Selasa, 26 November 2013

“Islam dan Kesetaran Gender”

Oleh: Ika Wahyu Susanti
1111032100039/ PA/B

·         Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Mesir
      Gerakan-gerakan yang menggugat ketidak adilan gender di Mesir umumnya bertumpu pada satu semangat yaitu persamaan hak peningkatan status dan peran status social perempuan. Sejarah gerakan feminism di Mesir muncul pada akhir abad 19 hingga awal abad 20.[1] Pada revolusi 1919 mencuat semua rakyat Mesir termasuk perempuan bergerak turun ke jalan menuntut kemerdekaan Mesir dari Inggris. Pada era 1920-an Huda Sya’rawi mendirikan organisasi wanita pertama di Mesir yaitu Al-Ittihad al-Nisa’I al-Misri (Persatuan Wanita Mesir)[2] atau the Egyptian Feminist Union (EFU). Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami(the personal satus law), persamaan akses pendidikan baik di tingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang kesempatan professional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.[3]
Pada periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile (Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan menyegarkan gerakan feminis, bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan. Namun, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak organisasi perempuan. Organisasi perempuan melemah karena respon pemerintahan Nasser sangat respek atas isu-isu perempuan, persoalan kesetaraan gender, dan bersamaan dengan revisi undang-undang buruh yang berhubungan dengan pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga kursus, serta adanya jaminan negara atas hak perempuan untuk memilih.[4]


·         Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Iran
Qasim Amien merupakan seorang tokoh pencetus pemikiran yang mainstream dan aksi-aksi kaum Hawa. Karena itu, pada saat kita berbicara tentang gerakan feminisme di Arab maka tidak akan lepas dari pembicaraan tentang Qasim Amien, seorang tokoh yang berjasa dalam pergerakan pembebasan kaum perempuan Arab khususnya dan kaum perempuan muslimah di Negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Qasim Amien dijuluki sebagai Bapak “Feminisme” Arab.Namanya dikenang sebagai pejuang kebebasan perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Dan pemikirannya banyak mempengaruhi para pejuang pergerakan feminisme yang datang setelah zamannya. Seperti Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, Nawwal Sa’dawi, May Ziyadah, Aisha Taymoriah, dan yang lain.
Qasim Amien lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan data empirik dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Syarat utama suatu teori sosial menurut Qasim Amien, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain, karena tergantung pada kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut­—termasuk di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.[5]
Dalam kajian sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari pergerakan-pergerakan pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara rigid dan tertutup, varian ini biasanya dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif. Kedua, Font Reformis-liberal adalah gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi terdapat kelompok yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum terdahulu (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Jika kita mencoba mengklasifikasikan posisi feminis Qasim Amien maka, beliau masuk pada kelompok Font Reformis-liberal. Hal ini dapat dibuktikan ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum perempuan— beliau menafsirkan kembali (reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi, “dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. [6]
Norma-norma agama yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno.[7] Menurut Qasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika sosial.[8] Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.
·         Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Turki
Di Turki sejak 1926 poligami resmi dilarang. Di Tunisia seperti di Turki, poligami juga dilarang dengan UU tahun 1956, bahkan bagi yang melanggar dikenakan hukuman dengan berbagai bentuknya sesuai dengan undang-undang dari negara-negara tersebut (Mudzhar, 1995: 318). Isu poligami tidak lepas dari persoalan di atas, tarik-menarik antara pemuja Barat dan pihak yang tetap konstan pada tradisi fikih konservatif telah memperpanjang isu poligami sampai sekarang. Sesuai referensi yang ada, disepakati bahwa pembaharuan undang-undang poligami di negara-negara Muslim tidak menunjukkan perkembangan yang cukup dramatis. Sebagai negara radikal, hanya Turki dan Tunisia yang mempunyai kebijakan lain dengan negara lain, di mana keduanya berani melarang praktik poligami bagi penduduknya, bahkan sanksinya. Penyebab utama terjadinya kebijakan dari negara yang dimaksudkan di atas tidak lepas dari situasi sosial politik yang melingkupinya.[9] Tokoh-tokoh gerakan pembaharuan di Turki antara lain: Tanzimat (Rasyid Pasha, Muhammad Ali Pasha, dll); Mustafa Kemal Ataturk; dll.[10]

Referensi
ü  Amien Qasim. al-A’mâl al-Kâmila.  (editor Muhamad ‘Imarah). Kairo: Dâr Al-Syurûq. 1989. cet. 3
ü  ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/.../128, Kamis, 31 Oktober 2013. pukul 22.25
ü  Tim PSW. Menolak Subordinasi Menyeimbangkan relasi. Mataram: Pusat Studi Wanita IAIN Mataram Lombok. 2007



[1] Tim PSW, Menolak Subordinasi Menyeimbangkan relasi, (Mataram: Pusat Studi Wanita IAIN Mataram Lombok, 2007), h. 17
[2] Tim PSW, Menolak Subordinasi Menyeimbangkan relasi, h. 18
[3] Dikutip dari Sulkhan Chakim, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan Gerakan Pembaharuan di Timur Tengah, ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/.../128, Kamis 31 Oktober 2013, pukul 22.25
[4] Ibid
[7] Qasim Amien, al-A’mâl al-Kâmilah, (editor Muhamad ‘Imarah), Kairo: Dâr Al-Syurûq, 1989, cet. 3, hlm. 37
[8] Qasim Amien, Al-Mar’ah Al-Jadîdah, Kairo: Al-Majlis Al-A‘lâ Li Al-Tsaqâfah, 1999, hlm. 30
[9] Iskandar Dzulkarnain  Peran Organisasi Perempuan Islam Menghapus ketidakadilan gender Terhadap Keluarga Berpoligami Di Sumenep Madura, H 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar