Oleh:
Ratna
Hildia. A
Menurut
pandangan ajaran Buddha, seperti yang terdapat dalam Agganna Sutta, Kutadanta
Sutta, semuanya dalam Digha Nikaya, kriteria seorang pemimpin tidak disebutkan
harus pria atau wanita, atau hanya pria dan tidak boleh wanita. Akan tetapi
sangat jelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ciri khas yang
dapat dijadikan tauladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih
dan diberi kepercayaan oleh rakyatnya karena memiliki kemampuan untuk bertindak
dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat.
Seorang pemimpin memiliki sifat-sifat yang bisa menjadi contoh bagi rakyatnya.
Sang Buddha memberikan kebebasan yang sama terhadap bhikkhu,
bhikkhuni, upasaka, upasika. Status dan pecan wanita dalam Buddha Dhamma adalah
sama sebagaimana status pria sama-sama manusia tinggi rendah, lemah kuatnya
ditentukan oleh perilakunya masing-masing bukanlah oleh jenis kelaminnya.
"Kammam satte vidhajati yadidam hinappanittaya (perbedaan setiap mahluk
yang kasar atau halus, ditentukan oleh kamma-nya sendiri (majjhimakaya).
Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada siapapun yang berkehendak
untuk mendengarkannya kepada laki-laki dan wanita dari kasta apapun, pekerjaan
apapun dan agama apapun. Beliau mengajarkan bahwa pembebasan dari siklus
kelahiran dan penderitaan yang tidak ada akhirnya itu mungkin terjadi pada
siapapun yang awas terhadap kebenaran. Seharusnya tidak ada tingkatan kasta
diantara bhikkhu dan bhikhuni, semuanya sama didalam Dharma. Untuk itu beliau
mengatakan bahwa seharusnya tidak ada penggolongan sosial didalam sangha.
Peranan
Wanita dalam Kehidupan Beragama dan Keluarga
Salah satu kemajuan yang sangat menarik dalam Buddhisme sebagaimana
yang berkembang di Barat adalah munculnya peran penting dan kaum wanita. Sebelum
Zaman Buddhis India, kaum wanita memiliki status yang sangat rendah dan hidup
tanpa kehormatan. Seorang anak wanita menjadi sumber kecemasan bagi orang
tuanya, jika orang tuanya tidak dapat mencarikan suami untuk puterinya, hal itu
akan sangat memalukan mereka. Satu-satunya penghargaan untuk kaum wanita adalah
perannya sebagai seorang ibu dari kaum laki-laki. Pada masa diskriminasi
terhadap kaum wanita yang demikian ekstrimnya di India, Sang Buddha muncul dan
memberi kebebasan penuh kepada wanita untuk berpartisipasi dalam kehidupan
agama. Sang Buddha merupakan guru agama yang pertama memberikan agama ini
kebebasan kepada wanita. Beliau mengangkat dan memberikan persamaan status
kepada kaum wanita serta tidak membatasi mereka untuk mencapai tingkat-tingkat
kesucian dan kemajuan bathiniyah. Beliau mengatakan bahwa hina atau mulianya
manusia itu tergantung kepada perbuatannya, bukan pada jenis kelamin atau
kastanya.
a.
Kewajiban suami terhadap istri
1.
Menghormati istrinya;
2.
Bersikap lemah-lembut terhadap istrinya;
3.
Bersikap setia terhadap istrinya;
4.
Memberikan kekuasaan tertentu kepada istrinya;
5.
Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada istrinya.
b. Kewajiban istri terhadap suami
1.
Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik;
Angutara Nikaya II, 62, dikutip dari Widya,
Ratna Surya. 1996. Tuntunan Perkawinan dan Hidup
Berkeluarga
dalam Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Buddha Sasana), hlm. 20. 6
Tsomo, Karma Lekshe. “Buddhist Women in the
Global Community: Women as Peacemakers,” in
Chapel,
David W. 1999. Buddhist Peacework Creating Cultures of Peace, (Boston: Wisdom
Publications),
hlm. 54. 7
Digha Nikaya III, dikutip dari Widya, Ratna
Surya. Op. Cit., hlm. 23. 4
2.
Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak;
3.
Setia kepada suaminya;
4.
Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya;
5.
Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya.8
Kewajiban suami-istri dalam Sigalovada Sutta
menunjukkan pembagian yang tegas
antara
peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang bekerja di sektor publik dan
perempuan
yang
harus patuh pada suami dan berada di wilayah domestik. Perlu diingat bahwa
sutta ini
diturunkan
pada konteks budaya masyarakat India di masa kehidupan Buddha Gotama.
Penerapannya
memerlukan penyesuaian dengan konteks jaman sekarang yang menghargai
kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan serta bergesernya peran perempuan yang tidak
lagi
terbatas
pada wilayah domestik. Tujuan utama dari nasihat tersebut ialah agar setiap
insan yang
hidup
dalam lingkungan keluarga mengedepankan kewajiban dan tanggung-jawab demi
kesejahteraan
dan kerukunan.
Daftar Pustaka
Ø http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1-2007-nurkhismak-1670-bab4_410-2.pdf
di akses pada 25 November 2013 jam 12.00
Ø http://cfis.uii.ac.id/images/stories/download/uii-pusat-studi-islam-makalah-diskusi-gender-agama-buddha.pdf
di akses pada 25 November 2013 jam 11.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar