Nama:
Ratna Hildya Astuti
Nim:
1111032100033
Responding
Paper Topik 4
Kondisi
perempuan pra Islam
Posisi perempuan pada masa pra Islam sama sekali tidak berdaya
bahkan mungkin dapat dimisalkan sebagai harta benda yang bisa diperjualbelikan
dan diwariskan. Sementara laki-laki menguasai seluruh hak-hak yang sebenarnya
milik perempuan. Setelah Islam datang, kedudukan wanita diangkat setara dengan
laki-laki. Namun ironisnya, keadaan kaum perempuan tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya, yakni masih merupakan subordinat laki-laki. Hal itu barangkali
disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap mereka masih bersifat skeptis atau
bias interpretation terhadap nash-nash (Alquran dan hadis) yang berbicara
tentang perempuan. Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa menerima
kesetaraan gender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang diberdayakannya
wanita dalam aktivitas sosial apalagi dalam kancah politik. Umumnya ulama
klasik tidak mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai pemimpin pada semua ini.
Hanya Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita menjadi hakim
dalammenangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut harta.
Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar mengizinkan perempuan
menjadi hakim dalam segala perkara. Meskipun dikatakan bahwa pada umumnya pakar
hukum Islam era klasik tidak memberi peluang kepada kaum wanita untuk berperan
aktif dalam mengatur masyarakat atau dalam kancah politik, tetapi tidak menutup
kemungkinan ide semacam itu juga masih dijumpai dalam masyarakat kontemporer.
Di antara ulama kontemporer yang tidak membolehkan
perempuandiangkat sebagai pemimpin adalah Muhammad Abduh (1849-1905).
Menurutnya, klausa ayat اyang terdapat dalam
QS. 4 : 34 menunjukkan kelebihan jenis laki-laki atas jenis perempuan secara
umum, bukan secara perorangan. Karenanya, bila ada seorang perempuan melebihi
kemampuan kebanyakan laki-laki, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan argumen
untuk membenarkan alasan perempuan boleh menjadi pemimpin atas laki-laki secara
umum, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan atau negara.
Wanita Sebelum Islam
Sebelum
Islam yang dimaksud di sini adalah masa jahiliyah yang dialami bangsa Arab
secara khusus dan dialami penghuni negeri lain secara umum. Ketika itu manusia
dalam keadaan fatrah (kosong) dari para rasul. Jalan-jalan kehidupan rusak.
Allah Subhaanahu Wata'ala telah melihat mereka sebagaimana yang terdapat dalam
hadits, maka Allah Subhaanahu Wata'ala murka kepada mereka, Arab maupun non
Arab, kecuali segelintir dari ahlul kitab.
Keadaan
wanita pada saat itu pada umumnya dalam keadaan sangat mengenaskan, khususnya
di kalangan bangsa Arab. Pada saat itu masyarakat benci terhadap kelahiran
mereka. Ada di antara mereka yang menguburnya hidup-hidup. Ada juga yang
membiarkan mereka dalam keadaan terhina dan dihinakan, sebagaimana Allah
Subhaanahu Wata'ala firmankan (yang artinya), "Dan bila salah seorang dari
mereka diberitakan dengan (kelahiran) anak wanita, berubah kecewalah wajahnya
dan dia dalam keadaan marah. Dia berusaha menyembunyikan dari masyarakatnya apa
yang diberitakan kepadanya. Apakah dia biarkan hidup dalam keadaan hina atau
dia kubur. Alangkah jahatnya apa yang mereka hukumi." (QS. An-Nahl: 58-59)."Dan
bila al mau’udah ditanya, akibat dosa apakah ia dibunuh?" (QS.
At-Takwir: 8-9).
Al
Mau’udah artinya anak wanita yang dikubur hidup-hidup. Kalau pun dia bisa lolos
dari penguburan itu, dia hidup dalam keadaan hina. Dia tidak dapat warisan dari
kerabatnya, betapa pun banyaknya hartanya dan semelarat apa pun kondisi wanita
itu. Masyarakat pada masa itu hanya memberikan warisan pada anak pria. Bahkan
ironisnya, wanita itu sendiri malah dijadikan barang warisan yang berpindah
tangan. Banyak wanita yang hidup di bawah naungan seorang suami yang memiliki
istri tak terhingga, tanpa merasa peduli terhadap apa yang dialami oleh para
wanita itu. Itu semua akibat kejahatan dan kesewenang-wenangan saat itu.
Inilah
kenyataan yang terjadi pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Kenyataan yang sama juga terdapat pada bangsa
lain selain Arab. Tengoklah perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dikatakan
memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan wanita tidak lebih dari
sekadar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Wanita di
sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak
waris.
Peran perempuan
dalam Membangun Masyarakat Muslim di Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, baik saat Islam itu lahir maupun kemudian
saat Islam berkembang, muncul beberapa tokoh perempuan yang mempunyai peren
penting. Tokoh-tokoh tersebut tidak lain merupakan orang-orang terdekat dengan
pembawa Islam itu sendiri yaitu Rasulullah Muhammad seperti : istri, putri, dan
kerabat dekat beliau. Terutama pada masa awal di mana Islam lahir, tokoh perempuan
yang berperan merupakan istri dan putri beliau sendiri. Misalnya Khadijah dan
Aisyah yang merupakan istri Rasul, dan Fatimah yang merupakn putri beliau.
Salah satu aktivitas sosial yang banyak diminati kaum perempuan
muslimah pada masa awal sejarah peradaban Islam adalah bidang kependidikan dan
pelayanan sosial, untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan. Sejarah
mencatat peran tokoh-tokoh wanita seperti Syifa’ bint Ubaidillah, Hafshah binti
Umar bin Khatab, Karimah bint Miqdad yang menggerakkan pemberantasan “buta
huruf” di tengah masyarakat Islam yang baru berkembang di Madinah, sehingga
dalam waktu yang relatif singkat perempuan
muslimah di kota Madinah dan sekitarnya sudah mampu membaca dan menulis,
padahal ketika Rasulullah datang di Madinah hanya ada 5 (lima) orang
perempuan di sana yang bisa membaca dan
menulis. Islam telah menanamkan doktrin “semangat berbagi” (semangat yang
mendorong kepedulian untuk membantu dan menolong orang lain yang membutuhkan).
Marginalisasi
Perempuan dalam Sejarah Islam pasca Rasulullah
Perempuan
dalam perjalananya termarginalisasi oleh kaum laki-laki yang menganggap dirinya
superior atas kaum wanita. Akibat konstruksi religio-sosiologis yang berdalih
teologis, banyak yang menganggap bahwa perempuan itu sub ordinat dari kaum laki
laki. Kontroversi mengenai posisi dan peran kepemimpinan atau ulama
perempuan sering pula dihadirkan
Dan
Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi sama saja dengan proses
pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang
termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh
perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan
merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender
ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya
untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun
diterapkan antara perempuan dan laki-laki.
Sedangkan
menurut Menurut Mernissi, marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam terbentuk
karena dua hal. Pertama, semangat tribalisme Arab yang tumbuh kembali setelah
rasulullah wafat. Kedua pemahaman ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan
lepas dari kaitan historisnya. Kedua proses ini bergandengan bersama membentuk
citra perempuan Islam seperti yang sekarang ini di kenal. Kecenderungan lain
yang turut memperburuk situasi adalah cara memahami agama secara harfiah, kaku,
dan persial. Penafsiran Al-Qur’an yang banayak dilakukan selam ini berkenaan
dengan kedudukan perempuan tidak melihat kesalingterkaitan antarteks yang
menyebabkan pemahaman menjadi dangkal dan berat sebelah. Selain juga tidak
dihiraukannya konteks social, historis, dan cultural pada saat sebuah ayat di
turunkan.
Bacaan
Fakih Mansur, diskursus gender perspektif islam;, Surabaya ;
risalah gusti, 1996.
http://www.uin-alauddin.ac.id/download-12.%20PANDANGAN%20TENTANG%20KEP.%20PEREMPUAN.pdf di akses pada 28 Novembem 09.00
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar