haknya menjadi pemimpin spiritual. Kaum muslim menggunakan interpretasi
sejarah yang salah dan mundur ke belakang zaman.
Kita
sebagai umat Islam yang hidup di abad ke-21, mempunyai mandat untuk memperbaiki
tanggung jawab partisipasi lelaki dan wanita. Kita harus saling bergandeng
tangan untuk memperbaiki posisi wanita yang selama ini dipandang sebagai “tekanan
seksual” belaka. Wanita bukanlah seperti dasi yang menjadi pelengkap busana.
Kapanpun lelaki melakukan kontak dengan wanita, maka wanita harus diperlakukan
secara sejajar dan seimbang,
begitupun dengan sebaliknya.
Amina dari kutipan khutbah menjelaskan
bahwa laki-laki dan wanita adalah dua kategori spesies diberi perhatian yang
sama dan diberkati dengan potensi yang sama. Al-Qur’an mendorong semua orang
yang beriman laki-laki dan wanita supaya mengikuti keimanan dengan tindakan.
Al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam penciptaan, tujuan
atau pahala yang dijanjikan. Pendapat Amina ini
tidak terlepas dari semangat feminisme yang mengalir dalam darahnya. Tentu
saja dipengaruhi lingkungan dimana ia hidup dan bersosialisasi, sehingga
berpengaruh pada pola pikir dan kepekaan terhadap fenomena yang terjadi di
sekitarnya. Munculnya model tafsir yang khas feminisme tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya realitas sosial, persentuhan dengan peradaban
barat, perkembangan global, dan gagasan tentang HAM / Hak Asasi Manusia. [28]
3.
Penciptaan
Manusia menurut Al-Qur’an dan Kesetaraan Laki-laki dan Wanita
Tujuan
utama sub-bab khususnya ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka.
Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk (Adam dan Hawa),
diciptakan di dalam rahim ibunya. Berbagai implikasi yang
serius telah diambil dari pembahasan dan ide-ide tentang penciptaan orang tua
pertama, yang
berdampak abadi pada sikap terhadap laki-laki dan wanita.
Dalam menjelaskan firman Allah tersebut, Amina menekankan
penjelasannya tentang pengertian dan maksud dari kata min, nafs
dan zawj. Menurutnya, kata min, memiliki dua fungsi, yang
pertama, digunakan sebagai preposisi ‘dari’, untuk menunjukkan makna menyarikan
sesuatu dari sesuatu lainnya. Adapun yang kedua, digunakan untuk mengatakan
‘sama macam atau jenisnya’. Setiap penggunaan kata min dalam ayat tadi
telah ditafsirkan dalam salah satu atau kedua makna tadi, sehingga hasilnyapun
berbeda.
Adapun maksud dari kata nafs, bisa digunakan secara umum
dan teknis. Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk
menunjukkan ciptaan lain selain manusia. Di dalam penggunaan secara teknis,
kata nafs dalam al-Qur`an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia
memiliki asal - usul yang sama. Meskipun secara tata bahasa
kata nafs merupakan kata feminin (muannats), namun secara
konseptual nafs mengandung makna netral, bukan untuk laki-laki, bukan
pula untuk perempuan.
Dalam catatan al-Qur`an mengenai penciptaan, Allah tidak pernah
merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki,
dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal - usul umat manusia adalah Adam. Al-Qur`an
bahkan tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs
Adam, seorang pria. Hal yang sering diabaikan ini sangat penting karena
penciptaan manusia versi al-Qur`an tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin
Demikian pula kata zawj, sebagai istilah umum, kata zawj digunakan dalam Al-Qur’an
untuk arti teman, pasangan yang biasanya kita pahami sebagai Hawa. Padahal
secara gramatikal zawj adalah maskulin, secara konseptual kebahasaan
bersifat netral, tidak menunjukkan bentuk muannats (feminin) atau mudzakkar (maskulin). Baik Adam maupun Hawa
diciptakan dari nafs yang sama, yang
penting bagi Amina, bukan bagaimana Hawa diciptakan, tapi kenyataan bahwa Hawa
adalah pasangan Adam. Pasangan menurut ia, dibuat dari dua bentuk yang saling
melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah sifat, karakteristik dan
fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini saling melengkapi sesuai kebutuhan
satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan
lainnya. Dengan pengertian demikian, penciptaan Hawa bagi Amina merupakan
bagian dari rencana penciptaan Adam.
Amina pun menepis mitos yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat,
yaitu bahwa Hawa merupakan penyebab manusia dilempar dari surga. Anggapan
ini jelas tidak sejalan dengan al-Qur’an, sebab peringatan Allah agar
menjauhkan diri dari bujukan syaitan telah ditujukan kepada keduanya, baik Hawa maupun Adam. [29]
4.
Pandangan
Al-Qur’an Tentang Wanita di Dunia
Amina Wadud berpendapat bahwa al-Qur’an tidak mendukung suatu
peran tertentu dan stereotip bagi
laki-laki dan wanita. Perlu dicatat bahwa semua
referensi tentang para tokoh wanita dalam al-Qur’an menggunakan suatu
keistimewaan budaya yang penting yang memperlihatkan penghormatan terhadap
wanita itu. Kecuali, Maryam, ibunda Isa, mereka tidak pernah dipanggil dengan namanya.
Sebagian besar berstatus istri dan al-Qur’an menyebut mereka dalam bentuk idhafah
yang mengandung salah satu kata Arab untuk istri: imra’ah, nisa’ atau zawj.
Bahkan wanita lajang disebutkan dengan dihubungkan dengan laki-laki tertentu: ukht Musa, ukht Harun. Prinsip umumnya, bahwa wanita harus
disapa secara terhormat. [30]
Al-Zamakhsyari menyatakan bahwa laki-laki lebih diutamakan oleh
Allah dalam hal kecerdasan, kondisi fisiknya, ketetapan hati dan kekuatan
fisik, walaupun ia mengatakan hal tersebut tidak dinyatakan di dalam Al-Qur’an.
Penafsiran ini membenarkan berbagai pembatasan atas hak-hak wanita untuk
mencapai kebahagiaan pribadi dalam konteks Islam, yang paling
menyusahkan adalah kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran ini dengan
Al-Qur’an sendiri daripada mengaitkannya pada mufassir-nya.
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal -
mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Menurut Amina Wadud, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah
yang menyatakan bahwa posisi pemimpin tidak tepat untuk wanita. Kisah
Bilqis dalam Al-Qur’an memuji perilaku politik dan agamanya. Di luar identifikasinya sebagai
wanita, tidak pernah ada disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan, atau pengkhususan
terhadapnya sebagai wanita yang memimpin. Seorang wanita yang lebih independen dan
memiliki wawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin suatu bangsa. Demikian
juga, seorang suami mungkin saja lebih sabar terhadap anak - anak. [31]
5.
Balasan
Adil bagi Wanita
juga Laki-laki menurut Al-Qur’an
Laki - laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap
sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak satupun
hal tersebut terlupakan dalam al-Qur`an sebagai kitab petunjuk, bagi
umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al-Qur`an telah menghimbau semua orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk menyertakan keimanan dengan tindakan, karena dengan begitu mereka akan diganjar
dengan pahala yang besar. Jadi, Al-Qur`an tidak membedakan pahala yang
dijanjikannya bagi wanita
ataupun laki - laki.
Dalam menjelaskan QS [40] : 39-40,
(waman ‘amila
shalihan min dzakari na
wuntsa wahuwa mukmin fa ulaika yadkhuluna al-jannah), Amina menekankan kata man dan ulaika. Kedua kata
tersebut mengandung pengertian netral, tidak laki-laki dan tidak pula khusus
perempuan. Sehingga masing-masing manusia akan memperoleh ganjaran bukan
berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas tindakan yang dilakukan oleh setiap
individu (lihat juga QS [6] : 94).
Berkenaan
akhirat, tanggung jawab dan pengalaman individu ini mendapatkan perhatian lebih
besar. Kematian, yakni perpindahan dari alam duniawi ke alam akhirat, pasti akan
dialami oleh setiap individu: “Tiap - tiap
nafs akan merasakan mati”
(QS. Ali Imran : 185). Jadi, balasan yang diberikan adalah berbasis pada amal
dan pengalaman individu, baik laki – laki maupun perempuan diganjar masing -
masing.
Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Jaatsiyah [45]: 21-22. Tidak ada seorang
pun yang dapat mengurangi atau menambah pahala yang didapat dari orang lain.
Tidak seorang pun dapat berbagi pahala atau berbagi hukuman dengan orang lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 48.
[32]
D. PENUTUP
Amina Wadud ialah
salah satu dari bagian tokoh Muslim dengan fokus progresif pada tafsir al-Qur'an. Risetnya mengenai
wanita dalam al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat
kaitannya dengan wanita Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan
gender. Tujuan Amina
adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi posisi
wanita dalam kultur muslim yang
menggambarkan maksud Islam mengenai wanita dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, tujuan spesifik Amina adalah menunjukkan kemampuan
penyesuaian pandangan dunia al-Qur’an terhadap persoalan dan dunia wanita
menurut konteks modern.
Amina menggunakan metode tafsir “hermeneutika tauhid” yang berarti, ia menggunakan metode tafsir tauhid sebagai hermeneutika.
Dengan metode yang digunakan dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1)
menurut konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam
Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan
di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang
menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.
Pemikiran Amina Wadud mulai dari penciptaan manusia sampai
persaksian perempuan adalah untuk menentang sebagian sikap dan hasil penafsiran
tentang wanita dan al-Qur’an. Penafsiran yang mengabaikan prinsip keadilan,
persamaan dan kemanusiaan sebagaimana lazimnya. Ia menganggap kesetaraan laki-laki dan wanita bukan berarti
sama. Ia mengakui adanya perbedaan penting antara laki-laki dan wanita. Maksud
kesetaraan menurutnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan
kewajiban yang sama pada tataran etika agama, dan mempunyai tanggung jawab yang
sama-sama signifikan pada tataran fungsi sosial.
E. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1993
Engineer, Asghar Ali. The Qur’an Women and Modern
Society. (tarj.) Agus Nuryanto,
“Pembebasan Perempuan”. Yogyakarta: LKiS. 2003
Http://nurulzainab40.blogspot.com/2013/05/pemikiran-feminisme-aminah-wadud_14.html, diunduh pada 19 September 2013
Library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=3778.
Makalah Pdf Bab
IV. Analisis Pemikiran AminaWadud Tentang
Hukum Wanita Sebagai Imam Shalat.
Library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=5882.
Rahman,Fazlur. Islam andModernity: Transformasi of an
Intellectual Tradition. (tarj.) Anas Muhyidin.
Jakarta: Pustaka. 1996
Saridjo, Marwan. Cak Nur: Diantara Sarung dan
Dasi &Musdah Mulia Tetap Berjilbab. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara. Cetakan
Kedua. 2005
Soleh, Khudori (ed.). Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta:
Jendela. 2003
Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2010
Wadud, Amina. Qur’an Menurut Perempuan. (tarj.) Abdullah Ali.
Jakarta: Serambi. 2001
Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab
Suci dengan Semangat Keadilan. (tarj) Abdullah Ali. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta. 2006
Www. livingislam. org
[2]Http://nurulzainab40.
blogspot. com/2013/05/pemikiran-feminisme-aminah-wadud_14. html, diakses
pada tanggal 16 September 2013 pukul17:59 WIB
[3] Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi &Musdah
Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), h. 123
[6] Patriarkhat dalam Kamus
besar bahasa Indonesia mempunyai makna tata kekeluargaan yang mementingkan
garis keturunan bapak. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
[9] Asghar Ali Engineer, The
Qur’an Women and Modern Society, (tarj.) Agus Nuryanto, “Pembebasan
Perempuan”, (Yogyakarta:LKiS, 2003), h. 22
[15] Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformasi of an Intellectual Tradition, (tarj.)
Anas Muhyidin, (Jakarta:
Pustaka, 1996), halaman Pendahuluan.
[18] Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermenutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 166.
library.
walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=3778, h. 44
[20] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan:
Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, (tarj.) Abdullah Ali, (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 144-146
library.
walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=3778, h. 45-48
library. walisongo. ac. id/digilib/download.
php?id=58, h.
61-62
library. walisongo. ac. id/digilib/download.
php?id=58, h.
62
[25] Marwan Saridjo, Cak
Nur: Diantara Sarung dan Dasi &Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 128
library. walisongo. ac. id/digilib/download.
php?id=58, h.
65-68
[29]Http://nurulzainab40.
blogspot. com/2013/05/pemikiran-feminisme-aminah-wadud_14. html, diakses pada tanggal 19 September 2013
[30] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab
Suci dengan Semangat Keadilan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 71-75
[31] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab
Suci dengan Semangat Keadilan, h. 75-78
[32]Http://nurulzainab40.
blogspot. com/2013/05/pemikiran-feminisme-aminah-wadud_14. html diakses pada tanggal 19 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar