Selasa, 03 Desember 2013

TOKOH PEMBAHARU ISLAM



AMINA WADUD
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat pada Matakuliah Pemikiran Modern dalam Islam
Dosen Pembimbing: Abdul Muthalib
Oleh :
Ati Puspita (1111032100055)
Dede Ardi Hikmatullah (1111032100037)





JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 



A.                PENDAHULUAN

Saat ini, di dunia telah ramai dengan perubahan dan perkembangan di segala bidang, termasuk salah satunya pada kemajuan di bidang ilmu-ilmu sosial. Pendekatan gender terhadap dehumanisasi-sosial mulai dilakukan para aktivis, seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan kemitrasejajaran antara perempuan dan laki-laki. Pendekatan gender melahirkan kesadaran sosial bahwa selama dalam realitas sosial telah terjadi diskrimasi dan penganiayaan yang secara langsung atau tidak langsung dirasakan terhadap dan oleh kaum perempuan itu sendiri. Di antara hal baru yang giat dilakukan yaitu melakukan analisis atas beberapa atribut sosial dan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi ketidakadilan sosial.

Selanjutnya, dalam konteks keagamaan mulai beredar isu pentingnya terhadap reinterpretasi ayat-ayat gender, untuk menemukan atribut-atribut sosial yang selama ini masuk dalam penafsiran al-Qur'an, lalu menelaah kembali semangat keadilan dan kemanusiaan yang dibawa oleh Islam. Kemajuan ini, di satu sisi memberikan perubahan terhadap paradigma berpikir, telah menyita perhatian intelektual muslim-feminis untuk melakukan pengembangan metodologis, guna melahirkan penafsiran yang berperspektif gender dan berkeadilan sosial, diantaranya adalah apa yang akan digagas oleh tokoh dalam pembahasan makalah ini yakni Amina Wadud Muhsin.
Dalam pengantar salah satu bukunya, Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Amina menyatakan bahwa bukan tentang teks al-Qur’an yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran terhadap teks teks keagamaan itulah yang membatasinya –yang telah dianggap lebih penting daripada al-Qur’an sendiri-. Amina juga mengungkapkan bahwa arti penting analisis tentang konsep al-Qur’an tentang perempuan, harus diukur dari perspektif al-Qur’an sendiri, baik sebagai kekuatan dalam sejarah, politik, bahasa, budaya, kecendekiawanan, dan spiritualitas, maupun sebagai kitab suci.
Dalam makalah ini, sedikit banyak akan kami uraikan mengenai pemikiran dan ide pembaharuan dari Amina Wadud Muhsin, mulai dari biografi secara singkat, karya-karya intelektual, hingga beberapa pemikirannya, khususnya berkenaan dengan perempuan dan kesetaraan gender.

B.                 AMINA WADUD MUHSIN
1.         Biografi Singkat
Amina Wadud Muhsin (selanjutnya dalam makalah ini disebut dengan Amina Wadud) lahir di Negara Amerika Serikat pada tahun 1952 [1], ia merupakan warga Amerika Serikat keturunan Afrika-Amerika (kulit hitam). Amina menjadi seorang muslimah kira-kira pada akhir tahun 1970-an [2], namun berkat  ketekunan dalam melakukan studi keislaman ia bias menjadi seorang pemikir yang bisa diandalkan dedikasi keilmuannya terhadap Islam. Ia juga pernah selama tiga tahun memberi kuliah pada Universitas Islam Internasional, di Kuala Lumpur, Malaysia. [3] Sebelumnya, ia menyelesaikan studi di Universitas Michigan dan mendapat gelar MA pada tahun 1982 dan gelar Ph. D pada tahun 1988. Selain bahasa Inggris, Amina juga menguasai beberapa bahasa lain seperti; Arab, Turki, Spanyol, dan Jerman.[4]

2.         Karya-karya Intelektual
Amina termasuk tokoh feminis muslim yang cukup produktif baik berupa buku, artikel yang dimuat dalam beberapa jurnal, seminar-seminar, dan beberapa proposal Research (proposal penelitian) dalam bidang perempuan, gender, agama, pluralisme dan kemanusiaan. Karya-karyanya tersebut antara lain: [5]
a.         Buku
*      Qur’an and Women: Rereading the Sacred Textform a Women’s perspective (Oxford University Press: 1999).
*      Qur’an and Women (Fajar Bakti Publication, Oxford University Press Subsidiary), Kuala Lumpur Malaysia (Original Eddition, 1992).
b.         Artikel
*      Alternatif Penafsiran Terhadap Al-Qur’an dan Strategi KekuasaanWanita Muslim, dalam buku “Tirai Kekuasaan: Aktivitas KeilmuanWanita Muslim”, Editorial Gisela Webb, Syracuse University Press, 1999.
*      Gender, Budaya dan Agama: Sebuah Perspektif Islam, dalam bukuGender, Budaya dan Agama: Kesederajatan di Hadapan Tuhan dan Ketidak sederajatan di Hadapan Laki-laki”, Editorial Norani Othman dan Cecilia Ng, Persatuan Sains Sosial, Kuala lumpur Malaysia, 1995.
*      Mencari Suara Wanita dalam al-Qur’an, dalam Orbis Book, SCM Press,1998.
*      Muslim Amerika: Etnis Bangsa dan Kemajuan Islam, dalam buku”Kemajuan Islam; Keadilan, Gender dan Pluralisme” Editorial Omid Safi, Oxford: One World Publication, 2002.
*      Parameter Pengertian al-Qur’an terhadap Peran Perempuan dalam Konteks dunia Modern, dalam Jurnal “Islamic Quarterly”, edisi Juli,1992.
*      Qur’an, Gender dan Kemungkinan Penafsiran, dalam Jurnal “Kesepahaman Muslim-Kristen”, Georgetown University, Washington DC.
*      Qur’an, Syari’ah dan Hak Politik Wanita Muslim, makalah SimposiumHukum Syari’ah dan Negara Modern”, Kuala Lumpur Malaysia, 1994.
*      Wanita Muslim: Antara Kewarganegaraan dan Keyakinan, dalam Jurnal “Women andCitizenship”.
*      Wanita Muslim sebagai Minoritas, dalam “Journal of Muslim MinorityAffairs”, London, 1998.
*      Ayat 4:34: Sebuah Konsep Kedinamisan Hubungan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Islam, dalam “Malaysian Law News”, Edisi Juli, 1990.
Dari pergumulannya sebagai aktivis wanita yang berupaya memperjuangkan keadilan gender, ia berpendapat bahwa selama ini sistem relasi laki-laki dan wanita di banyak negara sering kali mencerminkan adanya bias patriarkhi[6] sehingga mereka (para wanita) kurang mendapat keadilan yang proporsional. Karya-karya Amina Wadud tersebut merupakan bukti keistimewaan intelektualnya dalam memandang fenomena ketidakadilan di masyarakat sampai dewasa ini. Maka, ia mencoba merekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan.

3.   Metode Feminis
Amina mengasumsikan dasar kerangka pemikirannya adalah bahwa al-Qur'an tetap merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan perempuan setara. [7] Karena itu, perintah dan petunjuk Islam yang termuat dalam al-Qur'an semestinya diinterpretasikan dalam konteks historis quran yang spesifik. Mengenai penafsiran al-Qur’an ini, menurut pandangan Amina, ada beberapa hal yang harus digarisbawahi, yaitu:
1. Tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif
Menurutnya, masing-masing dari ahli tafsir sering melakukan beberapa pilihan subjektif dan terkadang hal itu tidak mencerminkan maksud dari nash-nya.[8] Sebuah produk tafsir selalu dipengaruhi olah pengalaman subjektif dan latar belakang masing-masing orang. Contoh sederhana, orang yang fanatik terhadap ilmu fiqih maka ketika menafsirkan al-Qur'an maka ia akan lebih banyak menggunakan pengalaman fiqih-nya.
2. Tidak adanya pemahaman yang tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an
Tidak adanya pemahaman yang tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah terjadi sejak ayat-ayat tersebut diturunkan dari waktu ke waktu.[9] Termasuk adalah para sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Rasul sekalipun sering berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini pun sampai kepada ulama mufassirin pada periode-periode berikutnya. Jadi, tidak mengherankan bila kemudian muncul penafsiran-penafsiran yang berbeda tentang makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
3. Kategorisasi penafsiran al-qur'an
Penafsiran al-Qur’an, menurut Amina ada tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif dan holistik:[10]
a)   Tradisional: model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu, sesuai kemampuan mufasir-nya, seperti kemampuan dalam bidang hukum, nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf dan sebagainya. Maka, tafsir seperti ini bersifat atomistik, artinya penafsiran dilakukan atas ayat perayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial dan tidak ada upaya untuk mengenali tema-tema dan membahas hubungan al-Qur'an dengan dirinya sendiri, secara tematis. [11] Dan yang paling ironi, pada model penafsiran tradisional ini menurut Amina Wadud adalah semuanya hanya ditulis oleh kaum laki-laki. Hal ini berarti bahwa subjektifitas, pengalaman laki-laki dapat dimasukkan ke dalam tafsir mereka dan sementara wanita dan pengalaman wanita diabaikan, maka wajar bila kemudian tafsir yang muncul adalah menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan khas laki-laki (patrinial). [12]
b)   Reaktif, tafsir model ini merupakan reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur'an. Tujuan dan metode yang digunakan berasal dari cita-cita dan dasar pemikiran kaum feminis. Namun, terkadang analisis yang dipakai tidak komprehensif dan sering menyebabkan sikap egoisme perempuan yang tidak sesuai dengan sikap al-Qur'an sendiri terhadap perempuan. Maka, sebenarnya kelemahan ini bisa ditekan bila mereka berpegang teguh pada konsep pembebasan terhadap sumber utama (al-Qur’an) dari ideologi dan teologi Islam.[13]
c)   Holistik, merupakan penafsiran yang melibatkan banyak persoalan, sosial, moral, ekonomi dan politik modern, termasuk persoalan wanita yang muncul pada era modern. [14] Satu unsur khas untuk menafsirkan dan memahami setiap nash adalah nash sebelumnya yang disusun oleh penafsir yang dipengaruhi oleh suasana bahasa dan budaya saat nash dibaca, maka hal tersebut tidak dapat dielakkan dan dihindari. [15]
Melalui kesadaran tersebut, Amina Wadud memberikan sebuah tawaran metode ketika akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an terutama ayat-ayat yang bias gender, yang dikemasnya dalam tiga aspek penting, yaitu :
Ø  Dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan.
Ø  Bagaimana pengungkapan lalu apa yang dikatakannya dari komposisi tata bahasa teks ayat tersebut.
Ø  Bagaimana keseluruhan ayat, weltanschauung atau pandangan hidupnya.[16]
Untuk keperluan langkah dalam teknis operasional ketika akan menafsirkan, setiap ayat yang harus dianalisis adalah: [17]
1) Dalam konteksnya
2) Dalam konteks pembahasan topik yang sama dengan al-Qur'an
3) Menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan dalam seluruh bagian al-Qur'an
4) Menyangkut sikap benar berpegang teguh pada prinsip-prinsipal-Qur'an
5) Dalam konteks al-Qur'an sebagai weltanschauung atau pandangan hidup. [18]
Dengan metode tawarannya tersebut, Amina sebenarnya ingin menangkap spirit dan ide-ide al-Qur'an secara utuh, holistik dan integratif hingga tidak terjebak pada teks-teks yang bersifat parsial dan legal formal. Hal ini dianggap penting, karena problem penafsiran al-Qur'an sesungguhnya adalah bagaimana memaknai teks al-Qur'an yang terbatas dengan konteks yang tidak terbatas. Karena, konteks selalu mengalami perkembangan, apalagi pada waktu yang bersamaan kita ingin menjadikan al-Qur'an selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

C.  PEMIKIRAN AMINA WADUD
1.   Poligami
Salah satu isu yang dianggapnya bias nilai-nilai keadilan gender adalah persoalan pembolehan poligami dalam ayat al-Qur'an, yaitu Surat al-Nisa’ ayat 3.  Menurut Amina, ayat ini menerangkan tentang bagaimana perlakuan terhadap anak yatim, di mana sebagian wali laki-laki yang mempunyai tanggung jawab untuk mengelola kekayaan harta anak yatim perempuan, namun kebanyakan mereka tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim. Maka ayat (4 : 3) tersebut adalah satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah penyalahgunaan dari berbuat tidak adil terhadap hak anak yatim. [19]
Pada satu sisi, al-Qur'an membatasi jumlahnya hanya sampai empat orang. Di lain sisi, adanya tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan dapat mengimbangi tercampurnya harta anak yatim melalui tanggung jawab managemen. Inilah yang sering dilupakan oleh para pendukung poligami yaitu bahwa keberadaan ayat ini dalam rangka perlakuan adil terhadap anak yatim.
Amina berpendapat ada beberapa alasan dalam berpoligami yang dengan bias gender, bahkan alasan-alasan tersebut jelas tidak pernah ada dalam ayat-ayat al-Qur'an sebagai sumber utama dalam pembolehan poligami itu sendiri. Alasan-alasan tersebut yaitu:
Pertama, alasan ekonomi (finansial), Amina berpendapat bahwa dalam konteks masalah ekonomi seperti seorang laki-laki yang secara finansial mampu hendaknya mengurus lebih dari satu istri, lagi-lagi pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua wanita adalah beban finansial, pelaku reproduksi, bukan produsen. Di dunia zaman ini, banyak wanita yang tidak memiliki maupun membutuhkan sokongan laki-laki, karena satu hal, sekarang tidak bias diterima lagi bahwa hanya laki-laki yang bisa bekerja, melakukan pekerjaan, atau menjadi pekerjaan di luar rumah, yaitu pekerjaan yang digaji hanya didasarkan pada produktivitas. Produktivitas pada gilirannya didasarkan pada berbagai faktor, dan gender hanyalah salah satunya. Dengan begitu poligami bukan solusi yang sederhana untuk masalah perekonomian yang kompleks.
Kedua, istri mandul atau tidak dapat memberikan keturunan, pendapat umumnya bahwa berpoligami dibolehkan ketika si istri tidak dapat mempunyai anak. Lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan berpoligami dalam al-Qur’an. Namun demikian, keinginan mempunyai anak memang naluri alami. Jadi, kemandulan laki-laki dan istri tidak meniadakan kesempatan bagi salah satunya untuk menikah, maupun mengurus dan mendidik anak. Apakah solusi yang mungkin untuk keduanya bila istri atau suami streril sehingga pasangan itu tidak dapat mempunyai anak? Di dunia yang sedang perang atau porak-poranda, masih banyak anak anak yatim muslim maupun non-muslim yang menantikan uluran tangan cinta dan perawatan dari pasangan tanpa anak. Barangkali umat muslim dapat merawat seluruh anak-anak dunia mengingat bencana di dunia yang masih belum terpecahkan. Hubungan darah sendiri memang penting, tapi mungkin menjadi tidak penting, kalau dilihat dari penilaian akhir tentang kemampuan seseorang untuk merawat dan mengasuh.
Dan Ketiga, untuk memenuhi kebutuhan seks kaum laki-laki yang tinggi (hyperseks), [20] menurut Amina alasan ini sangat mementingkan ego libido laki-laki, ia menyatakan ketidaksepakatannya. Alasan ketiga untuk berpoligami ini selain tidak mempunyai sandaran dalam al-Qur’an, jelas-jelas alasan tersebut tidak Qur’ani karena berusaha untuk menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali yakni jika kebutuhan seksual laki-laki tidak dapat terpuaskan dengan satu istri, dia harus mempunyai dua, barangkali nafsunya lebih besar dari pada dua, maka dia harus mempunyai tiga dan terus sampai empat orang istri, baru setelah empat prinsip al-Qur’an tentang pengendalian diri, kesederhanaan, dan kesetiaan dilakukan. Karena, pada awalnya istri disyaratkan untuk mengendalikan diri dan setia, kebajikan moral ini penting untuk suami. Al-Qur’an jelas tidak menekankan pada suatu tingkat yang lebih tinggi dan beradab untuk wanita sementara membiarkan laki-laki berinteraksi dengan yang lain pada tingkat yang paling hina. Sebaliknya, tanggung jawab bersama mengenai khalifah di muka bumi diserahkan kepada separuh kemanusiaan, sedangkan separuh lainya tetap menyerupai binatang.
Dengan demikian pendapat Amina Wadud tentang tidak diperbolehkannya poligami karena memang alasan-alasan yang selama ini diyakini tidak pernah ada dalam al-Qur'an. Poin penting dari pemikiran Amina Wadud yaitu adanya upaya untuk membongkar pemikiran lama dan mitos-mitos lama yang dibangun oleh budaya patriarkhi. Upaya ini dimulai dengan melakukan rekonstruksi metodologi tafsirnya, adanya mitos-mitos dan penafsiran yang bias patriarkhi dapat menyebabkan ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat dan tidak sesuai dengan prinsip dan dasar semangat al-Qur'an. Karena, menurutnya, al-Qur'an sendiri mendudukkan laki-laki dan perempuan dengan sangat adil. [21]

2.   Hukum Wanita sebagai Imam Shalat
Sebagaimana telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, menurut Amina salah satu penyebab terjadinya ketidakadilan dalam gender dalam kehidupan sosial adalah karena pengaruh ideologi-doktrin penafsiran al-Qur’an yang bias patriarkhi. Karya-karya tafsir tradisional yang hanya ditulis oleh laki-laki, jelas sekali corak tafsirnya terkesan banyak meninggalkan kepentingan wanita. [22] Di dalam penafsiran semacam ini tidak ada upaya mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Dari kritik yang dilakukan, kemudian ia menggagas sebuah alternatif penafsiran yang diyakininya lebih memperlihatkan kesetaraan gender. Sebuah tafsir khas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang bias gender. Ia menyebutnya dengan tafsir hermeneutika tauhid. [23]
Pada tahun 2005 tepatnya hari Jumat tanggal 18 Maret tahun tersebut, Amina pernah menjadi khatib dan imam shalat Jumat di Synode House, gereja Katedral St. John milik keuskupan di Manhattan New York, Amerika Serikat. [24] Hal ini menimbulkan banyak perdebatan. Pro dan kontra kemudian bermunculan, mengingat wanita yang menjadi imam shalat secara terang terangan hanya ia yang berani untuk melakukannya di hadapan publik. Salah seorang tokoh yang pro Amina ialah Gamal al-Bana, secara tegas ia mengatakan sepakat dengan apa yang dilakukan Amina. Sikap mendukung ia ini didasarkan pada konsep imamah dalam Islam yang termasuk kategori ijtihadiyah, dan ia mengungkapkan bahwa tidak ada ayat al-Qur’an atau Hadist shahih yang secara tegas mengatakan imamah itu hanya untuk laki-laki. [25] Selain al-Bana, Husein Muhammad, seorang Direktur Pahmina Institute, mengungkapkan hal senada. Husein mengatakan bahwa jika kita membaca dengan cermat kitab-kitab klasik kita akan menemukan pandangan yang membolehkan bahwa seorang perempuan menjadi imam dari makmum laki-laki. Diantara kitab-kitab itu adalah al-Majmu karya imam Nawawi dan syarah atas kitab al-Mubadzah karya Abu Ishak al-Syirazi. Di sana terdapat tiga ahli fiqih terkemuka yang membolehkan perempuan mengimami shalat laki-laki, yaitu Abu Tsaur, al-Muzami, dan Ibnu Yani al-Thabari. Landasan pandangan dalam hal ini mengacu pada “Hadist Ummu Waraqah, [26] yang berbunyi:
حدثنا ابونعيم قال حدثنا الوليد قال حدثتني جدتي عن ام ورقة بنت عبدالله بن الحارث الانصاري وكانت قدجمعت القرآن وكان النبي صلى الله عليه و سلم قد امرهاان تؤم اهل دارها وكان لها مؤذن وكانت تؤم اهل دارها.

Hadist di atas menceritakan bahwa Rasulullah telah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami keluarganya dan ia mempunyai seorang muadzin dan menjadi imam anggota keluarganya. Hadist ini diperoleh dari dua jalur, yaitu dari Ahmad ibn Hambal dan Abu Daud. Pada riwayat Abu Daud ditemukan dua rangkaian jalur sanad, yaitu Usman ibn Muhamad, Waki ibn Jarrah, al-Walid, al-Lathif, Laily, dan jalur Hasan ibn Hammad, Muhammad ibn Fudal, al-Walid. Sedangkan yang melalui riwayat Ahmad ibn Hambal bertemu sanad al-Walid.[27]
Amina selain menyatakan tidak ada ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa wanita tidak boleh menjadi imam dan berpegang pada Hadist diatas, juga menyatakan bahwa hukum yang ada sekarang kebanyakan diciptakan kaum pria sehingga terkesan menghapus hak-hak wanita muslim. Wanita muslim kehilangan hak-hak intelektualitas dan haknya menjadi pemimpin spiritual. Kaum muslim menggunakan interpretasi sejarah yang salah dan mundur ke belakang zaman.
Kita sebagai umat Islam yang hidup di abad ke-21, mempunyai mandat untuk memperbaiki tanggung jawab partisipasi lelaki dan wanita. Kita harus saling bergandeng tangan untuk memperbaiki posisi wanita yang selama ini dipandang sebagai “tekanan seksual” belaka. Wanita bukanlah seperti dasi yang menjadi pelengkap busana. Kapanpun lelaki melakukan kontak dengan wanita, maka wanita harus diperlakukan secara sejajar dan seimbang, begitupun dengan sebaliknya. 
Amina dari kutipan khutbah menjelaskan bahwa laki-laki dan wanita adalah dua kategori spesies diberi perhatian yang sama dan diberkati dengan potensi yang sama. Al-Qur’an mendorong semua orang yang beriman laki-laki dan wanita supaya mengikuti keimanan dengan tindakan. Al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam penciptaan, tujuan atau pahala yang dijanjikan. Pendapat Amina ini tidak terlepas dari semangat feminisme yang mengalir dalam darahnya. Tentu saja dipengaruhi lingkungan dimana ia hidup dan bersosialisasi, sehingga berpengaruh pada pola pikir dan kepekaan terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Munculnya model tafsir yang khas feminisme tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya realitas sosial, persentuhan dengan peradaban barat, perkembangan global, dan gagasan tentang HAM / Hak Asasi Manusia. [28]

3.   Penciptaan Manusia menurut Al-Qur’an dan Kesetaraan Laki-laki dan Wanita
Tujuan utama sub-bab khususnya ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka. Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk (Adam dan Hawa), diciptakan di dalam rahim ibunya. Berbagai implikasi yang serius telah diambil dari pembahasan dan ide-ide tentang penciptaan orang tua pertama, yang berdampak abadi pada sikap terhadap laki-laki dan wanita.
Dalam menjelaskan firman Allah tersebut, Amina menekankan penjelasannya tentang pengertian dan maksud dari kata min, nafs dan zawj. Menurutnya, kata min, memiliki dua fungsi, yang pertama, digunakan sebagai preposisi ‘dari’, untuk menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari sesuatu lainnya. Adapun yang kedua, digunakan untuk mengatakan ‘sama macam atau jenisnya’. Setiap penggunaan kata min dalam ayat tadi telah ditafsirkan dalam salah satu atau kedua makna tadi, sehingga hasilnyapun berbeda.
Adapun maksud dari kata nafs, bisa digunakan secara umum dan teknis. Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ciptaan lain selain manusia. Di dalam penggunaan secara teknis, kata nafs dalam al-Qur`an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal - usul yang sama. Meskipun secara tata bahasa kata nafs merupakan kata feminin (muannats), namun secara konseptual nafs mengandung makna netral, bukan untuk laki-laki, bukan pula untuk perempuan.
Dalam catatan al-Qur`an mengenai penciptaan, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki, dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal - usul umat manusia adalah Adam. Al-Qur`an bahkan tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam, seorang pria. Hal yang sering diabaikan ini sangat penting karena penciptaan manusia versi al-Qur`an tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin
Demikian pula kata zawj, sebagai istilah umum, kata zawj digunakan dalam Al-Qur’an untuk arti teman, pasangan yang biasanya kita pahami sebagai Hawa. Padahal secara gramatikal zawj adalah maskulin, secara konseptual kebahasaan bersifat netral, tidak menunjukkan bentuk muannats (feminin) atau mudzakkar (maskulin). Baik Adam maupun Hawa diciptakan dari nafs yang sama, yang penting bagi Amina, bukan bagaimana Hawa diciptakan, tapi kenyataan bahwa Hawa adalah pasangan Adam. Pasangan menurut ia, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini saling melengkapi sesuai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan lainnya. Dengan pengertian demikian, penciptaan Hawa bagi Amina merupakan bagian dari rencana penciptaan Adam.
Amina pun menepis mitos yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat, yaitu bahwa Hawa merupakan penyebab manusia dilempar dari surga. Anggapan ini jelas tidak sejalan dengan al-Qur’an, sebab peringatan Allah agar menjauhkan diri dari bujukan syaitan telah ditujukan kepada keduanya, baik Hawa maupun Adam. [29]

4.   Pandangan Al-Qur’an Tentang Wanita di Dunia
Amina Wadud berpendapat bahwa al-Qur’an tidak mendukung suatu peran tertentu dan stereotip bagi laki-laki dan wanita. Perlu dicatat bahwa semua referensi tentang para tokoh wanita dalam al-Qur’an menggunakan suatu keistimewaan budaya yang penting yang memperlihatkan penghormatan terhadap wanita itu. Kecuali, Maryam, ibunda Isa, mereka tidak pernah dipanggil dengan namanya. Sebagian besar berstatus istri dan al-Qur’an menyebut mereka dalam bentuk idhafah yang mengandung salah satu kata Arab untuk istri: imra’ah, nisa’ atau zawj. Bahkan wanita lajang disebutkan dengan dihubungkan dengan laki-laki tertentu: ukht Musa, ukht Harun. Prinsip umumnya, bahwa wanita harus disapa secara terhormat. [30]
Al-Zamakhsyari menyatakan bahwa laki-laki lebih diutamakan oleh Allah dalam hal kecerdasan, kondisi fisiknya, ketetapan hati dan kekuatan fisik, walaupun ia mengatakan hal tersebut tidak dinyatakan di dalam Al-Qur’an. Penafsiran ini membenarkan berbagai pembatasan atas hak-hak wanita untuk mencapai kebahagiaan pribadi dalam konteks Islam, yang paling menyusahkan adalah kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran ini dengan Al-Qur’an sendiri daripada mengaitkannya pada mufassir-nya.
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujurat: 13).
Menurut Amina Wadud, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah yang menyatakan bahwa posisi pemimpin tidak tepat untuk wanita. Kisah Bilqis dalam Al-Qur’an memuji perilaku politik dan agamanya. Di luar identifikasinya sebagai wanita, tidak pernah ada disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan, atau pengkhususan terhadapnya sebagai wanita yang memimpin. Seorang wanita yang lebih independen dan memiliki wawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin suatu bangsa. Demikian juga, seorang suami mungkin saja lebih sabar terhadap anak - anak. [31]

5.   Balasan Adil bagi Wanita juga Laki-laki menurut Al-Qur’an
Laki - laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak satupun hal tersebut terlupakan dalam al-Qur`an sebagai kitab petunjuk, bagi umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al-Qur`an telah menghimbau semua orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk menyertakan keimanan dengan tindakan, karena dengan begitu mereka akan diganjar dengan pahala yang besar. Jadi, Al-Qur`an tidak membedakan pahala yang dijanjikannya bagi wanita ataupun laki - laki.
Dalam menjelaskan QS [40] : 39-40, (waman ‘amila shalihan min dzakari na wuntsa wahuwa mukmin fa ulaika yadkhuluna al-jannah), Amina menekankan kata man dan ulaika. Kedua kata tersebut mengandung pengertian netral, tidak laki-laki dan tidak pula khusus perempuan. Sehingga masing-masing manusia akan memperoleh ganjaran bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu (lihat juga QS [6] : 94).
Berkenaan akhirat, tanggung jawab dan pengalaman individu ini mendapatkan perhatian lebih besar. Kematian, yakni perpindahan dari alam duniawi ke alam akhirat, pasti akan dialami oleh setiap individu: “Tiap - tiap nafs akan merasakan mati” (QS. Ali Imran : 185). Jadi, balasan yang diberikan adalah berbasis pada amal dan pengalaman individu, baik laki – laki maupun perempuan diganjar masing - masing.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Jaatsiyah [45]: 21-22. Tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi atau menambah pahala yang didapat dari orang lain. Tidak seorang pun dapat berbagi pahala atau berbagi hukuman dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 48. [32]


D.  PENUTUP
Amina Wadud ialah salah satu dari bagian tokoh Muslim dengan fokus progresif pada tafsir al-Qur'an. Risetnya mengenai wanita dalam al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan wanita Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Tujuan Amina adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi posisi wanita dalam kultur muslim yang menggambarkan maksud Islam mengenai wanita dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, tujuan spesifik Amina adalah menunjukkan kemampuan penyesuaian pandangan dunia al-Qur’an terhadap persoalan dan dunia wanita menurut konteks modern.
Amina menggunakan metode tafsir “hermeneutika tauhid” yang berarti, ia menggunakan metode tafsir tauhid sebagai hermeneutika. Dengan metode yang digunakan dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1) menurut konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.
Pemikiran Amina Wadud mulai dari penciptaan manusia sampai persaksian perempuan adalah untuk menentang sebagian sikap dan hasil penafsiran tentang wanita dan al-Qur’an. Penafsiran yang mengabaikan prinsip keadilan, persamaan dan kemanusiaan sebagaimana lazimnya. Ia menganggap kesetaraan laki-laki dan wanita bukan berarti sama. Ia mengakui adanya perbedaan penting antara laki-laki dan wanita. Maksud kesetaraan menurutnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama pada tataran etika agama, dan mempunyai tanggung jawab yang sama-sama signifikan pada tataran fungsi sosial.



E.  DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1993
Engineer, Asghar Ali. The Qur’an Women and Modern Society. (tarj.) Agus Nuryanto, “Pembebasan Perempuan”. Yogyakarta: LKiS. 2003
Makalah Pdf Bab III. Pemikiran Aminah Wadud Tentang Tidak Diperbolehkannya Poligami.
Library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=3778.
Makalah Pdf Bab IV. Analisis Pemikiran AminaWadud Tentang Hukum Wanita Sebagai Imam Shalat.
Library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=5882.
Rahman,Fazlur. Islam andModernity: Transformasi of an Intellectual Tradition. (tarj.) Anas Muhyidin. Jakarta: Pustaka. 1996
Saridjo, Marwan. Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi &Musdah Mulia Tetap Berjilbab. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara. Cetakan Kedua. 2005
Soleh, Khudori (ed.). Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jendela. 2003
Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2010
Wadud, Amina. Qur’an Menurut Perempuan. (tarj.) Abdullah Ali. Jakarta: Serambi. 2001
Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan. (tarj) Abdullah Ali. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2006
Www. livingislam. org



[1] Khudori Soleh (ed. ), Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 66
[3] Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi &Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), h. 123
[4] www. livingislam.org
[5] www. livingislam.org
[6] Patriarkhat dalam Kamus besar bahasa Indonesia mempunyai makna tata kekeluargaan yang mementingkan garis keturunan bapak. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
[7] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2001) h. 57-58
[8] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 33
[9] Asghar Ali Engineer, The Qur’an Women and Modern Society, (tarj.) Agus Nuryanto, “Pembebasan Perempuan”, (Yogyakarta:LKiS, 2003), h. 22
[10] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 33
[11] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 33
[12] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 34
[13] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 35
[14] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 35
[15] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformasi of an Intellectual Tradition, (tarj.) Anas Muhyidin, (Jakarta: Pustaka, 1996), halaman Pendahuluan.
[16] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 35
[17] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 35
[18] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermenutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 166.
[19] Makalah Pdf Bab III, Pemikiran Amina Wadud Tentang Tidak Diperbolehkannya Poligami,
library. walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=3778, h. 44
[20] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, (tarj.) Abdullah Ali, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 144-146
[21] Makalah Pdf Bab III, Pemikiran Aminah Wadud Tentang Tidak Diperbolehkannya Poligami,
library. walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=3778, h. 45-48
[22] Makalah Pdf Bab IV, Analisis Pemikiran Amina Wadud Tentang Hukum Wanita Sebagai Imam Shalat,
library. walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=58, h. 61-62
[23] Makalah Pdf Bab IV, Analisis Pemikiran Amina Wadud Tentang Hukum Wanita Sebagai Imam Shalat,
library. walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=58, h. 62
[24] Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi &Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 123
[25] Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi &Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 128
[26] Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 131
[27] Nasruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 187
[28] Makalah Pdf Bab IV, Analisis Pemikiran Amina Wadud Tentang Hukum Wanita Sebagai Imam Shalat,
library. walisongo. ac. id/digilib/download. php?id=58, h. 65-68
[30] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, (tarj.) Abdullah Ali, h. 71-75
[31] Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, h. 75-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar