Makalah Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Relasi
Gender dalam Agama - agama
Dosen
Pembimbing :
Siti Nadroh, M.A.
Oleh :
Dede
Ardi Hikmatullah
NIM :
1111032100037
Ida Zubaedah
NIM : 1111032100032
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
PENDAHULUAN
Dalam pengantar sebuah buku bertemakan kesetaraan gender, Quraish Shihab
menyatakan bahwa dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah
dengan kodrat. Kodrat manusia merupakan keseluruhan sifat-sifat asli dan
kemampuan dan bakat asli yang dimiliki manusia sejak diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa sejak dalam kandungan Ibu hingga mati. Begitupun dengan laki-laki atau
perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan memiliki
kodratnya masing-masing. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan memang
tidak dapat disangkal, namun itulah kodrat. Dan perbedaan itu pun sebatas pada
segi biologis saja. Sementara di sisi lain, dapat dipastikan bahwa tidak ada
perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir antara laki-laki dan
perempuan dan peran social yang diberikan masyarakat untuk perempuan dan
laki-laki nah itulah yang disebut dengan gender, jadi disini jelas sekali
perbedaan antar gender dan kodrat.
Berkenaan dengan kedudukan laki-laki dan perempuan, Quraish Shihab juga
menyatakan bahwa jenis laki-laki dan perempuan itu sama di hadapan Allah.
Memang ada ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa: “Para lak-laki (suami)
adalah pemimpin para perempuan (isteri)”. Namun kepemimpinan ini tidak
boleh mengantarkannya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi
al-Qur’an memerintahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan
dan dari sisi lain al-Qur’an memerintahkan pula agar suami dan misteri hendaknya
mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama. Jika demikian
halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan isteri, laki-laki dan perempuan,
adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat
al-Qur’an menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan
saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan.
Dulu, keadaan perempuan memang sangat “mengkhawatirkan”. Sebagai
contoh, di mata orang-orang Yunani zaman dulu, perempuan sering dilecehkan dan
diejek. Bagi mereka, perempuan sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa
diperjualbelikan di pasar. Perempuan juga tidak mendapatkan hak bagian harta
pusaka dan harta warisan, dan tidak berhak menggunakan hartanya sendiri.
Begitu pun di mata orang-orang Romawi zaman dulu, perempuan dianggap sebagai
‘hamba’ laki-laki dan sebagai barang dagangan murah yang dapat dipergunakan
sekehendak hati. Hidup perempuan menjadi milik ayahnya, kemudian suaminya,
kemudian anak-anaknya.
Dan tidak jauh berbeda, di zaman Arab Jahiliyah, perempuan sangat
sedikit sekali mendapatkan penghormatan. Perempuan banyak dianiaya, dikucilkan,
dan diperjualbelikan. Seorang suami kadang ‘menukar’ istri mereka dengan istri
orang lain, dan mereka sering sekali membunuh bayi-bayi perempuan karena
dianggap ‘aib’. Lalu kemudian Islam datang dengan membawa ‘perubahan’,
khususnya dalam hal kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki. Nabi
Muhammad, sebagai tokoh sentral dalam perubahan ini, memang dihadapkan pada
berbagai macam hambatan. Namun, karena misi ajaran-ajaran yang dibawanya berisi
pembebasan dari berbagai penindasan, maka secara peralahan Islam mampu mencapai
‘kesuksesan’.
Harus diakui bahwa memang agama Islam tidak merinci pembagian kerja
antar laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok
masing-masing, sembari menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas
dasar musyawarah dan tolong-menolong.
Dalam makalah ini akan diuraikan secara ringkas bagaimana perempuan
dan perubahan sosial dalam Islam. Di dalamnya juga mencakup pembicaraan
mengenai kondisi perempuan pra Islam, peran perempuan dalam membangun
masyarakat muslim di masa awal Islam, dan terakhir mengenai pengulangan
marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam pasca Nabi Muhammad
B.
PEREMPUAN, AGAMA, DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
Gender, sebagaimana halnya kelompok etnis, dalam banyak masyarakat
merupakan salah satu faktor utama yang menentukan status seseorang. Dapat
dimaklumi bahwa persoalan gender berpotensi untuk menimbulkan konflik dan
perubahan sosial, karena sistem patriarki yang berkembang luas dalam
berbagai masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan
secara kultural, struktural, dan ekologis. Sebagai akibat dari pertumbuhan dan
mobilitas penduduk, urbanisasi dan revolusi industri menimbulkan berbagai
perubahan sosial, termasuk dalam kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan.
Menurut Johnson, seperti yang dikutip Nasaruddin dalam bukunya
“Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an”, ada beberapa hal yang dapat
menjadi indikator penghambat perubahan sosial dalam kaitannya dengan tuntutan
persamaan hak laki-laki dan perempuan, yaitu: