Minggu, 01 Desember 2013

Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Mesir

Diajukan guna memenuhi tugas pada mata kuliah Budhisme semester 4
Dosen Pembimbing : Ibu Siti Nadroh, MA

Oleh:
Nur Jaman



PERBANDINGAN AGAMA– B
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 
2013

Pendahuluan
Kairo – Salah satu potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu baru.
Kondisi Perempuan dan Gerakan Perjuangan Perempunan di Mesir
Negara-negara Arab dikenal sebagai negara yang masyarakatnya kental dengan budaya patriarkis.[1] Budaya patriarkis yang male-centres ini memandang laki-laki lebih berkuasa, mengakibatkan peran perempuan selalu dibatasi. Sampai saat ini, masih ada beberapa negara yang masih membatasi peran perempuan diruang publik dunia kerja, bidang politik dan lain-lain. Namun ada juga beberapa negara yang telah membuka ruang seluas-luasnya agar perempuan dapat berperan aktif di dalam masyarakat.

Oleh karena itu  perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidakadilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Dengan kejadian tersebut banyak sekali gerakan perempuan (feminis) untuk menyuarakan atas ketidakadilan itu. Diantaranya Perhimpunan Feminis Mesir, yang mulanya didirikan pada 1923 oleh aktivis Hoda Shaarawy, dihidupkan kembali pada Oktober 2011, dan menghimpun lebih dari 1.000 organisasi di bawahnya untuk fokus mendukung perempuan yang maju dalam pemilu parlemen serta mendorong perempuan untuk ikut memilih.[2]
            Kebebasan bagi perempuan Mesir saat ini tidak terlepas dari perjuangan yang telah dilakukan pada dekade kedua abad ke-20. Kaum perempuan kelas atas atau yang biasa disebut harem menjadi pionir dalam memperjuangkan persamaan hak ketika itu. Padahal sampai dekade awal abad ke-20, kehidupan mereka masih sangat dibatasi terutama untuk muncul di ruang publik. Namun berkat keikutsertaan mereka dalam perjuangan Revolusi Mesir di tahun 1919, pintu gerbang untuk bergerak di ruang yang lebih luas lagi mulai terbuka. Gerakan mereka di dalam revolusi tersebut memotivasi untuk terus bergerak menuntut hak-hak yang selama ini dibatasi.[3]
Tokoh-tokoh  Pembaharuan di Mesir
Selain organisasi-organisasi yang menyuarakan atas ketidakadilan gender tersebut, ada beberapa tokoh juga yang ikut dalam menyuarakan untuk kebebasan (kesetaraan) perempuan. Diantaranya:
a.      Qosim Amin
Qasim Amin (1 Desember 1863 - 23 April 1908), (salah seorang) tokoh reformis dari Mesir yang menggelorakan semangat pembebasan perempuan. Meskipun sebelumnya sudah muncul tokoh-tokoh yang membela hak-hak perempuan seperti Ahmad Faris As-Syidyaq (1804-1888), Rifa’at at-Thahthawi (1801-1873), dan Muhammad Abduh (w. 1905), Qasim Amin melejit, antara lain, karena dua bukunya yang ”menghebohkan”, yaitu Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pertama kali pada 1899 dan al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Baru) yang terbit pada 1900. Kedua buku ini mengundang pro dan kontra, baik di kalangan ulama  Mesir maupun di luar Mesir.[4]
Terlepas dari pro-kontra, Qasim Amin, yang sering terlibat diskusi dengan Muhammad Abduh mengenai kemunduran dunia Islam, menawarkan beberapa model pembebasan perempuan yang tampaknya masih cukup relevan diwacanakan dan dikembangkan lebih lanjut.[5] Pertama, ia mengritik keras tradisi ”hijâb” yang berlebihan seperti pemakaian burqa dan cadar ala perempuan Timur Tengah pada masa itu. Model pakaian itu bukan merupakan ajaran Islam, tetapi lebih merupakan budaya Arab tradisional yang mengekang perempuan. Pakaian ”tradisional” tersebut merupakan simbol kejumudan (status quo), sekaligus menjadi penghambat kebebasan dalam berpikir dan berinteraksi sosial. Pakaian itu telah memasukkan perempuan dalam ”ranah sosial” yang terbatas, sempit, dan tidak bebas. Dengan kata lain penggunaan pakaian tradisional itu menyebabkan perempuan menarik diri dari peran sosial dan budaya, dan cenderung membenamkan diri dalam ranah domestik belaka.
Kedua, ia juga sangat tidak setuju kalau kaum lelaki (suami) sebagai pemegang hak mutlak perceraian (thalâq). Menurutnya, perempuan berhak mengajukan gugatan cerai melalui pengadilan, jika suami terbukti tidak lagi memenuhi kewajibannya sebagaimana diajarkan oleh Islam. Misalnya, suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, tidak memberi nafkah lahir dan batin, berselingkuh, dan sebagainya.
Ketiga, ia menentang praktik poligami yang banyak dilakukan oleh para penguasa atau kalangan bangsawan yang seringkali menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, dan merugikan kepentingan perempuan. Karena itu, Qasim Amin cenderung menilai poligami itu tidak dibolehkan, karena potensial menyakiti hati perempuan, menimbulkan permasalahan baru dalam rumah tangga, dan pada akhirnya perempuan yang menjadi korban.
Keempat, menurutnya, pembangunan peradaban tidak dapat dilepaskan dari peran serta perempuan. Karena itu, agar dapat berperan dan berdaya juang tinggi, perempuan harus memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Peradaban Islam merupakan sistem kehidupan yang terbentuk dari tegak dan berdayanya sistem sosial, sistem politik, sistem budaya, dan sistem pendidikan. Semua sistem itu saling bersinergi, dan saling mempengaruhi. Lelaki dan perempuan adalah penentu tegaknya sistem-sistem tersebut. Singkatnya, perempuan harus dicerdaskan dan dicerahkan (difasilitasi untuk bisa cerdas dan tercerahkan). Peradaban Islam dapat kembali berjaya, jika ada kolaborasi dan sinergi kedua jenis manusia ini dalam memikul tanggung jawab masing-masing.
b.      Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili adalah wanita yang sangat luar biasa. Tokoh wanita asal Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam.[6] Untuk memperjuangkan persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zhalim pemerintahan Mesir ter­jadi di mana-mana.[7] ia dilahirkan di wi­layah Al-Bihira, Mesir, pada 1917. Ia adalah  keturunan khali­fah kedua Islam, Umar bin Khaththab. Ia wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang tanpa ragu melawan sekula­risme dan liberalis­me.
Pada usia 10 tahun, ia telah memper­lihat­kan ke­pandaian dan kelancar­an­nya da­lam berbicara di depan umum. Ke­inginannya yang sangat kuat, dan tekadnya yang membara, membuat­nya maju untuk menempuh jenjang pen­didik­an tinggi, saat kaum wanita pada saat itu jarang mengenyam pendidikan, ka­rena dianggap tabu.[8] Pada tahun 1936, ketika itu Zainab Al-Ghazali berusia 18 tahun, ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum wanita yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga aktif di organisasi Persatuan Ke­lompok Feminis Mesir, yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Na­mun tak lama, ia kemudian mengundur­kan diri dari organisasi itu, karena ber­sebarangan pendapat mengenai per­juangan menuntut kesetaraan.[9]
Zainab Al-Ghazali banyak dipenga­ruhi oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia ada­lah orang yang lantang mempertahan­kan syari’ah dan kerap menghadapi ma­sa­lah dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia menga­lami hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.
           Model-model Siksaan
Banyak sekali siksaan yang di alami oleh Zainab Al-Ghazali, bahkan siksaan yang di berikan kepadanya melebihi siksaan yang di berikan kepada seorang laki-laki. Diantara siksaan yang di tujukan kepadanya.[10] Yakni, dicambuk hingga kakinya berdarah, di ikat, digantung secara bersamaan, direndam didalam kolam, dan masih banyak sikssaan yang lainya yang di berikan kepadanya.
Pencapaian Hasil dari Gerakan Pembaharuan di Mesir
Setelah terjadinya gerakan pembaharuan ini, posisi perempuan mulai terangkat. Banyak sekali pencapaian-capaian hasil gerakan pembaharuan tersebut, diantaranya:[11]
a.       Menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Terbukti adanya berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka gender.
b.      Untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk.
c.       Banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial.

Daftar Pustaka
v  Amini, Aisah. Gerakan Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
v  El Tahaway, Randha. Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan. Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0 pada tanggal 28 September 2013.
v  Qazan, Shalan. Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan. Solo: Era Intermedia, 2001.




[1] Aisah Amini, Gerakan Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
[2] Randha El Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan. Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0 pada tanggal 28 September 2013.
[3] Aisah Amini, Gerakan Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
[5] Ibid.
[6] Shalah Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan (Solo: Era Intermedia, 2001), h.181.
[9] Ibid.
[10] Shalah Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, h. 188.
[11] Randha El Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar