Oleh: Ika
Wahyu Susanti
1111032100039/
PA/B
·
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Mesir
Gerakan-gerakan yang menggugat ketidak
adilan gender di Mesir umumnya bertumpu pada satu semangat yaitu persamaan hak
peningkatan status dan peran status social perempuan. Sejarah gerakan feminism
di Mesir muncul pada akhir abad 19 hingga awal abad 20.[1] Pada
revolusi 1919 mencuat semua rakyat Mesir termasuk perempuan bergerak turun ke
jalan menuntut kemerdekaan Mesir dari Inggris. Pada era 1920-an Huda Sya’rawi
mendirikan organisasi wanita pertama di Mesir yaitu Al-Ittihad al-Nisa’I
al-Misri (Persatuan Wanita Mesir)[2]
atau the Egyptian Feminist Union (EFU). Fokus perjuangannya adalah
hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup
pengendalian perceraian, poligami(the personal satus law), persamaan
akses pendidikan baik di tingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai
pengembangan tentang kesempatan professional bagi perempuan. Namun demikian,
aktivitas pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan
nasionalisme.[3]
Pada periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint
el-Nile (Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik.
Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan menyegarkan gerakan feminis,
bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan.
Namun, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa
pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian
ruang gerak organisasi perempuan. Organisasi perempuan melemah karena respon
pemerintahan Nasser sangat respek atas isu-isu perempuan, persoalan kesetaraan
gender, dan bersamaan dengan revisi undang-undang buruh yang berhubungan
dengan pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga kursus, serta adanya jaminan
negara atas hak perempuan untuk memilih.[4]
·
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Iran
Qasim Amien merupakan seorang
tokoh pencetus pemikiran yang mainstream dan
aksi-aksi kaum Hawa. Karena itu, pada saat kita berbicara tentang gerakan
feminisme di Arab maka tidak akan lepas dari pembicaraan tentang Qasim Amien,
seorang tokoh yang berjasa dalam pergerakan pembebasan kaum perempuan Arab
khususnya dan kaum perempuan muslimah di Negara-negara Dunia Ketiga pada
umumnya. Qasim Amien dijuluki sebagai Bapak “Feminisme” Arab.Namanya dikenang
sebagai pejuang kebebasan perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Dan
pemikirannya banyak mempengaruhi para pejuang pergerakan feminisme yang datang
setelah zamannya. Seperti Huda
Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, Nawwal Sa’dawi, May Ziyadah, Aisha Taymoriah, dan yang
lain.
Qasim Amien lebih
cenderung menyimpulkan suatu permasalahan menggunakan piranti-piranti analisa
sosial dan data empirik dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat
pada waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan
pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Syarat utama suatu
teori sosial menurut Qasim Amien, adalah, teori
tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori
sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa
direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori
tersebut tidak dapat direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain,
karena tergantung pada kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural,
berbeda, dan bertentangan. Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut—termasuk
di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.[5]
Dalam kajian
sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari
pergerakan-pergerakan pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga usul-usul
(fundamen), tradisi dan agama secara rigid dan tertutup, varian ini biasanya
dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif. Kedua, Font Reformis-liberal adalah gerakan
yang mengkaji agama dan tradisi secara kritis, rasional dan liberal. Begitu
juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi terdapat kelompok
yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum terdahulu (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Jika kita mencoba
mengklasifikasikan posisi feminis Qasim Amien maka, beliau masuk pada kelompok Font Reformis-liberal. Hal
ini dapat dibuktikan ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di bidang
sosial,—di antaranya permasalahan kaum perempuan— beliau menafsirkan kembali
(reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi, “dekonstruksi” dan rekonstruksi
terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu timbulnya diskriminasi dan
subordinasi terhadap perempuan. [6]
Norma-norma agama
yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya,
kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang termaktub
dalam teks al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama Islam, namun bagi
Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk adat istiadat
yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno.[7]
Menurut Qasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus
diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi
setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi
catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas,
melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika
sosial.[8] Kondisi kaum perempuan pada waktu itu
bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas
kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan
untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai
kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan
masyarakatnya.
·
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Turki
Di Turki sejak 1926 poligami resmi dilarang. Di Tunisia
seperti di Turki, poligami juga dilarang dengan UU tahun 1956, bahkan bagi yang
melanggar dikenakan hukuman dengan berbagai bentuknya sesuai dengan
undang-undang dari negara-negara tersebut (Mudzhar, 1995: 318). Isu poligami
tidak lepas dari persoalan di atas, tarik-menarik antara pemuja Barat dan pihak
yang tetap konstan pada tradisi fikih konservatif telah memperpanjang isu
poligami sampai sekarang. Sesuai referensi yang ada, disepakati bahwa pembaharuan
undang-undang poligami di negara-negara Muslim tidak menunjukkan perkembangan
yang cukup dramatis. Sebagai negara radikal, hanya Turki dan Tunisia yang
mempunyai kebijakan lain dengan negara lain, di mana keduanya berani melarang
praktik poligami bagi penduduknya, bahkan sanksinya. Penyebab utama terjadinya
kebijakan dari negara yang dimaksudkan di atas tidak lepas dari situasi sosial
politik yang melingkupinya.[9]
Tokoh-tokoh gerakan pembaharuan di Turki antara lain: Tanzimat (Rasyid Pasha,
Muhammad Ali Pasha, dll); Mustafa Kemal Ataturk; dll.[10]
Referensi
ü Amien Qasim. al-A’mâl
al-Kâmila. (editor Muhamad
‘Imarah). Kairo: Dâr Al-Syurûq. 1989. cet. 3
ü ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/.../128,
Kamis, 31 Oktober 2013. pukul 22.25
ü http://islamlib.com/?site=1&aid=62&cat=content&cid=8&title=dari-pembebasan-perempuan-menuju-pemberdayaan-perempuan-modern. kamis 31 Oktober2013.
pukul 22.00
ü Tim PSW. Menolak Subordinasi Menyeimbangkan relasi. Mataram:
Pusat Studi Wanita IAIN Mataram Lombok. 2007
[1] Tim PSW, Menolak
Subordinasi Menyeimbangkan relasi, (Mataram: Pusat Studi Wanita IAIN
Mataram Lombok, 2007), h. 17
[2] Tim PSW, Menolak
Subordinasi Menyeimbangkan relasi, h. 18
[3]
Dikutip dari Sulkhan Chakim, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan Gerakan
Pembaharuan di Timur Tengah,
ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/.../128, Kamis 31 Oktober 2013, pukul
22.25
[4] Ibid
[5] http://islamlib.com/?site=1&aid=62&cat=content&cid=8&title=dari-pembebasan-perempuan-menuju-pemberdayaan-perempuan-modern, kamis 31 Oktober2013, pukul 22.00
[6] http://islamlib.com/?site=1&aid=62&cat=content&cid=8&title=dari-pembebasan-perempuan-menuju-pemberdayaan-perempuan-modern, kamis 31 Oktober 2013, pukul 22.00
[7] Qasim Amien, al-A’mâl
al-Kâmilah, (editor Muhamad
‘Imarah), Kairo: Dâr Al-Syurûq, 1989, cet. 3, hlm. 37
[8] Qasim Amien, Al-Mar’ah
Al-Jadîdah, Kairo: Al-Majlis
Al-A‘lâ Li Al-Tsaqâfah, 1999, hlm. 30
[9] Iskandar Dzulkarnain Peran Organisasi Perempuan Islam Menghapus
ketidakadilan gender Terhadap Keluarga Berpoligami Di Sumenep Madura, H 22
[10] http://jorjoran.wordpress.com/2011/02/28/pembaharuan-islam-di-mesir-dan-turki-makalah/, Kamis, 31
Oktober 2013, pukul 22.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar