Kamis, 28 November 2013

Kondisi perempuan pra Islam



Nama: Ratna Hildya Astuti
Nim: 1111032100033
Responding Paper Topik 4
Kondisi perempuan pra Islam
Posisi perempuan pada masa pra Islam sama sekali tidak berdaya bahkan mungkin dapat dimisalkan sebagai harta benda yang bisa diperjualbelikan dan diwariskan. Sementara laki-laki menguasai seluruh hak-hak yang sebenarnya milik perempuan. Setelah Islam datang, kedudukan wanita diangkat setara dengan laki-laki. Namun ironisnya, keadaan kaum perempuan tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni masih merupakan subordinat laki-laki. Hal itu barangkali disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap mereka masih bersifat skeptis atau bias interpretation terhadap nash-nash (Alquran dan hadis) yang berbicara tentang perempuan. Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa menerima kesetaraan gender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang diberdayakannya wanita dalam aktivitas sosial apalagi dalam kancah politik. Umumnya ulama klasik tidak mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai pemimpin pada semua ini.

Hanya Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita menjadi hakim dalammenangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut harta. Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar mengizinkan perempuan menjadi hakim dalam segala perkara. Meskipun dikatakan bahwa pada umumnya pakar hukum Islam era klasik tidak memberi peluang kepada kaum wanita untuk berperan aktif dalam mengatur masyarakat atau dalam kancah politik, tetapi tidak menutup kemungkinan ide semacam itu juga masih dijumpai dalam masyarakat kontemporer.
Di antara ulama kontemporer yang tidak membolehkan perempuandiangkat sebagai pemimpin adalah Muhammad Abduh (1849-1905). Menurutnya, klausa ayat اyang terdapat dalam QS. 4 : 34 menunjukkan kelebihan jenis laki-laki atas jenis perempuan secara umum, bukan secara perorangan. Karenanya, bila ada seorang perempuan melebihi kemampuan kebanyakan laki-laki, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan argumen untuk membenarkan alasan perempuan boleh menjadi pemimpin atas laki-laki secara umum, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan atau negara.
Wanita Sebelum Islam
Sebelum Islam yang dimaksud di sini adalah masa jahiliyah yang dialami bangsa Arab secara khusus dan dialami penghuni negeri lain secara umum. Ketika itu manusia dalam keadaan fatrah (kosong) dari para rasul. Jalan-jalan kehidupan rusak. Allah Subhaanahu Wata'ala telah melihat mereka sebagaimana yang terdapat dalam hadits, maka Allah Subhaanahu Wata'ala murka kepada mereka, Arab maupun non Arab, kecuali segelintir dari ahlul kitab.
Keadaan wanita pada saat itu pada umumnya dalam keadaan sangat mengenaskan, khususnya di kalangan bangsa Arab. Pada saat itu masyarakat benci terhadap kelahiran mereka. Ada di antara mereka yang menguburnya hidup-hidup. Ada juga yang membiarkan mereka dalam keadaan terhina dan dihinakan, sebagaimana Allah Subhaanahu Wata'ala firmankan (yang artinya), "Dan bila salah seorang dari mereka diberitakan dengan (kelahiran) anak wanita, berubah kecewalah wajahnya dan dia dalam keadaan marah. Dia berusaha menyembunyikan dari masyarakatnya apa yang diberitakan kepadanya. Apakah dia biarkan hidup dalam keadaan hina atau dia kubur. Alangkah jahatnya apa yang mereka hukumi." (QS. An-Nahl: 58-59)."Dan bila al mau’udah ditanya, akibat dosa apakah ia dibunuh?" (QS. At-Takwir: 8-9).
Al Mau’udah artinya anak wanita yang dikubur hidup-hidup. Kalau pun dia bisa lolos dari penguburan itu, dia hidup dalam keadaan hina. Dia tidak dapat warisan dari kerabatnya, betapa pun banyaknya hartanya dan semelarat apa pun kondisi wanita itu. Masyarakat pada masa itu hanya memberikan warisan pada anak pria. Bahkan ironisnya, wanita itu sendiri malah dijadikan barang warisan yang berpindah tangan. Banyak wanita yang hidup di bawah naungan seorang suami yang memiliki istri tak terhingga, tanpa merasa peduli terhadap apa yang dialami oleh para wanita itu. Itu semua akibat kejahatan dan kesewenang-wenangan saat itu.
Inilah kenyataan yang terjadi pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Kenyataan yang sama juga terdapat pada bangsa lain selain Arab. Tengoklah perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dikatakan memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan wanita tidak lebih dari sekadar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Wanita di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.
Peran perempuan dalam Membangun Masyarakat Muslim di Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, baik saat Islam itu lahir maupun kemudian saat Islam berkembang, muncul beberapa tokoh perempuan yang mempunyai peren penting. Tokoh-tokoh tersebut tidak lain merupakan orang-orang terdekat dengan pembawa Islam itu sendiri yaitu Rasulullah Muhammad seperti : istri, putri, dan kerabat dekat beliau. Terutama pada masa awal di mana Islam lahir, tokoh perempuan yang berperan merupakan istri dan putri beliau sendiri. Misalnya Khadijah dan Aisyah yang merupakan istri Rasul, dan Fatimah yang merupakn putri beliau.
Salah satu aktivitas sosial yang banyak diminati kaum perempuan muslimah pada masa awal sejarah peradaban Islam adalah bidang kependidikan dan pelayanan sosial, untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan. Sejarah mencatat peran tokoh-tokoh wanita seperti Syifa’ bint Ubaidillah, Hafshah binti Umar bin Khatab, Karimah bint Miqdad yang menggerakkan pemberantasan “buta huruf” di tengah masyarakat Islam yang baru berkembang di Madinah, sehingga dalam waktu yang relatif singkat perempuan  muslimah di kota Madinah dan sekitarnya sudah mampu membaca dan menulis, padahal ketika Rasulullah datang di Madinah hanya ada 5 (lima) orang perempuan  di sana yang bisa membaca dan menulis. Islam telah menanamkan doktrin “semangat berbagi” (semangat yang mendorong kepedulian untuk membantu dan menolong orang lain yang membutuhkan).
Marginalisasi Perempuan dalam Sejarah Islam pasca Rasulullah
Perempuan dalam perjalananya termarginalisasi oleh kaum laki-laki yang menganggap dirinya superior atas kaum wanita. Akibat konstruksi religio-sosiologis yang berdalih teologis, banyak yang menganggap bahwa perempuan itu sub ordinat dari kaum laki laki. Kontroversi mengenai posisi dan peran kepemimpinan atau ulama perempuan sering pula dihadirkan
Dan Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki.
Sedangkan menurut Menurut Mernissi, marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam terbentuk karena dua hal. Pertama, semangat tribalisme Arab yang tumbuh kembali setelah rasulullah wafat. Kedua pemahaman ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan lepas dari kaitan historisnya. Kedua proses ini bergandengan bersama membentuk citra perempuan Islam seperti yang sekarang ini di kenal. Kecenderungan lain yang turut memperburuk situasi adalah cara memahami agama secara harfiah, kaku, dan persial. Penafsiran Al-Qur’an yang banayak dilakukan selam ini berkenaan dengan kedudukan perempuan tidak melihat kesalingterkaitan antarteks yang menyebabkan pemahaman menjadi dangkal dan berat sebelah. Selain juga tidak dihiraukannya konteks social, historis, dan cultural pada saat sebuah ayat di turunkan.
Bacaan
Fakih Mansur, diskursus gender perspektif islam;, Surabaya ; risalah gusti, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar