RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN
(Revisi)
Dosen Pembimbing: Hj. Siti Nadroh, MA
Disusun
untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Relasi Gender dalam Agama-Agama
Oleh:
Siti Nurhayati
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan sejarah umat manusia, pranata kehidupan diatur
atas dasar kepentingan kelompok tertentu, yaitu kelompok yang kuat dan
berkuasa. Fakta kehidupan seperti ini memberi bukti bahwa pranata kehidupan
merupakan konstruksi sosial budaya (baca: gender), buatan manusia, yang berbeda
atas dasar waktu dan tempat. Pranata kehidupan buatan manusia ini kemudian
disebut kebudayaan. Kebudayaan selalu mengalami pergeseran atau perubahan,
mulai dari kehidupan sosial masyarakat sampai menyentuh kehidupan keluarga.
Pergeseran budaya dalam keluarga tidak hanya menyangkut pada penelusuran garis
keturunan anak, tetapi juga menyangkut pengaturan kehidupan. Pada umumnya
pengaturan kehidupan ditentukan oleh laki-laki. Akibat dari pranata kehidupan
semacam ini kemudian terjadi relasi timpang antara laki-laki dan perempuan.
Relasi yang timpang ini membentuk falsafah hidup dominan laki-laki. Ketika
kebudayaan dalam perkembangannya makin tidak adil dan tidak manusiawi, maka
manusia berusaha meluruskanya antara lain melalui agama.
Gender dalam prespektif katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya
khususnya budaya Yahudi. Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata
Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka
marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini
menunjuk pada dominan laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga
atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam
masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu
sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap
sebagai suatu kebenaran.
Dalam pemahaman tentang Kitab Suci orang Kristen, tidak dapat
terlepas dari konteks, latar belakang sosial, budaya, politik masyarakat
penulisnya. Pandangan terhadap perempuan dalam Kitab Suci juga tidak terlepas
dari budaya patriarkhat yang melatari penulisan kitab tersebut. Prespektif dan
latar belakang penulis sangat mewarnai isi tulisan. Disini penulis akan
membahas sebagaimana pemahaman penulis berdasarkan sumber yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul Penciptaan Manusia menurut al-Kitab
Kitab Kej (Kejadian) menjelaskan bahwa Allah melakukan penciptaan
terhadap alam selama enam hari kerja. Allah menciptakan bumi dan langit serta
binatang darat dan tumbuh-tumbuhan serta isinya. Baru pada hari yang keenam
puncaknya, yaitu penciptaan manusia. Manusia diciptakan berbeda dari binatang
dan dari segala makhluk yang lain, karena dia dijadikan menurut gambar dan rupa
Allah. Dalam Kejadian 1:26-28 dapat kita temukan tiga keterangan yang
menjelaskan manusia mempunyai hubungan khusus dengan Allah, manusia mempunyai
hubungan khusus dengan sesama manusia dan manusia mempunyai hubungan khusus
dengan makhluk-makhluk lain.[1]
Dalam Kejadian 2:7 disebutkan sebagai berikut:
“Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah
dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia
menjadi makhluk yang hidup”.[2]
Menurut ayat tersebut Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu
tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, sehingga manusia
menjadi mahluk hidup. Manusia pertama yang diciptakan Allah ini kemudian diberi
nama Adam. Setelah Allah menciptakan manusia, maka Ia mengaruniai manusia
dengan kemungkinan untuk hidup dan Tuhan membuat taman Firdaus di Eden.[3]
Taman Firdaus telah melukiskan keadaan yang sempurna tentang adanya
dua pohon, yakni pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan yang
jahat. Pohon-pohon itu mempunyai arti simbol arti perlambangan pohon kehidupan
yang melambangkan hidup kekal yang akan dialami manusia apabila ia tetap hidup
damai dengan Allah. Pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat di sini adalah
lebih dari ilmu pengetahuan intelektual, lebih dari otak manusia, artinya
penentuan apa apa yang baik atau yang jahat.
Manusia harus melakukan dengan taat apa yang ditetapkan Allah.
Sebagai tanda ketaatan itu manusia tidak boleh memakan buah pohon pengetahuan tentang
yang baik dan yang jahat. Jika ia tidak taat tentu ia akan mati.
Ketika Adam telah melaksanakan tugas memberi nama kepada semua binatang,
dengan menentukan sifat binatang itu dan menguasainya. Kemudian Tuhan Allah
berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”. (Kejadian 2:18). Maka
Tuhan mendatangkan kantuk bagi manusia, dan sementara dia tidur, Tuhan
mengambil salah satu tulang iga yang telah diambil oleh Tuhan dari manusia itu untuk
menciptakan seorang perempuan.[4]
Sesuai dengan firman Tuhan yang berbunyi :
22. “Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah
seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu”.
23. “Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia tulang dari
tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil
dari laki-laki”.[5]
Ketika manusia bangun dari tidurnya dan menyambut perempuan itu
dari tangan Allah, dan Adam mengakui bahwa laki-laki dan perempuan merupakan satu
kesatuan yang erat dan satu dengan yang merupakan kesatuan yang mutlak. Dalam
Kejadian 3:20 yang berbunyi: “Manusia itu memberi nama Hawa kepada
istrinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup”.
Manusia mendapat tugas mengusahakan dan memelihara taman Firdaus,
tetapi setan dan iblis musuh manusia masih di taman itu. Pada suatu saat setan
berubah menjadi sebuah ular dan kemudian mendatangi perempuan, kemudian ular
merayu Hawa agar memakan buah yang ada di tengah-tengah taman yang terlarang.
Lama-lama perempuan itu tergoda oleh setan, kemudian ia memakan buah yang
terlarang tersebut dan sebagian tersebut diberikan kepada suaminya dan
laki-laki itu memakannya. Karena laki-laki dan perempuan itu telah melanggar
larangan Tuhan, maka manusia dikeluarkan dari taman Firdaus dan dibuang ke
bumi. Sehingga laki-laki tersebut kesusahan dalam mencari rizki di bumi.
Sedangkan perempuan dihukum dengan “susah payah waktu mengandung, akan kubuat
sangat banyak dengan kesakitan, engkau akan melahirkan anakmu, namun engkau
akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atas dirimu (Kejadian 3:1-7).[6]
Dengan demikian penciptaan manusia selanjutnya baru melahirkan,
seperti dalam firman Allah Kejadian 4:1 yang berbunyi:
“Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa istrinya, dan
mengandunglah perempuan itu lalu melahirkan Kain, maka kata perempuan itu: “Aku
telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan Tuhan”.[7]
Semenjak itu terjadinya manusia selanjutnya melalui proses tersebut
hingga sampai sekarang.
B.
Kesetaraan Dalam Pengabdian Terhadap Tuhan dan Rosul
Secara umum gereja-gereja Liberal menerima
keberadaan perempuan sebagai pemimpin dan menempatkannya sejajar dengan
laki-laki. Tidak bisa disangkal dunia ini memang menuntut kesetaraan laki-laki
dan perempuan karena itu merupakan konsekwensi implimentasi demokrasi. Namun
sehebat apapun demokrasi di suatu Negara, demokrasi tidak bisa mengubah dan
menghancurkan apa yang diajarkan Alkitab.
beberapa persamaan laki-laki dan perempuan di hadapan
Allah.
(1) Laki-laki dan
perempuan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”
(Kejadian 1:27).
“Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?”
(Matius 19:4)
“Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan”
(Markus 10:6).
(2)
Allah memberkati laki-laki dan perempuan
“Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama “Manusia” kepada mereka, pada
waktu mereka diciptakan” (Kejadian 5:2)[8]
(3) Perempuan juga dipanggil
sebagai nabi
“Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan
Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan
mengikutinya memukul rebana serta menari-nari” (Keluaran 15:20)
“Pada waktu itu Debora, seorang nabiah, isteri
Lapidot, memerintah sebagai hakim atas orang Israel” (Hakim-hakim 4:4)
“Maka pergilah imam Hilkia, Ahikam, Akhbor, Safan dan Asaya kepada nabiah
Hulda, isteri seorang yang mengurus pakaian-pakaian, yaitu Salum bin Tikwa bin
Harhas; nabiah itu tinggal di Yerusalem, di perkampungan baru. Mereka
memberitakan semuanya kepadanya” (2 Raja-raja 22:14)
“Maka pergilah Hilkia dengan orang-orang yang disuruh raja kepada nabiah
Hulda, isteri seorang yang mengurus pakaian-pakaian, yaitu Salum bin Tokhat bin
Hasra, penunggu pakaian-pakaian; nabiah itu tinggal di Yerusalem, di
perkampungan baru. Mereka berbicara kepadanya sebagaimana yang diperintahkan”
(2 Tawarikh 34:22)
“Ya Allahku, ingatlah bagaimana Tobia dan Sanbalat masing-masing telah
bertindak! Pun tindakan nabiah Noaja dan nabi-nabi yang lain yang mau
menakut-nakutkan aku” (Nehemia 6:14)
“Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku
Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun
lamanya bersama suaminya” (Lukas 2:36)
(4) Perempuan juga bernubuat dan
dipenuhi Roh Kudus[9]
“Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku
pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat” (Kisah 2:18).
“Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan
hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata
dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan
kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang
Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia
memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan
karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan
karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia
memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. Tetapi semuanya ini
dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada
tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya” (1 Korintus
12:8-11).[10]
(5) Laki-laki dan perempuan
memberikan persembahan kepada Tuhan
“Maka datanglah mereka, baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang yang
terdorong hatinya, dengan membawa anting-anting hidung, anting-anting telinga,
cincin meterai dan kerongsang, segala macam barang emas; demikian juga setiap
orang yang mempersembahkan persembahan unjukan dari emas bagi TUHAN” (Keluaran
35:22)
“Semua laki-laki dan perempuan, yang terdorong hatinya akan membawa sesuatu
untuk segala pekerjaan yang diperintahkan TUHAN dengan perantaraan Musa untuk
dilakukan–mereka itu, yakni orang Israel, membawanya sebagai pemberian sukarela
bagi TUHAN” (Keluaran 35:29).
(6) Perempuan menyanyi di hadapan
Allah [11]
“Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan
orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel
menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana,
dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing” (1Samuel 18:6).
“Yeremia membuat suatu syair ratapan mengenai Yosia. Dan sampai sekarang
ini semua penyanyi laki-laki dan penyanyi perempuan menyanyikan syair-syair
ratapan mengenai Yosia, dan mereka jadikan itu suatu kebiasaan di Israel.
Semuanya itu tertulis dalam Syair-syair Ratapan (2Tawarikh 35:25).
“selain dari budak mereka laki-laki dan perempuan yang berjumlah tujuh ribu
tiga ratus tiga puluh tujuh orang. Pada mereka ada dua ratus penyanyi laki-laki
dan perempuan” (Ezra 2:65).
“Selain dari budak mereka laki-laki dan perempuan yang berjumlah tujuh ribu
tiga ratus tiga puluh tujuh orang. Pada mereka ada dua ratus empat puluh lima
penyanyi laki-laki dan perempuan” (Nehemia 7:76).
“Pada hari itu mereka mempersembahkan korban yang besar. Mereka bersukaria
karena Allah memberi mereka kesukaan yang besar. Juga segala perempuan dan
anak-anak bersukaria, sehingga kesukaan Yerusalem terdengar sampai jauh”
(Nehemia 12:43).
(7) Laki-laki dan perempuan bisa
mengerti hukum taurat
“Lalu pada hari pertama bulan yang ketujuh itu imam Ezra membawa kitab
Taurat itu ke hadapan jemaah, yakni baik laki-laki maupun perempuan dan setiap
orang yang dapat mendengar dan mengerti” (Nehemiah 8:2)
(8) Perempuan melakukan perbuatan
baik
“Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua” (Amsal
31:29)
(9) Perempuan juga memiliki iman
hebat[12]
“Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka
jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya
sembuh” (Matius 15:28).
(10) Perempuan sebagai penyembah
hebat
“Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: “Mengapa kamu
menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu
perbuatan yang baik pada-Ku” (Matius 26:10)
“Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk
makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak
narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu,
dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus” (Markus 14:3)
(11) Perempuan sebagai pengajar bagi
anaknya prempuan dan laki-laki
“Maka dengarlah firman TUHAN, hai perempuan-perempuan, biarlah telingamu
menerima firman dari mulut-Nya; ajarkanlah ratapan kepada anak-anakmu
perempuan, dan oleh setiap perempuan nyanyian ratapan kepada temannya” (Yeremia
9:20).
“Dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan
anak-anaknya” (Titus 2:4).
“Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai
orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi
cakap mengajarkan hal-hal yang baik” (Titus 2:3).[13]
(12) Laki-laki dan perempuan dipenuhi Roh Kudus
“Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku
pada hari-hari itu” (Yoel 2:29).
(13) Perempuan sebagai pendukung pelayanan semasa pelayanan Kristus
“Dan ada di situ banyak perempuan yang melihat dari jauh, yaitu
perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus dari Galilea untuk melayani Dia”
(Matius 27:55)
“Mereka semuanya telah mengikut Yesus dan melayani-Nya waktu Ia di Galilea.
Dan ada juga di situ banyak perempuan lain yang telah datang ke Yerusalem
bersama-sama dengan Yesus” (Markus 15:41)
“Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain.
Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka” (Lukas
8:3)
(14) Perempuan, orang pertama yang melihat Kristus yang bangkit[14]
“Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang
besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus”
(Matius 28:8)
“Mereka sangat ketakutan dan menundukkan kepala, tetapi kedua orang itu
berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang
mati?” (Lukas 24:5)
(15) Perempuan dan laki-laki berdoa bersama-sama
“Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan
beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus”
(Kisah 1:14)
(16) Laki-laki dan perempuan sama-sama dibaptis dengan air
“Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil
tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri
mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan” (Kisah 8:12)
(17) Laki-laki dan perempuan menjadi pelayan Paulus
“Tetapi beberapa orang laki-laki menggabungkan diri dengan dia dan menjadi
percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang
perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan
mereka” (Kisah 17:34)
(18) Para perempuan yang percaya sangat menonjol dalam gereja
“Beberapa orang dari mereka menjadi yakin dan menggabungkan diri dengan
Paulus dan Silas dan juga sejumlah besar orang Yunani yang takut kepada Allah,
dan tidak sedikit perempuan-perempuan terkemuka” (Kisah 17:4)
(19) Para perempuan bekerja keras untuk Tuhan
“Salam kepada Trifena dan Trifosa, yang bekerja membanting tulang dalam
pelayanan Tuhan. Salam kepada Persis, yang kukasihi, yang telah bekerja membanting tulang
dalam pelayanan Tuhan” (Roma 16:12).
(20) Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki keselamatan dalam Kristus
“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba
atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua
adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28).[15]
C.
Peranan Perempuan Menurut al-Kitab
Kata peran diambil dari istilah teater dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kelompok-kelompok masyarakat. Peran ialah bagian yang
kita mainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan
diri terhadap keadaan. Ada beberapa peran yang kita miliki sejak lahir dan
tidak pernah kita pikirkan karena peran tersebut merupakan bagian dari
kehidupan. Seperti saat kita sebagai anak perempuan, kemenakan, kekasih, istri,
ibu, saudara perempuan dan bibi. Sehingga perubahan dari kanak-kanak ke masa dewasa
membawa serta peran-peran baru yang mengubah peran-peran sebelumnya.[16]
Iman orang Kristen adalah bahwa Kristus telah mengorbankan dirinya
untuk manusia dan manusia harus meneladaninya, untuk melayani yang lain demi
Dia. Jadi inti iman orang Kristen adalah kasih dan pelayanan.[17]
Zaman dahulu peran perempuan hanya dalam keluarga saja yaitu
sebagai istri dan sebagai ibu, yang mana perempuan bertugas di rumah melayani
suami dan memelihara anak saja. Karena perkembangan dan tuntutan zaman sehingga
peran perempuan juga mengalami perubahan, seorang perempuan juga mempunyai
peluang yang sama seperti laki-laki. Dalam pembahasan ini, peran
dibedakanmenjadi dua, yakni peran seksualitas dan peran gender.
a.
Peranan Seksualitas Perempuan
Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang mana
keluarga adalah lingkungan pertama yang dijumpai anak yang lahir ke dunia dan
sebagai tempat pendidikan yang primer. Keluarga dapat berfungsi memenuhi
berbagai kebutuhan manusiawi dari kebutuhan primer (sandang, pangan, papan).
Kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan akan
harga diri sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri.[18]
Kebanyakan perempuan telah mengetahui bahwa masyarakat mengharapkan
mereka menjadi istri dan ibu serta mengurus rumah tangga. Peran umum ini
dipertahankan banyak orang yang berumur lebih tua dan berpegang teguh pada
tradisi yang mempertahankan bahwa menjadi istri dan ibu yang baik membutuhkan
seluruh tenaga seorang perempuan.[19]
Seringkali peran ini hanya diberikan kepada perempuan, padahal
lakilaki juga sama mempunyai peran sebagai suami dan sebagai ayah, karena
laki-laki sibuk bekerja dan peran tersebut dibebankan kepada sang istri.
Bahkan dalam 1 Petrus 3:7 yang berbunyi:
“Demikian juga kamu, Hai
suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih
lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu
kehidupanmu supaya do’amu jangan terhalang”.[20]
Tuhan sendiri memerintahkan agar berkeluarga dengan berpasangan
suami istri mempunyai kewajiban yang sama yakni saling mengisi, saling
menghormati, saling tolong menolong, dan seorang suami hendaklah melindungi
seorang istri karena seorang istri dapat menolong seorang suami dan supaya
kasih Allah tidak terhalang.
Peranan
Perempuan dalam al-Kitab dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Perjanjian Lama
1)
Perempuan diciptakan oleh Tuhan agar bersama-sama dengan lakilaki
boleh melaksanakan amanat Tuhan di dunia ini. Dalam hal ini, penciptaan melalui
Hawa. Sebagaimana dalam Kejadian 1:26 dan 2:25
2)
Perempuan sebagai bidan, dipakai oleh Tuhan untuk menyelamatkan
nyawa anak-anak. Mereka itu adalah Sifra dan Pua, sebagaimana dalam Keluaran
1:15-21.
3)
Perempuan sebagai nabi, seperti Miryam (Keluaran 15:20), Debora
(Hakim-Hakim 4), Hulda (2 Raja-raja 22:14; 2 Tawarikh 4:22), Istri Yesaya,
sebagaimana dalamYesaya 8:3.
4)
Perempuan sebagai pemimpin dan hakim, seperti Miryam (Keluaran
15-21) dan Debora (Hakim-hakim 4-5).
5)
Perempuan yang berani mengambil keputusan, seperti Rut (Rut 1:16).
6)
Perempuan yang tabah dan gigih, seperti Hana (1 Samuel 1:1-2:10).
7)
Perempuan yang menyelamatkan Israel dari kebinasaan, yaitu Ester
(Ester 1-10).[21]
2.
Perjanjin Baru
1)
Perempuan dipakai oleh Tuhan sebagai sarana kedatangan Juru
selamat, yakni melalui Maria, ibu Tuhan Yesus (Matius 1:18-25; Lukas 2:1-7).
2)
Perempuan bersama dengan laki-laki disebut sebagai yang benar
dihadapan Allah, dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan
tidak bercacat, yakni Elisabet (Lukas 1:5-6).
3)
Perempuan sebagai pelayan, sibuk melayani makanan dan minuman,
seperti Martha, sebagaimana dalam Lukas 10:40.
4)
Perempuan beroleh kesempatan untuk mendengarkan pengajaran Tuhan
Yesus sebagaimana layaknya murid Tuhan Yesus yang semuanya laki-laki. Tuhan
Yesus menyebut tindakan Maria dari Baitani (Lukas 10:39,42) sebagai yang telah
memilih bagian terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.
5)
Perempuan yang melayani Tuhan Yesus, seperti Maria, Magdalena,
yohana dan Susana (lukas 8:1-3).
6)
Perempuan yang turut hadir di ruangan atas, setelah kenaikanTuhan
Yesus ke Sorga (Kisah Para Rasul 1:14)
7)
Perempuan sebagai saksi pertama atas kebangkitan Tuhan Yesus, dan
yang pertama meneruskan berita itu. Mereka itu adalah Maria Magdalena, Yohana
dan Maria ibu Yakobus (Matius 28:1-8, Lukas 24:1-12, Yohanes 20:1-10).
8)
Perempuan yang telah bekerja keras untuk pelayanan. Dialah Maria
(Roma 16:6).
9)
Perempuan yang melayani jemaat, sebagai pemimpin jemaat. Dialah
Febe (Roma 16:1).
10)
Perempuan sebagai pemimpin jemaat rumah, seperti Priskila (1
Korintus 16:19).
11)
Perempuan yang beribadat kepada Allah, dan yang menyokong
tugas-tugas pelayanan Paulus. Dialah Lidia (Kisah Para Rasul 16:14-25).
12)
Perempuan yang bekerja keras di dalam Tuhan dengan beraksi,
berdo’a, mengajar dan menolong. Mereka adalah Trifena dan Trifosa (Roma 16:12).
13)
Perempuan sebagai nabi. Dialah Hana (Lukas 2:36-38).
14)
Perempuan yang banyak berbuat baik dan memberi sedekah.Dialah
Dorkas atau Tabita (Kisah Para Rasul 9:36).
15)
Perempuan sebagai pengusaha, seperti Lidia (Kisah Para Rasul
16:14).[22]
b.
Peranan Perempuan sebagi Istri
Apabila seorang perempuan yang sudah dewasa dan sudah mapan, maka wajar
bila ia akan menikah dan mempunyai sebuah keluarga dan membina sebuah rumah
tangga. Maka secara otomatis seorang perempuan tersebut berstatus istri. Pada
zaman modern ini, ada sebagian perempuan bersuami yang memulai mempertanyakan
kembali model hubungan mereka dengan suami mereka. Karena itu perempuan
dituntut untuk menuju model hubungan yang egalitarian yang seharusnya
ditempuh secara bijaksana. Perempuan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan
isi hatinya dan berbagi rasa dengan suaminya tanpa merasa risuh dan takut.
Model yang tradisional, pria hanya sebatas sebagai pencari nafkah, figur
penguasa, pantang mengungkapkan perasaannya, dan menjadikan seks sebagai tolok
ukur kejantanannya, dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, perawat anak,
figur seorang wanita yang penuh perasaan welas asih, dan seks sebagai kewajiban
terhadap suami.[23]
c.
Peranan Perempuan sebagai Ibu
Fungsi sebagai ibu merupakan tahap biologis perempuan yang ada
batasnya, yang menjadikan beberapa perilaku tertentu seperti pemeliharaan dan
sebagainya, menjadi sangat berarti. Namun perilaku itu bukanlah ciri-ciri khas seumur
hidup pada hakekat perempuan itu. Gereja dan masyarakat konservatif yang masih
saja memberlakukan kultus keibuan seperti itu adalah penghambat bagi perempuan
dalam pertumbuhannya menuju kesempurnaan kepribadiaanya yang merupakan hakekat
dari penciptaannya.[24]
D.
Peranan Gender Perempuan menurut al-Kitab
Secara biologis, manusia dilahirkan sebagai laki-laki (pria) atau
sebagai perempuan (wanita). Kemudian ia dididik sebagai seorang anak laki-laki
atau sebagai anak perempuan, supaya nanti dapat menjadi seorang laki-laki
dewasa atau seorang perempuan dewasa sesuai dengan harapan masyarakat. Jadi
secara sosiologis, ia dikonstruksi menjadi seorang laki-laki atau seorang
perempuan dengan tugas dan peran tertentu. Akibat dari konstruksi sosial
tersebut seorang manusia akhirnya mendapatkan identitas gender menurut jenis
kelaminnya ia masuk ke dalam suatu stereotip bentukan masyarakat, sehingga ia
kehilangan identitas diri sebagaimana dikehendaki oleh sang pencipta.[25]
a)
Peranan Perempuan sebagai Individu
Banyak perempuan yang tidak memikirkan kemampuan dan kecakapan
mereka sendiri untuk menangani peran ganda dalam hubungannya dengan masa
kanak-kanaknya. Penulis mencoba menilai lagi kekuatan kita sejak awal mula. Di
dalam gereja, ajaran Kant lebih banyak dikhotbahkan kepada perempuan dari pada
ajaran Kristus. Dalam banyak kelompok Kristiani, hingga saat ini, hal
meniadakan kepentingan diri masih dipandang sebagai suatu kewajiban, sedangkan
mengembangkan diri dan mengasihi diri sendiri dipandang sebagai dosa. Jawaban
“ya” terhadap “aku” kita harus berawal dengan kesadaran bahwa kasih Allah
itulah yang membuat kita berharga, membuat kita dikasihi sekalipun kita sendiri
menganggapnya demikian.[26]
Meniadakan kepentingan diri dengan sungguh-sungguh hanya mungkin
jika hakekat “diri” memang benar-benar dikesampingkan apa yang disebut hakekat
diri pada perempuan dalam gereja dan masyarakat kita ialah suatu penyesuaian
diri, yaitu hakekat diri yang menolong supaya bagian-bagian yang kosong terisi
tanpa adanya ruang tersendiri untuk hakekat diri itu dan fungsi tersendiri atau
kesadaran diri. Apabila para perempuan masa kini mau menemukan kembali hakekat
dirinya yang hilang, mereka memerlukan diri sendiri tidak dapat dilakukan
seorang diri dalam suasana atau lingkup kehidupan pribadi. Menemukan diri
sendiri dalam kelompok-kelompok wanita yang beraneka ragam sifatnya, dalam hal
itulah harus ada keterbukaan untuk mengakui ketergantungan ekonomis dan
psikologis kita serta mengadakan uji coba atas berbagai bentuk baru dalam
pergaulan hidup.[27]
Perempuan bukan saja sebagai pelengkap bagi pria, melainkan satu
kepribadian yang utuh dan mandiri yang bukan merupakan bawahan pria
(sebagaimana dikatakan oleh Luther dan Bonhoeffer), dan bukan pula merupakan
bagiannya (Karl Barth). Perbedaan-perbedaan biologis jauh lebih kecil dari
anggapan orang pada masa lampau, sementara perbedaan-perbedaan sosiologis jauh
lebih besar maknanya untuk kedua jenis tersebut. Hakekat perempuan yang sebenarnya,
apa artinya dia sebagai mitra yang sungguh-sungguh bagi pria, baru akan menjadi
nyata apabila segala pengharapan akan peranan kedua jenis itu dimundurkan
selangkah.[28]
b)
Peranan Perempuan dalam Masyarakat
Perempuan tidak mungkin
secara total mengisolir diri dari identitasnya dan mengesampingkan untuk hidup
di lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat adalah kawasan di mana, manusia
dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Di samping itu, masyarakat
akan membentuk karakter dan identitas perempuan dalam sebuah sosok anggota
pribadi dalam sebuah komunitas. Sehingga keseimbangan antara perempuan sebagai
pribadi dan bagian masyarakat harus dilakukan. Oleh karena itu sebagaimana
telah disebutkan perempuan juga berhak memiliki peran yang sama sebagaimana
laki-laki dalam masyarakat, misalnya, Perempuan sebagai pemimpin dan hakim, seperti
Miryam (Keluaran 15-21) dan Debora (Hakim-hakim 4-5),
Perempuan beroleh kesempatan untuk mendengarkan pengajaran Tuhan
Yesus sebagaimana layaknya murid Tuhan Yesus yang semuanya laki-laki. Tuhan
Yesus menyebut tindakan Maria dari Baitani (Lukas 10:39,42) sebagai yang telah
memilih bagian terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya, Perempuan yang
turut hadir di ruangan atas, setelah kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga (Kisah Para Rasul
1:14), Perempuan yang telah bekerja keras untuk pelayanan. Dialah Maria (Roma
16:6), Perempuan yang melayani jemaat, sebagai pemimpin jemaat. Dialah Febe
(Roma 16:1) dan sebagainya sehingga wanita juga dianggap sebagai warga yang
berhak mendapat perlindungan dan berkreasi.
Dengan demikian al-Kitab juga menaruh perhatian yang cukup besar
terhadap peran perempuan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
c)
Peranan Perempuan dalam Polotik
Di Alkitab ada
beberapa ayat yang menyinggung peranan pria dan perempuan dalam konteks
kepemimpinan (1 Korintus 11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah
bagian yang ditulis oleh Rasul Paulus, “Seharusnyalah perempuan berdiam diri
dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan
memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” (1 Timotius 2:11-12). Kata
“memerintah” pada ayat di atas, dapat pula diterjemahkan “memiliki otoritas
atau kuasa”, dalam hal ini atas pria. Kepada jemaat di Korintus, Paulus
mengulang perintah yang sama yaitu, “… perempuan-perempuan harus berdiam diri
dalam pertemuan-pertemuan jemaat… Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah
mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah ….” (1 Korintus 14:34-35). Jelas
bahwa dalam Surat 1 Korintus maupun 1 Timotius, Paulus tidak mengizinkan
kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus meminta wanita untuk tunduk
kepada kepemimpinan pria.
Adapun argument
Paulus terhadap pandangan di atas; Landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung
argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang
tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama,
Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan
argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: “Kepala dari tiap-tiap
laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari
Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3); kedua,Kedua, Paulus menjelaskan
makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu
sendiri, yakni “… laki-laki … menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi
perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari
perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1 Korintus
11:7-8); Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung
argumennya, yakni “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa.
Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan
jatuh ke dalam dosa.” (1 Timotius 2:13-14).[29]
Penjelasan
tersebut seakan kontra diktif terhadap yang disampaikan dalam Bible itu sendiri
bahwa di dalam Alkitab tercatat beberapa tokoh pemimpin yang adalah perempuan.
Misalnya, Miryam, kakak Musa, disebut sebagai nabiah (Keluaran 15:20) dan
terlihat jelas bahwa ia pun memegang peran kepemimpinan di samping Harun dan
Musa. Juga Debora yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai
hakim di Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu
dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan dalam
pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya adalah Maria
Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan Susana yang berperan besar
sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).
Dari sini
kemudian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting
adalah tujuannya — ketertiban — bukan sarananya — otoritas laki-laki atas
perempuan. Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam
pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada
kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus
4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan,
keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia
Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan,
“Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada
laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki,
demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal
dari Allah.” (1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas
bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban,
sedangkan tujuannya adalah ketertiban — terutama di dalam keluarga.[30]
E. Status Perempuan menurut al-Kitab
Dalam
Kitab Kejadian 1 dan 2, dikisahkan tentang Tuhan Allah yang menciptakan langit
dan bumi, laut serta segala isinya juga manusia, baik lakilaki maupun
perempuan. Dari sini bisa kita lihat pengertian dan pemahaman tentang
keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam dunia. Berabad-abad lamanya,
keberadaan perempuan dipahami hanya sebagai penyebab jatuhnya manusia ke dalam
dosa. Ada juga yang memandang bahwa perempuan sebagai penolong laki-laki
sebagai obyek seksualitas. Dari pemahaman-pemahaman tadi bisa membawa kepada diskriminasi
seksual dan diskriminasi dalam segala aktivitas.
Ø Status Wanita dalam Hukum
Berdasarkan
Kejadian 1:27, dilihat dari penciptaan perempuan maupun laki-laki diberi kuasa
atas alam. Kenyataannya yang sering mendapat kekuasan
adalah laki-laki, sedangkan perempuan tidak diberi
kekuasaan.
Hal ini bisa dilihat dari sejarah pada zaman kuno terkenal
sebagai
dunia kaum pria, dunia sistem patriarkhal. Pada zaman itu wanita
menjadi
ternama hanya karena penyimpangan perilaku mereka dalam
dunia
politik, masyarakat, atau akibat perbuatan seksual mereka atau
karena
tindakan mereka yang luar biasa. Dalam dunia patrialkhal nilai,
norma
masyarakat dan budaya ditentukan oleh pola tingkah laku pria,
sehingga
pria sangat berpengaruh dan wanita cenderung direndahkan.[31]
Status
seorang wanita pada saat itu terkait pada status ayahnya,
dan
hanya diubah (naik atau turun) melalui perkawinan, sedangkan
seorang
wanita jarang mendapatkan kebebasan untuk memilih pendamping
hidupnya
dan yang mengatur adalah keluarganya. Pada waktu itu seorang
wanita
tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah mengikuti jalan hidupnya.
Pada
pertengahan abad ke-17 mulai muncul teolog-teolog
perempuan,
yang kemudian terkenal dengan teolog Feminisme. Teolog
feminisme
adalah suatu gerakan emansipasi wanita dalam
memperjuangkan
kaum perempuan agar kaum perempuan dibebaskan dari
budaya
di mana laki-laki mendominasi segala aspek kehidupan yang
mengakibatkan
perbedaan kedudukan dan peran seorang perempuan.
Teolog
feminisme ini mula-mula berkembang di Amerika Serikat dan baru
berkembang
ke seluruh dunia. Seperti Margaret Fell (1667) dan Sarah
Grioke
(1837).[32]
Sehingga
sejak waktu itu dari sedikit demi sedikit mulai berubah,
karena
bisa kita lihat dari perkembangan zaman bahwa wanita juga
mempunyai
peran dalam keluarga, masyarakat ataupun dalam gereja,
seperti
tokoh wanita Agatha Christie dan Ratu Victoria tokoh lain yang
mampu
memperjuangkan hak wanita. Dan setelah mereka tiada, dunia
mulai
berbeda.[33]
Seorang
laki-laki sebenarnya juga mengakui bahwa wanita juga
mempunyai
kedudukan dalam kehidupan, seperti halnya seorang suami
juga
menghawatirkan kesehatan seorang istri, melindungi, mengasihi,
dipuji
dan melakukan sesuatu untuk sang istri. Begitu pula seorang wanita
ia
akan berusaha mendampingi seorang laki-laki dan akan ikut membantu
seorang
laki-laki dari hal yang kecil sampai yang besar.
Kejadian
2:18 menerangkan bahwa seorang wanita adalah
penolong
bagi laki-laki dan dia sepadan dengannya. Sehingga sangatlah
jelas
dari firman tersebut wanita dan laki-laki itu sejajar dan antara wanita
dan
laki-laki adalah seorang kemitraan dan tidak ada yang ditinggikan
ataupun
yang direndahkan.[34]
Dalam
Gal 3:28 yang berbunyi:
“Dalam
hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada
hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan, karena
kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”.[35]
Dari
firman Tuhan tersebut menjelaskan bahwa di hadapan Tuhan manusia itu sama.
Tuhan tidak membedakan hambanya baik dari suku,
bangsa,
ras, laki-laki ataupun perempuan, namun yang membedakan
hanyalah
Iman dan ketaatan menjalankan perintah Tuhan Allah, karena
semua
manusia adalah anak-anak Tuhan yang dibuat sesuai dengan
GambarTuhan.[36]
Dalam
Pekabaran Injil, wanita juga ikut terlibat secara penuh
dalam
kegiatan gereja, yakni dipercaya untuk tugas-tugas yang
menentukan,
seperti halnya saat Yesus melakukan perjalanan untuk
menyebarkan
Injil bersama 12 muridnya. Di dalam perjalanan tersebut
juga
terdapat beberapa wanita yang melayani keperluan Beliau dengan
iman,
ketaatan dan tenggang rasa, yang kemudian biasa membuat
kemandirian
seorang wanita. Dalam jemaat gereja adalah persekutuan lakilaki
dan
wanita bahkan wanita diberi kepercayaan menjalankan tugas
dalam
gereja.[37]
F.
Ketidakadilan Gender Dalam Agama Katolik
Ketidak-adilan dan diskriminasi gender merupakan suatu sistem
dan struktur di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sitem
tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
baik secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan berbagai
ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat norma, maupun berbagai
struktur yang ada di masyarakat.
Pada bagian ini penulis
ingin memberikan sebuah contoh kasus yang berkaitan dengan keadilan gender. “Hidup
dengan Seorang Monster” merupakan sebuah kisah dari seorang ibu yang
mengalami KDRT. Sore itu datang seorang perempuan setengah baya,
namanya Ibu Agnes (47 tahun) ke tempat seorang suster, sebuah Crisis
Center. Perawakannya kurus kecil. Ia nampak sulit untuk mengawali
pembicaraan walau akhirnya lancar dan tak terbendung. Ibu Agnes mempunyai
seorang suami yang menurutnya seorang pekerja keras, taat beragama,
kelihatannya tanpa cacat. Ia sendiri sudah membayangkan kehidupan keluarga
separti keluarga Nazaret. Pada awalnya keluarga mereka sangat bahagia.
“Setelah enam tahun pernikahan suaminya mulai
menunjukkan sikap disiplin yang sangat tinggi. menurut Ibu Agnes hal itu sudah
berlebihan. Mulai dari bangun pagi samapai malam sang istri diberi jadwal yang
ketat. untuk melakukan segala pekerjaan rumag termasuk menjaga anak-anak mereka
dan mencatat aktivitas mereka. Kesalahan berujung pada hukuman cambuk yang
mmenurut sang Bapak adalah cara pencapaian disiplin. Ketika Ibu Agnes membela
anak-anaknya, ia sendiri juga menjadi sasaran amukan suami. semua hal dalam
rumah diatur oleh suami bahkan sampai gaya rambut, model baju, seluruh anggota
keluarga. tidak ada satu pun yang bisa memilih.[38]
Kekerasan
bertambah sering dan dalam berbagai bentuk baik fisik, makian, ancaman hingga
diusir dari rumah. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang keadaan ini dan
kesan orang tentang keluarga Ibu Agnes. Suaminya tetap dianggap disiplin,
berpendidikan. tidak ada yang tahu kalau di balik baju, tubuh mereka biru
lebam.
Sebenarnya
Ibu Agnes sudah tak sanggup bertahan tetapi ia tak ingin dikatakan tidak
menghargai suami. Ia berusaha mengunci mulutnya. Ketika anaknya sudah besar ia
ingin mengakhiri semuanya itu. Ibu Agnes berusaha untuk terbuka. Pertama-tama
ia menceritakan masalanya kepada seorang Pastor. Sang Pastor kaget dan nyaris
tidak percaya. Ibu Agnes menunjukkan bekas-bekas pukulan di bagian kepala dan
tubuh yang masih biru. Ibu Agnes mendorong anaknya yang sudah dewasa untuk
melawan Bapaknya tetapi anaknya malah dipukul dengan rotan dan ditonjok. Ibu
Agnes membawa anknya kepada Pastor. Pastor meminta Ibu dan anak itu mendoakan
suaminya. setiap kali mengadu kepada Pastor hanya nasehat yang sama yang Ibu
Agnes dapatkan.
Ibu Agnes
tak bisa lagi menahan penderitaannya dan saat itu ia ingin menceraikan
suaminya. Setelah masa pendampingan bersama seorang suster Ibu itu akhirnya
menceraikan suaminya. Ia dan anak-anaknya meninggalkan rumah. Beberapa bulan
kemudian mantan suaminya itu meninggal karenaserangan jantung.[39]
Ketidak-adilan
gender nampak dalam berbagai bentuk. Pertama, marjinalisasi
yang disebut juga sebagai pemiskinan ekonomi. Sebagai contoh banyak pekerja
perempuan yang tersingkir dan miskin pembangunan yang terfokus kepada
laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis pekerjaan yang dianggap
sebagai keterampilan laki-laki. Kedua, subordinasi yang
menunjukan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak
terutama perempuan di berbagai kehidupan. Ketiga, pandangan
stereotip merupakan suatu pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis
kelamin tertentu. misalnya, pandangan terhadap perempuan itu perayu dan
dianggap cocok untuk bekerja di bagian penjualan. Keempat, kekerasan
terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran merujuk pada tindakan fisik
maupun integritas mental seseorang. Kelima, beban kerja ganda.
Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain
bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan
domestik.
Masalah
yang diangkat dalam kisah “Hidup dengan Seorang Monster” merupakan salah
satu masalah bertentangan dengan prisip keadilan gender. Masalah yang disorot
secara khusu adalah kekerasa dalam rumah tangga (KDRT) tetapi bias masalah
dapat dilihat dari aspek-aspek lain. Aspek sosial budaya, ekonomi juga dapat
dikaitkan dalam masalah tersebut sebagai suatu latar belakang. Berhadapan
dengan masalah sosial ini bagaiman Gereja Katolik menaggapinya?[40]
BAB
III
PENUTUP
Memang masih menjadi topik yang sangat menarik
ketika pembahasan gender ini kembali mencuat di masyarakat terutama masyarakat
yang mengerti akan peran dan fungsi serta kedudukan masing-masing yang
dimiliki.
Dalam kekristenan, khususnya Alkitab, laki-laki
dan perempuan pada dasarnya memiliki status dan peran yang sama. Mereka
diciptakan segambar dengan Allah dan berasal dari satu sumber. Laki-laki
berasal dari Allah dan perempuan berasal dari laki-laki. Laki-laki dan
perempuan ditempat di dunia ini secara bersama-sama dalam satu kesatuan, dalam
sebuah relasi baik personal/pribadi maupun kerja. Mereka berfungsi untuk
mengelola, memanfaatkan dan memelihara dunia ciptaan Tuhan dan sekaligus
berreproduksi untuk melanjutkan keturunan/manusia.
Namun dalam lingkungan umat Kristen sejak awal maupun hingga saat ini, ada
saja pandangan dan sikap yang membeda-bedakan kedua jenis kelamin itu. Ini
memang dipengaruhi oleh budaya atau adat istiadat di mana umat itu berada. Ini
yang perlu dipahami oleh kita sebagai orang Kristen pada masa kini dan dengan
begitu kita tidak menerima dan menerapkan begitu saja ajaran dan praktek yang
merendahkan salah satu pihak, terutama perempuan. Melihat status dan peran
laki-laki dan perempuan sebagaimana diciptakan oleh Tuhan, ada persamaan atau
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ini yang perlu diperjuangkan oleh
setiap orang percaya
[2] Lembaga al-Kitab Indonesia, Al-Kitab, Lembaga Al-Kitab
Indonesia (LAI), Jakarta,
1993, hal.2
[3] Ibid , hal. 20-21
[4] Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia: Menurut Bibel, al-Qur’an,
Sains.
Bandung, Mizan, 1992, h. 170-171
[5] Lembaga al-Kitab Indonesia, hal. 3
[6] F.L. Bakler, hal. 24-35
[7] Lembaga al-Kitab Indonesia, hal. 4
[10] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc.
Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[11] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc.
Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[12] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc.
Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[13] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc.
Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[14] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc.
Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[15] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc.
Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[16] Brunettor
Wolfman, Peran Kaum Wanita; Bagaimana Menjadikan Cakap dan Seimbang dalam
Antar Peran, Yogyakarta. Kanisius, 1989, h. 9-11
[17] Anne
Borroder, Tugas Rangkap Wanita; Mengubah orang Kristen, Jakarta, Gunung
Mulia, 1993, h. VII
[18] Anne
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Yogyakarta,
Kanisius, t.th, hal. 2
[22]Lembaga
al-Kitab Indonesia
[24] Elisabeth
Moltman dan Wendel, Pembebasan Kesetaraan Persaudaraan; Emansipasi Wanita
dalam Gereja dan Masyarakat, terj. S.L. Tobing dan Kartohadiprojo, Jakarta,
Gunung Mulia, 1995, h. 60
[28] Ibid, h, 60
[29] http://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/. Diakses pada 19 November 2013 pukul 18.45 WIB
[30] http://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/. Diakses pada 19 November 2013 pukul 18.45 WIB
[31] Elisabeth
Moltman Wendel, Pembebasan Kesetaraan Persaudarian: EmansipasiWanita dalam
Gereja dan Masyarakat, Jakarta, Gunung Mulia, 1995, h. 1-3
[32] Kapahang
Kaunang. K.A., Perempuan; Pemahaman Teologis Perempuan dalamKonteks Budaya
Minahasa, Jakarta, Gunung Mulia, 1993, h. XII-XIII
[33] Ruth
Tiffany Barhause, Identitas Wanita; Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra
Diri, Jakarta, Kanisius,1988, h. 32-35
[38] http://atasnamajejak.blogspot.com/2012/06/kesetaraan-dan-keadila-gendersebuah.html#_Diakses pada 19 November 2013 pukul 19.00 WIB
[39] http://atasnamajejak.blogspot.com/2012/06/kesetaraan-dan-keadila-gendersebuah.html#_Diakses pada 19 November 2013 pukul 19.00 WIB
[40] http://atasnamajejak.blogspot.com/2012/06/kesetaraan-dan-keadila-gendersebuah.html#_Diakses pada 19 November 2013 pukul 19.20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar