Rabu, 27 November 2013

Relasi Gender Dalam Agama Budha

Oleh:
Ika Wahyu. S
1111032100039/ PA/B

Peran gender dalam masyarakat, dibangun secara social budaya. Kekuasaan dan kewenangan ditentukan oleh tradisi dan adat dalam masyarakat tersebut. Ketika Budha hadir status perempuan menurun karena dominasi para Brahmana. Kemudian seiring waktu Budhisme pada masa sekarang menekankan pada peran dan status perempuan, bukan hanya dengan menambah perannya sebagai seorang ibu, istri, dan anak perempuan, namun juga dengan membuka jalan baru bagi perempuan untuk menjadi seorang akademisi, pemimpin komunitas, petapa pengelana, dan pencari kebebasan setaraf dengan laki-laki.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Sang Budha tidak membedakan peran serta laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran yang setara dan adil. Seperti juga laki-laki, seorang perempuan dapat menjadi majikan, atasan atau guru (Brahmana) sesuai dengan khotbah Sang Budha.
Mengacu pada perkembangan Budha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuhkmbangkan oleh Sang Budha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Budha. Kesetaran gender dalam Agama Budha didasari kewajiban dan tanggung jawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.
Menurut Agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di atas bumi ini, dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Agama Budha tidak dibicarakan sebagai sesuatu yang bermasalah. Agama Budha membimbing umatnya kepada lebih menghargai gender. Dalam Paninivana Sutta, Sang Budha mengatakan, seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan mempuanyai tugas hidup yang agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka keduanya mempunyai karakter yang tampak berlawanan, padahal justru dari hal inilah muncul keseimbangan.
Dalam ajaran Budha hakikat perempuan dan status perempuan selama masa kehidupan Budha terdapat dalam Sutra Pali. Selain itu Budha juga menegaskan bahwa perempuan juga bisa mencapai tingkatan nirwana. Berikut ini wanita-wanita yang terdapat dalam Sutra Pali:
Ø  Their Kema dipuji sebagai orang yang paling bijaksana diantara para bikhuni.
Ø  Uppalavanna adalah wanita yang paling berwawasan luas.
Ø  Their kisagotami wanita dari kasta rendah yang menjadi anggota Sagha dan mencapai tingkat Arahat.
Ø  Their Sona adalah seorang ibu yang memilki kasih yang tidak egois.
Ø  Patacara seorang teladan dalam winaya bagi para bikhuni
Perbedaan status perempuan yang terjadi dalam dua aliran besar dalam agama Budha yaitu Hinayana dan Mahayana dapat kita lihat dalam fenomena sebagai berikut:
§  Tradisi Mahayana berpandangan lebih liberal dan modern, sehingga perkembangan aliran ini sangat pesat, yang menyebabkan bnyak terdapat perempuan yang menjadi biksuni seperti di Negara China, Taiwan, Korea, dan Vietnam.
§  Sedangkan tradisi Theravada mengalami keterbatasan dalam perkembangan ajaran-ajaran Budha, sehingga hanya terdapat sedikit sangha biksuni.
Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bhikkhuni.
Agama Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas),Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.
Setelah Buddha mangkat (Parinibbana), status perempuan mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan, terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang egaliter.
Walaupun ajarannya tidak banyak menyinggung tentang perkawinan dan keluarga, Buddha memberikan nasihat kepada umatnya yang menempuh hidup berumah-tangga mengenai tata hubungan yang harmonis dan seimbang di antara anggota keluarga. Di dalam Sigalovadha Sutta dijabarkan tugas dan kewajiban orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, tuan-pembantu, bahkan juga guru-murid, teman atau sahabat. Buddha menekankan bahwa seseorang hendaknya selalu mendahulukan kewajibannya, selalu  berpikir untuk mempersembahkan sesuatu yang bermanfaat dan membuat orang lain bahagia.
Komponen keluarga meliputi suami-istri, orang tua/mertua-anak, dan majikan-pegawai/ pembantu. Kewajiban dari masing-masing komponen tersebut akan diuraikan di bawah ini seperti yang tertulis di dalam Sigalovada Sutta:
1.      Kewajiban suami terhadap istri
a.       Menghormati istrinya
b.      Bersikap setia terhadap istrinya
c.       Bersikap lemah-lembut terhadap istrinya
d.      Memberikan kekuasaan tertentu kepada istrinya
e.       Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada istrinya
2.      Kewajiban istri terhadap suami
a.       Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik
b.      Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
c.       Setia kepada suaminya
d.      Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya
e.       Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
3.      Kewajiban orang tua terhadap anak
a.       Mencegah anak berbuat jahat
b.      Menganjurkan anak berbuat baik
c.       Memberikan pendidikan profesional kepada anak
d.      Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
e.       Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
Agama Budha tidak hanya mengajarkan ajaran-ajaran tentang baik-jahat, terpuji-tercela, kekal-fana, memuaskan-mengecewakan, dan seterusnya. Dalam Agama Budha terdapat prinsip Delapan Jalan Utama’ (Ariya Atthangika Magga) yang diajarkan oleh Buddha dan  ini merupakan way of life’ yang sehat, sering juga disebut sebagai ‘Jalan Tengah’ (Majjhimā Patipadā) yang tidak memanjakan kesenangan inderawi dan tidak pula menyiksa diri. Jalan Tengah yang dimaksud yaitu:
1.      Sammā Ditthi : Pengertian Benar
2.      Sammā Sankapa : Pikiran Benar
3.      Sammā Vāccā : Ucapan Benar
4.      Sammā Kammanta : Perbuatan Benar
5.      Sammā Ajiva : Penghidupan Benar
6.      Sammā Vāyāma : Daya Upaya Benar
7.      Sammā Satti : Perhatian Benar
8.      Sammā Samādhi : Konsentrasi Benar

Bahan Bacaan
§  http://artikeltugaskuliah.blogspot.com/2013/05/gender-dalam-perspektif-agama.html, diakses pada Rabu 20 November 2013, pukul 21.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar