Selasa, 26 November 2013

Responding Paper Dalam Agama Budha

Oleh:
Ratna Hildia. A

Menurut pandangan ajaran Buddha, seperti yang terdapat dalam Agganna Sutta, Kutadanta Sutta, semuanya dalam Digha Nikaya, kriteria seorang pemimpin tidak disebutkan harus pria atau wanita, atau hanya pria dan tidak boleh wanita. Akan tetapi sangat jelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ciri khas yang dapat dijadikan tauladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih dan diberi kepercayaan oleh rakyatnya karena memiliki kemampuan untuk bertindak dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat. Seorang pemimpin memiliki sifat-sifat yang bisa menjadi contoh bagi rakyatnya.
Sang Buddha memberikan kebebasan yang sama terhadap bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, upasika. Status dan pecan wanita dalam Buddha Dhamma adalah sama sebagaimana status pria sama-sama manusia tinggi rendah, lemah kuatnya ditentukan oleh perilakunya masing-masing bukanlah oleh jenis kelaminnya. "Kammam satte vidhajati yadidam hinappanittaya (perbedaan setiap mahluk yang kasar atau halus, ditentukan oleh kamma-nya sendiri (majjhimakaya).

Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada siapapun yang berkehendak untuk mendengarkannya kepada laki-laki dan wanita dari kasta apapun, pekerjaan apapun dan agama apapun. Beliau mengajarkan bahwa pembebasan dari siklus kelahiran dan penderitaan yang tidak ada akhirnya itu mungkin terjadi pada siapapun yang awas terhadap kebenaran. Seharusnya tidak ada tingkatan kasta diantara bhikkhu dan bhikhuni, semuanya sama didalam Dharma. Untuk itu beliau mengatakan bahwa seharusnya tidak ada penggolongan sosial didalam sangha.
Peranan Wanita dalam Kehidupan Beragama dan Keluarga
Salah satu kemajuan yang sangat menarik dalam Buddhisme sebagaimana yang berkembang di Barat adalah munculnya peran penting dan kaum wanita. Sebelum Zaman Buddhis India, kaum wanita memiliki status yang sangat rendah dan hidup tanpa kehormatan. Seorang anak wanita menjadi sumber kecemasan bagi orang tuanya, jika orang tuanya tidak dapat mencarikan suami untuk puterinya, hal itu akan sangat memalukan mereka. Satu-satunya penghargaan untuk kaum wanita adalah perannya sebagai seorang ibu dari kaum laki-laki. Pada masa diskriminasi terhadap kaum wanita yang demikian ekstrimnya di India, Sang Buddha muncul dan memberi kebebasan penuh kepada wanita untuk berpartisipasi dalam kehidupan agama. Sang Buddha merupakan guru agama yang pertama memberikan agama ini kebebasan kepada wanita. Beliau mengangkat dan memberikan persamaan status kepada kaum wanita serta tidak membatasi mereka untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian dan kemajuan bathiniyah. Beliau mengatakan bahwa hina atau mulianya manusia itu tergantung kepada perbuatannya, bukan pada jenis kelamin atau kastanya.
a. Kewajiban suami terhadap istri
1. Menghormati istrinya;
2. Bersikap lemah-lembut terhadap istrinya;
3. Bersikap setia terhadap istrinya;
4. Memberikan kekuasaan tertentu kepada istrinya;
5. Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada istrinya.
b.  Kewajiban istri terhadap suami
1. Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik;
 Angutara Nikaya II, 62, dikutip dari Widya, Ratna Surya. 1996. Tuntunan Perkawinan dan Hidup
Berkeluarga dalam Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Buddha Sasana), hlm. 20. 6
 Tsomo, Karma Lekshe. “Buddhist Women in the Global Community: Women as Peacemakers,” in
Chapel, David W. 1999. Buddhist Peacework Creating Cultures of Peace, (Boston: Wisdom
Publications), hlm. 54. 7
 Digha Nikaya III, dikutip dari Widya, Ratna Surya. Op. Cit., hlm. 23.  4
2. Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak;
3. Setia kepada suaminya;
4. Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya;
5. Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya.8
  Kewajiban suami-istri dalam Sigalovada Sutta menunjukkan pembagian yang tegas
antara peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang bekerja di sektor publik dan perempuan
yang harus patuh pada suami dan berada di wilayah domestik. Perlu diingat bahwa sutta ini
diturunkan pada konteks budaya masyarakat India di masa kehidupan Buddha Gotama.
Penerapannya memerlukan penyesuaian dengan konteks jaman sekarang yang menghargai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta bergesernya peran perempuan yang tidak lagi
terbatas pada wilayah domestik. Tujuan utama dari nasihat tersebut ialah agar setiap insan yang
hidup dalam lingkungan keluarga mengedepankan kewajiban dan tanggung-jawab demi
kesejahteraan dan kerukunan.
Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar