Diajukan
guna memenuhi tugas pada mata kuliah Budhisme semester 4
Dosen Pembimbing : Ibu
Siti Nadroh, MA
Oleh:
Nur Jaman
PERBANDINGAN AGAMA– B
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
Pendahuluan
Kairo – Salah satu
potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang
berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat
dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan
tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka
tengah menemukan banyak sekutu baru.
Kondisi
Perempuan dan Gerakan Perjuangan Perempunan di Mesir
Negara-negara
Arab dikenal sebagai negara yang masyarakatnya kental dengan budaya patriarkis.[1]
Budaya patriarkis yang male-centres ini memandang laki-laki lebih berkuasa,
mengakibatkan peran perempuan selalu dibatasi. Sampai saat ini, masih ada beberapa
negara yang masih membatasi peran perempuan diruang publik dunia kerja, bidang
politik dan lain-lain. Namun ada juga beberapa negara yang telah membuka ruang
seluas-luasnya agar perempuan dapat berperan aktif di dalam masyarakat.
Oleh karena itu perempuan diperlakukan sebagai warga negara
kelas dua dan mendapatkan ketidakadilan – mereka menghadapi pelecehan di
jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak
kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan
tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan
bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik,
tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Dengan kejadian
tersebut banyak sekali gerakan perempuan (feminis) untuk menyuarakan atas
ketidakadilan itu. Diantaranya Perhimpunan Feminis Mesir, yang mulanya
didirikan pada 1923 oleh aktivis Hoda Shaarawy, dihidupkan kembali pada Oktober
2011, dan menghimpun lebih dari 1.000 organisasi di bawahnya untuk fokus
mendukung perempuan yang maju dalam pemilu parlemen serta mendorong perempuan
untuk ikut memilih.[2]
Kebebasan bagi
perempuan Mesir saat ini tidak terlepas dari perjuangan yang telah dilakukan
pada dekade kedua abad ke-20. Kaum perempuan kelas atas atau yang biasa disebut
harem menjadi pionir dalam memperjuangkan persamaan hak ketika itu. Padahal
sampai dekade awal abad ke-20, kehidupan mereka masih sangat dibatasi terutama
untuk muncul di ruang publik. Namun berkat keikutsertaan mereka dalam
perjuangan Revolusi Mesir di tahun 1919, pintu gerbang untuk bergerak di ruang
yang lebih luas lagi mulai terbuka. Gerakan mereka di dalam revolusi tersebut
memotivasi untuk terus bergerak menuntut hak-hak yang selama ini dibatasi.[3]
Tokoh-tokoh Pembaharuan di Mesir
Selain
organisasi-organisasi yang menyuarakan atas ketidakadilan gender tersebut, ada
beberapa tokoh juga yang ikut dalam menyuarakan untuk kebebasan (kesetaraan)
perempuan. Diantaranya:
a.
Qosim Amin
Qasim Amin (1 Desember 1863 - 23 April 1908), (salah seorang) tokoh
reformis dari Mesir yang menggelorakan semangat pembebasan perempuan. Meskipun
sebelumnya sudah muncul tokoh-tokoh yang membela hak-hak perempuan seperti
Ahmad Faris As-Syidyaq (1804-1888), Rifa’at at-Thahthawi (1801-1873), dan
Muhammad Abduh (w. 1905), Qasim Amin melejit, antara lain, karena dua bukunya
yang ”menghebohkan”, yaitu Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang
terbit pertama kali pada 1899 dan al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Baru)
yang terbit pada 1900. Kedua buku ini mengundang pro dan kontra, baik di
kalangan ulama Mesir maupun di luar Mesir.[4]
Terlepas dari pro-kontra, Qasim Amin, yang sering terlibat diskusi dengan
Muhammad Abduh mengenai kemunduran dunia Islam, menawarkan beberapa model
pembebasan perempuan yang tampaknya masih cukup relevan diwacanakan dan
dikembangkan lebih lanjut.[5] Pertama,
ia mengritik keras tradisi ”hijâb” yang berlebihan seperti pemakaian burqa dan
cadar ala perempuan Timur Tengah pada masa itu. Model pakaian itu bukan
merupakan ajaran Islam, tetapi lebih merupakan budaya Arab tradisional yang
mengekang perempuan. Pakaian ”tradisional” tersebut merupakan simbol kejumudan
(status quo), sekaligus menjadi penghambat kebebasan dalam berpikir dan
berinteraksi sosial. Pakaian itu telah memasukkan perempuan dalam ”ranah
sosial” yang terbatas, sempit, dan tidak bebas. Dengan kata lain penggunaan
pakaian tradisional itu menyebabkan perempuan menarik diri dari peran sosial
dan budaya, dan cenderung membenamkan diri dalam ranah domestik belaka.
Kedua, ia juga sangat tidak
setuju kalau kaum lelaki (suami) sebagai pemegang hak mutlak perceraian
(thalâq). Menurutnya, perempuan berhak mengajukan gugatan cerai melalui
pengadilan, jika suami terbukti tidak lagi memenuhi kewajibannya sebagaimana
diajarkan oleh Islam. Misalnya, suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah
tangga, tidak memberi nafkah lahir dan batin, berselingkuh, dan sebagainya.
Ketiga, ia menentang praktik
poligami yang banyak dilakukan oleh para penguasa atau kalangan bangsawan yang
seringkali menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, dan merugikan kepentingan
perempuan. Karena itu, Qasim Amin cenderung menilai poligami itu tidak
dibolehkan, karena potensial menyakiti hati perempuan, menimbulkan permasalahan
baru dalam rumah tangga, dan pada akhirnya perempuan yang menjadi korban.
Keempat, menurutnya,
pembangunan peradaban tidak dapat dilepaskan dari peran serta perempuan. Karena
itu, agar dapat berperan dan berdaya juang tinggi, perempuan harus memperoleh
pendidikan yang setinggi-tingginya. Peradaban Islam merupakan sistem kehidupan
yang terbentuk dari tegak dan berdayanya sistem sosial, sistem politik, sistem
budaya, dan sistem pendidikan. Semua sistem itu saling bersinergi, dan saling
mempengaruhi. Lelaki dan perempuan adalah penentu tegaknya sistem-sistem
tersebut. Singkatnya, perempuan harus dicerdaskan dan dicerahkan (difasilitasi
untuk bisa cerdas dan tercerahkan). Peradaban Islam dapat kembali berjaya, jika
ada kolaborasi dan sinergi kedua jenis manusia ini dalam memikul tanggung jawab
masing-masing.
b.
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili adalah wanita yang sangat luar biasa. Tokoh
wanita asal Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam.[6] Untuk memperjuangkan
persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zhalim pemerintahan Mesir terjadi
di mana-mana.[7]
ia dilahirkan di wilayah Al-Bihira, Mesir, pada 1917. Ia adalah keturunan khalifah kedua Islam, Umar bin
Khaththab. Ia wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan warisan berupa perjuangan
membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang tanpa ragu melawan
sekularisme dan liberalisme.
Pada usia 10 tahun, ia
telah memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di
depan umum. Keinginannya yang sangat kuat, dan tekadnya yang membara, membuatnya
maju untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi, saat kaum wanita pada saat itu
jarang mengenyam pendidikan, karena dianggap tabu.[8] Pada
tahun 1936, ketika itu Zainab Al-Ghazali berusia 18 tahun, ia mendirikan
Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum wanita yang
sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia
juga aktif di organisasi Persatuan Kelompok Feminis Mesir, yang dibentuk oleh
Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama, ia kemudian mengundurkan diri
dari organisasi itu, karena bersebarangan pendapat mengenai perjuangan
menuntut kesetaraan.[9]
Zainab Al-Ghazali
banyak dipengaruhi oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Banna. Ia
memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik.
Ia adalah orang yang lantang mempertahankan syari’ah dan kerap menghadapi masalah
dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia mengalami
hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.
Model-model Siksaan
Banyak sekali siksaan
yang di alami oleh Zainab Al-Ghazali, bahkan siksaan yang di berikan kepadanya
melebihi siksaan yang di berikan kepada seorang laki-laki. Diantara siksaan
yang di tujukan kepadanya.[10] Yakni,
dicambuk hingga kakinya berdarah, di ikat, digantung secara bersamaan, direndam
didalam kolam, dan masih banyak sikssaan yang lainya yang di berikan kepadanya.
Pencapaian Hasil dari Gerakan Pembaharuan di Mesir
Setelah terjadinya gerakan pembaharuan ini, posisi perempuan mulai
terangkat. Banyak sekali pencapaian-capaian hasil gerakan pembaharuan tersebut,
diantaranya:[11]
a. Menyertakan perempuan
dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi
baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender
bagaimana pun bentuknya. Terbukti adanya berbagai kelompok feminis yang bekerja
untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi
konstitusi yang lebih peka gender.
b. Untuk mendorong hak-hak
perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai
organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini
dalam kabinet baru yang sedang dibentuk.
c. Banyak perempuan dalam
al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi
mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan
Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan
al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial.
Daftar Pustaka
v
Amini, Aisah. Gerakan Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
v El Tahaway,
Randha. Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan. Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0
pada tanggal 28 September 2013.
v http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/1943-zainab-al-ghazali-al-zubaili-pengorbanan-seorang-pejuang-hak-kaum-wanita.
diakses pada tanggal 28 Sepetember 2013.
v http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=209:fikrah-edisi-22-model-pembebasan-perempuan-ala-qasim-amin&catid=38:fikrah&lang=en
diakses pada tanggal 28 September 2013.
v Qazan, Shalan. Membangun
Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan. Solo: Era Intermedia, 2001.
[1] Aisah Amini, Gerakan
Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
[2] Randha El Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan.
Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0 pada tanggal 28 September 2013.
[3] Aisah Amini, Gerakan
Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
[4]http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=209:fikrah-edisi-22-model-pembebasan-perempuan-ala-qasim-amin&catid=38:fikrah&lang=en diakses pada tanggal 28 September 2013.
[5] Ibid.
[6] Shalah Qazan, Membangun
Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan (Solo: Era Intermedia, 2001), h.181.
[7] http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/1943-zainab-al-ghazali-al-zubaili-pengorbanan-seorang-pejuang-hak-kaum-wanita. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2013.
[8] http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/1943-zainab-al-ghazali-al-zubaili-pengorbanan-seorang-pejuang-hak-kaum-wanita. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2013.
[9] Ibid.
[10] Shalah Qazan, Membangun
Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, h. 188.
[11] Randha El
Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar