Senin, 25 November 2013

RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN

RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN
 (Revisi)
Dosen Pembimbing: Hj. Siti Nadroh, MA
Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Relasi Gender dalam Agama-Agama


 Oleh:
Siti Nurhayati

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013





BAB I
PENDAHULUAN

Dalam perkembangan sejarah umat manusia, pranata kehidupan diatur atas dasar kepentingan kelompok tertentu, yaitu kelompok yang kuat dan berkuasa. Fakta kehidupan seperti ini memberi bukti bahwa pranata kehidupan merupakan konstruksi sosial budaya (baca: gender), buatan manusia, yang berbeda atas dasar waktu dan tempat. Pranata kehidupan buatan manusia ini kemudian disebut kebudayaan. Kebudayaan selalu mengalami pergeseran atau perubahan, mulai dari kehidupan sosial masyarakat sampai menyentuh kehidupan keluarga. Pergeseran budaya dalam keluarga tidak hanya menyangkut pada penelusuran garis keturunan anak, tetapi juga menyangkut pengaturan kehidupan. Pada umumnya pengaturan kehidupan ditentukan oleh laki-laki. Akibat dari pranata kehidupan semacam ini kemudian terjadi relasi timpang antara laki-laki dan perempuan. Relasi yang timpang ini membentuk falsafah hidup dominan laki-laki. Ketika kebudayaan dalam perkembangannya makin tidak adil dan tidak manusiawi, maka manusia berusaha meluruskanya antara lain melalui agama.
Gender dalam prespektif  katolik  tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya khususnya budaya Yahudi. Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominan laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran.
Dalam pemahaman tentang Kitab Suci orang Kristen, tidak dapat terlepas dari konteks, latar belakang sosial, budaya, politik masyarakat penulisnya. Pandangan terhadap perempuan dalam Kitab Suci juga tidak terlepas dari budaya patriarkhat yang melatari penulisan kitab tersebut. Prespektif dan latar belakang penulis sangat mewarnai isi tulisan. Disini penulis akan membahas sebagaimana pemahaman penulis berdasarkan  sumber yang ada.
                                 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal-Usul Penciptaan Manusia menurut al-Kitab
Kitab Kej (Kejadian) menjelaskan bahwa Allah melakukan penciptaan terhadap alam selama enam hari kerja. Allah menciptakan bumi dan langit serta binatang darat dan tumbuh-tumbuhan serta isinya. Baru pada hari yang keenam puncaknya, yaitu penciptaan manusia. Manusia diciptakan berbeda dari binatang dan dari segala makhluk yang lain, karena dia dijadikan menurut gambar dan rupa Allah. Dalam Kejadian 1:26-28 dapat kita temukan tiga keterangan yang menjelaskan manusia mempunyai hubungan khusus dengan Allah, manusia mempunyai hubungan khusus dengan sesama manusia dan manusia mempunyai hubungan khusus dengan makhluk-makhluk lain.[1]
Dalam Kejadian 2:7 disebutkan sebagai berikut:
Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia
menjadi makhluk yang hidup”.[2]
Menurut ayat tersebut Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, sehingga manusia menjadi mahluk hidup. Manusia pertama yang diciptakan Allah ini kemudian diberi nama Adam. Setelah Allah menciptakan manusia, maka Ia mengaruniai manusia dengan kemungkinan untuk hidup dan Tuhan membuat taman Firdaus di Eden.[3]

Taman Firdaus telah melukiskan keadaan yang sempurna tentang adanya dua pohon, yakni pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Pohon-pohon itu mempunyai arti simbol arti perlambangan pohon kehidupan yang melambangkan hidup kekal yang akan dialami manusia apabila ia tetap hidup damai dengan Allah. Pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat di sini adalah lebih dari ilmu pengetahuan intelektual, lebih dari otak manusia, artinya penentuan apa apa yang baik atau yang jahat.
Manusia harus melakukan dengan taat apa yang ditetapkan Allah. Sebagai tanda ketaatan itu manusia tidak boleh memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Jika ia tidak taat tentu ia akan mati.
Ketika Adam telah melaksanakan tugas memberi nama kepada semua binatang, dengan menentukan sifat binatang itu dan menguasainya. Kemudian Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”. (Kejadian 2:18). Maka Tuhan mendatangkan kantuk bagi manusia, dan sementara dia tidur, Tuhan mengambil salah satu tulang iga yang telah diambil oleh Tuhan dari manusia itu untuk menciptakan seorang perempuan.[4]
Sesuai dengan firman Tuhan yang berbunyi :
22. “Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu”.
23. “Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki”.[5]
Ketika manusia bangun dari tidurnya dan menyambut perempuan itu dari tangan Allah, dan Adam mengakui bahwa laki-laki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang erat dan satu dengan yang merupakan kesatuan yang mutlak. Dalam Kejadian 3:20 yang berbunyi: “Manusia itu memberi nama Hawa kepada istrinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup”.
Manusia mendapat tugas mengusahakan dan memelihara taman Firdaus, tetapi setan dan iblis musuh manusia masih di taman itu. Pada suatu saat setan berubah menjadi sebuah ular dan kemudian mendatangi perempuan, kemudian ular merayu Hawa agar memakan buah yang ada di tengah-tengah taman yang terlarang. Lama-lama perempuan itu tergoda oleh setan, kemudian ia memakan buah yang terlarang tersebut dan sebagian tersebut diberikan kepada suaminya dan laki-laki itu memakannya. Karena laki-laki dan perempuan itu telah melanggar larangan Tuhan, maka manusia dikeluarkan dari taman Firdaus dan dibuang ke bumi. Sehingga laki-laki tersebut kesusahan dalam mencari rizki di bumi. Sedangkan perempuan dihukum dengan “susah payah waktu mengandung, akan kubuat sangat banyak dengan kesakitan, engkau akan melahirkan anakmu, namun engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atas dirimu (Kejadian 3:1-7).[6]
Dengan demikian penciptaan manusia selanjutnya baru melahirkan, seperti dalam firman Allah Kejadian 4:1 yang berbunyi:
Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa istrinya, dan mengandunglah perempuan itu lalu melahirkan Kain, maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan Tuhan”.[7]
Semenjak itu terjadinya manusia selanjutnya melalui proses tersebut hingga sampai sekarang.

B.     Kesetaraan Dalam Pengabdian Terhadap Tuhan dan Rosul
Secara umum gereja-gereja Liberal menerima keberadaan perempuan sebagai pemimpin dan menempatkannya sejajar dengan laki-laki. Tidak bisa disangkal dunia ini memang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan karena itu merupakan konsekwensi implimentasi demokrasi. Namun sehebat apapun demokrasi di suatu Negara, demokrasi tidak bisa mengubah dan menghancurkan apa yang diajarkan Alkitab.
beberapa persamaan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah.
(1)   Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27).
“Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Matius 19:4)
“Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan” (Markus 10:6).
(2)   Allah memberkati laki-laki dan perempuan
“Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama “Manusia” kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan” (Kejadian 5:2)[8]
(3)   Perempuan juga dipanggil sebagai nabi
“Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari” (Keluaran 15:20)
“Pada waktu itu Debora, seorang nabiah, isteri Lapidot, memerintah sebagai hakim atas orang Israel” (Hakim-hakim 4:4)
“Maka pergilah imam Hilkia, Ahikam, Akhbor, Safan dan Asaya kepada nabiah Hulda, isteri seorang yang mengurus pakaian-pakaian, yaitu Salum bin Tikwa bin Harhas; nabiah itu tinggal di Yerusalem, di perkampungan baru. Mereka memberitakan semuanya kepadanya” (2 Raja-raja 22:14)
“Maka pergilah Hilkia dengan orang-orang yang disuruh raja kepada nabiah Hulda, isteri seorang yang mengurus pakaian-pakaian, yaitu Salum bin Tokhat bin Hasra, penunggu pakaian-pakaian; nabiah itu tinggal di Yerusalem, di perkampungan baru. Mereka berbicara kepadanya sebagaimana yang diperintahkan” (2 Tawarikh 34:22)
“Ya Allahku, ingatlah bagaimana Tobia dan Sanbalat masing-masing telah bertindak! Pun tindakan nabiah Noaja dan nabi-nabi yang lain yang mau menakut-nakutkan aku” (Nehemia 6:14)
“Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya” (Lukas 2:36)
(4)   Perempuan juga bernubuat dan dipenuhi Roh Kudus[9]
“Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat” (Kisah 2:18).
“Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya” (1 Korintus 12:8-11).[10]
(5)   Laki-laki dan perempuan memberikan persembahan kepada Tuhan
“Maka datanglah mereka, baik laki-laki maupun perempuan, setiap orang yang terdorong hatinya, dengan membawa anting-anting hidung, anting-anting telinga, cincin meterai dan kerongsang, segala macam barang emas; demikian juga setiap orang yang mempersembahkan persembahan unjukan dari emas bagi TUHAN” (Keluaran 35:22)
“Semua laki-laki dan perempuan, yang terdorong hatinya akan membawa sesuatu untuk segala pekerjaan yang diperintahkan TUHAN dengan perantaraan Musa untuk dilakukan–mereka itu, yakni orang Israel, membawanya sebagai pemberian sukarela bagi TUHAN” (Keluaran 35:29).
(6)   Perempuan menyanyi di hadapan Allah [11]
“Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing” (1Samuel 18:6).
“Yeremia membuat suatu syair ratapan mengenai Yosia. Dan sampai sekarang ini semua penyanyi laki-laki dan penyanyi perempuan menyanyikan syair-syair ratapan mengenai Yosia, dan mereka jadikan itu suatu kebiasaan di Israel. Semuanya itu tertulis dalam Syair-syair Ratapan (2Tawarikh 35:25).
“selain dari budak mereka laki-laki dan perempuan yang berjumlah tujuh ribu tiga ratus tiga puluh tujuh orang. Pada mereka ada dua ratus penyanyi laki-laki dan perempuan” (Ezra 2:65).
“Selain dari budak mereka laki-laki dan perempuan yang berjumlah tujuh ribu tiga ratus tiga puluh tujuh orang. Pada mereka ada dua ratus empat puluh lima penyanyi laki-laki dan perempuan” (Nehemia 7:76).
“Pada hari itu mereka mempersembahkan korban yang besar. Mereka bersukaria karena Allah memberi mereka kesukaan yang besar. Juga segala perempuan dan anak-anak bersukaria, sehingga kesukaan Yerusalem terdengar sampai jauh” (Nehemia 12:43).
(7)   Laki-laki dan perempuan bisa mengerti hukum taurat
“Lalu pada hari pertama bulan yang ketujuh itu imam Ezra membawa kitab Taurat itu ke hadapan jemaah, yakni baik laki-laki maupun perempuan dan setiap orang yang dapat mendengar dan mengerti” (Nehemiah 8:2)
(8)   Perempuan melakukan perbuatan baik
“Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua” (Amsal 31:29)
(9)   Perempuan juga memiliki iman hebat[12]
“Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh” (Matius 15:28).
(10)  Perempuan sebagai penyembah hebat
“Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku” (Matius 26:10)
“Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus” (Markus 14:3)
(11)  Perempuan sebagai pengajar bagi anaknya prempuan dan laki-laki
“Maka dengarlah firman TUHAN, hai perempuan-perempuan, biarlah telingamu menerima firman dari mulut-Nya; ajarkanlah ratapan kepada anak-anakmu perempuan, dan oleh setiap perempuan nyanyian ratapan kepada temannya” (Yeremia 9:20).
“Dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya” (Titus 2:4).
“Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik” (Titus 2:3).[13]
(12) Laki-laki dan perempuan dipenuhi Roh Kudus
“Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu” (Yoel 2:29).
(13) Perempuan sebagai pendukung pelayanan semasa pelayanan Kristus
“Dan ada di situ banyak perempuan yang melihat dari jauh, yaitu perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus dari Galilea untuk melayani Dia” (Matius 27:55)
“Mereka semuanya telah mengikut Yesus dan melayani-Nya waktu Ia di Galilea. Dan ada juga di situ banyak perempuan lain yang telah datang ke Yerusalem bersama-sama dengan Yesus” (Markus 15:41)
“Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka” (Lukas 8:3)
(14) Perempuan, orang pertama yang melihat Kristus yang bangkit[14]
“Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus” (Matius 28:8)
“Mereka sangat ketakutan dan menundukkan kepala, tetapi kedua orang itu berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Lukas 24:5)
(15) Perempuan dan laki-laki berdoa bersama-sama
“Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus” (Kisah 1:14)
(16) Laki-laki dan perempuan sama-sama dibaptis dengan air
“Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan” (Kisah 8:12)
(17) Laki-laki dan perempuan menjadi pelayan Paulus
“Tetapi beberapa orang laki-laki menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka” (Kisah 17:34)
(18) Para perempuan yang percaya sangat menonjol dalam gereja
“Beberapa orang dari mereka menjadi yakin dan menggabungkan diri dengan Paulus dan Silas dan juga sejumlah besar orang Yunani yang takut kepada Allah, dan tidak sedikit perempuan-perempuan terkemuka” (Kisah 17:4)
(19) Para perempuan bekerja keras untuk Tuhan
“Salam kepada Trifena dan Trifosa, yang bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan. Salam kepada Persis, yang kukasihi, yang telah bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan” (Roma 16:12).
(20) Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki keselamatan dalam Kristus
“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28).[15]

C.    Peranan Perempuan Menurut al-Kitab
Kata peran diambil dari istilah teater dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kelompok-kelompok masyarakat. Peran ialah bagian yang kita mainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri terhadap keadaan. Ada beberapa peran yang kita miliki sejak lahir dan tidak pernah kita pikirkan karena peran tersebut merupakan bagian dari kehidupan. Seperti saat kita sebagai anak perempuan, kemenakan, kekasih, istri, ibu, saudara perempuan dan bibi. Sehingga perubahan dari kanak-kanak ke masa dewasa membawa serta peran-peran baru yang mengubah peran-peran sebelumnya.[16]
Iman orang Kristen adalah bahwa Kristus telah mengorbankan dirinya untuk manusia dan manusia harus meneladaninya, untuk melayani yang lain demi Dia. Jadi inti iman orang Kristen adalah kasih dan pelayanan.[17]
Zaman dahulu peran perempuan hanya dalam keluarga saja yaitu sebagai istri dan sebagai ibu, yang mana perempuan bertugas di rumah melayani suami dan memelihara anak saja. Karena perkembangan dan tuntutan zaman sehingga peran perempuan juga mengalami perubahan, seorang perempuan juga mempunyai peluang yang sama seperti laki-laki. Dalam pembahasan ini, peran dibedakanmenjadi dua, yakni peran seksualitas dan peran gender.
a.      Peranan Seksualitas Perempuan
Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang mana keluarga adalah lingkungan pertama yang dijumpai anak yang lahir ke dunia dan sebagai tempat pendidikan yang primer. Keluarga dapat berfungsi memenuhi berbagai kebutuhan manusiawi dari kebutuhan primer (sandang, pangan, papan). Kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan akan harga diri sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri.[18]
Kebanyakan perempuan telah mengetahui bahwa masyarakat mengharapkan mereka menjadi istri dan ibu serta mengurus rumah tangga. Peran umum ini dipertahankan banyak orang yang berumur lebih tua dan berpegang teguh pada tradisi yang mempertahankan bahwa menjadi istri dan ibu yang baik membutuhkan seluruh tenaga seorang perempuan.[19]
Seringkali peran ini hanya diberikan kepada perempuan, padahal lakilaki juga sama mempunyai peran sebagai suami dan sebagai ayah, karena laki-laki sibuk bekerja dan peran tersebut dibebankan kepada sang istri.


Bahkan dalam 1 Petrus 3:7 yang berbunyi:
 “Demikian juga kamu, Hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupanmu supaya do’amu jangan terhalang”.[20]
Tuhan sendiri memerintahkan agar berkeluarga dengan berpasangan suami istri mempunyai kewajiban yang sama yakni saling mengisi, saling menghormati, saling tolong menolong, dan seorang suami hendaklah melindungi seorang istri karena seorang istri dapat menolong seorang suami dan supaya kasih Allah tidak terhalang.
Peranan Perempuan dalam al-Kitab dapat dilihat sebagai berikut:
                                             1.         Perjanjian Lama
1)      Perempuan diciptakan oleh Tuhan agar bersama-sama dengan lakilaki boleh melaksanakan amanat Tuhan di dunia ini. Dalam hal ini, penciptaan melalui Hawa. Sebagaimana dalam Kejadian 1:26 dan 2:25
2)      Perempuan sebagai bidan, dipakai oleh Tuhan untuk menyelamatkan nyawa anak-anak. Mereka itu adalah Sifra dan Pua, sebagaimana dalam Keluaran 1:15-21.
3)      Perempuan sebagai nabi, seperti Miryam (Keluaran 15:20), Debora (Hakim-Hakim 4), Hulda (2 Raja-raja 22:14; 2 Tawarikh 4:22), Istri Yesaya, sebagaimana dalamYesaya 8:3.
4)      Perempuan sebagai pemimpin dan hakim, seperti Miryam (Keluaran 15-21) dan Debora (Hakim-hakim 4-5).
5)      Perempuan yang berani mengambil keputusan, seperti Rut (Rut 1:16).
6)      Perempuan yang tabah dan gigih, seperti Hana (1 Samuel 1:1-2:10).
7)      Perempuan yang menyelamatkan Israel dari kebinasaan, yaitu Ester (Ester 1-10).[21]

                                             2.         Perjanjin Baru
1)      Perempuan dipakai oleh Tuhan sebagai sarana kedatangan Juru selamat, yakni melalui Maria, ibu Tuhan Yesus (Matius 1:18-25; Lukas 2:1-7).
2)      Perempuan bersama dengan laki-laki disebut sebagai yang benar dihadapan Allah, dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat, yakni Elisabet (Lukas 1:5-6).
3)      Perempuan sebagai pelayan, sibuk melayani makanan dan minuman, seperti Martha, sebagaimana dalam Lukas 10:40.
4)      Perempuan beroleh kesempatan untuk mendengarkan pengajaran Tuhan Yesus sebagaimana layaknya murid Tuhan Yesus yang semuanya laki-laki. Tuhan Yesus menyebut tindakan Maria dari Baitani (Lukas 10:39,42) sebagai yang telah memilih bagian terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.
5)      Perempuan yang melayani Tuhan Yesus, seperti Maria, Magdalena, yohana dan Susana (lukas 8:1-3).
6)      Perempuan yang turut hadir di ruangan atas, setelah kenaikanTuhan Yesus ke Sorga (Kisah Para Rasul 1:14)
7)      Perempuan sebagai saksi pertama atas kebangkitan Tuhan Yesus, dan yang pertama meneruskan berita itu. Mereka itu adalah Maria Magdalena, Yohana dan Maria ibu Yakobus (Matius 28:1-8, Lukas 24:1-12, Yohanes 20:1-10).
8)      Perempuan yang telah bekerja keras untuk pelayanan. Dialah Maria (Roma 16:6).
9)      Perempuan yang melayani jemaat, sebagai pemimpin jemaat. Dialah Febe (Roma 16:1).
10)  Perempuan sebagai pemimpin jemaat rumah, seperti Priskila (1 Korintus 16:19).
11)  Perempuan yang beribadat kepada Allah, dan yang menyokong tugas-tugas pelayanan Paulus. Dialah Lidia (Kisah Para Rasul 16:14-25).
12)  Perempuan yang bekerja keras di dalam Tuhan dengan beraksi, berdo’a, mengajar dan menolong. Mereka adalah Trifena dan Trifosa (Roma 16:12).
13)  Perempuan sebagai nabi. Dialah Hana (Lukas 2:36-38).
14)  Perempuan yang banyak berbuat baik dan memberi sedekah.Dialah Dorkas atau Tabita (Kisah Para Rasul 9:36).
15)  Perempuan sebagai pengusaha, seperti Lidia (Kisah Para Rasul 16:14).[22]

b.      Peranan Perempuan sebagi Istri
Apabila seorang perempuan yang sudah dewasa dan sudah mapan, maka wajar bila ia akan menikah dan mempunyai sebuah keluarga dan membina sebuah rumah tangga. Maka secara otomatis seorang perempuan tersebut berstatus istri. Pada zaman modern ini, ada sebagian perempuan bersuami yang memulai mempertanyakan kembali model hubungan mereka dengan suami mereka. Karena itu perempuan dituntut untuk menuju model hubungan yang egalitarian yang seharusnya ditempuh secara bijaksana. Perempuan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya dan berbagi rasa dengan suaminya tanpa merasa risuh dan takut. Model yang tradisional, pria hanya sebatas sebagai pencari nafkah, figur penguasa, pantang mengungkapkan perasaannya, dan menjadikan seks sebagai tolok ukur kejantanannya, dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, perawat anak, figur seorang wanita yang penuh perasaan welas asih, dan seks sebagai kewajiban terhadap suami.[23]

c.       Peranan Perempuan sebagai Ibu
Fungsi sebagai ibu merupakan tahap biologis perempuan yang ada batasnya, yang menjadikan beberapa perilaku tertentu seperti pemeliharaan dan sebagainya, menjadi sangat berarti. Namun perilaku itu bukanlah ciri-ciri khas seumur hidup pada hakekat perempuan itu. Gereja dan masyarakat konservatif yang masih saja memberlakukan kultus keibuan seperti itu adalah penghambat bagi perempuan dalam pertumbuhannya menuju kesempurnaan kepribadiaanya yang merupakan hakekat dari penciptaannya.[24]

D.    Peranan Gender Perempuan menurut al-Kitab
Secara biologis, manusia dilahirkan sebagai laki-laki (pria) atau sebagai perempuan (wanita). Kemudian ia dididik sebagai seorang anak laki-laki atau sebagai anak perempuan, supaya nanti dapat menjadi seorang laki-laki dewasa atau seorang perempuan dewasa sesuai dengan harapan masyarakat. Jadi secara sosiologis, ia dikonstruksi menjadi seorang laki-laki atau seorang perempuan dengan tugas dan peran tertentu. Akibat dari konstruksi sosial tersebut seorang manusia akhirnya mendapatkan identitas gender menurut jenis kelaminnya ia masuk ke dalam suatu stereotip bentukan masyarakat, sehingga ia kehilangan identitas diri sebagaimana dikehendaki oleh sang pencipta.[25]

a)      Peranan Perempuan sebagai Individu
Banyak perempuan yang tidak memikirkan kemampuan dan kecakapan mereka sendiri untuk menangani peran ganda dalam hubungannya dengan masa kanak-kanaknya. Penulis mencoba menilai lagi kekuatan kita sejak awal mula. Di dalam gereja, ajaran Kant lebih banyak dikhotbahkan kepada perempuan dari pada ajaran Kristus. Dalam banyak kelompok Kristiani, hingga saat ini, hal meniadakan kepentingan diri masih dipandang sebagai suatu kewajiban, sedangkan mengembangkan diri dan mengasihi diri sendiri dipandang sebagai dosa. Jawaban “ya” terhadap “aku” kita harus berawal dengan kesadaran bahwa kasih Allah itulah yang membuat kita berharga, membuat kita dikasihi sekalipun kita sendiri menganggapnya demikian.[26]
Meniadakan kepentingan diri dengan sungguh-sungguh hanya mungkin jika hakekat “diri” memang benar-benar dikesampingkan apa yang disebut hakekat diri pada perempuan dalam gereja dan masyarakat kita ialah suatu penyesuaian diri, yaitu hakekat diri yang menolong supaya bagian-bagian yang kosong terisi tanpa adanya ruang tersendiri untuk hakekat diri itu dan fungsi tersendiri atau kesadaran diri. Apabila para perempuan masa kini mau menemukan kembali hakekat dirinya yang hilang, mereka memerlukan diri sendiri tidak dapat dilakukan seorang diri dalam suasana atau lingkup kehidupan pribadi. Menemukan diri sendiri dalam kelompok-kelompok wanita yang beraneka ragam sifatnya, dalam hal itulah harus ada keterbukaan untuk mengakui ketergantungan ekonomis dan psikologis kita serta mengadakan uji coba atas berbagai bentuk baru dalam pergaulan hidup.[27]
Perempuan bukan saja sebagai pelengkap bagi pria, melainkan satu kepribadian yang utuh dan mandiri yang bukan merupakan bawahan pria (sebagaimana dikatakan oleh Luther dan Bonhoeffer), dan bukan pula merupakan bagiannya (Karl Barth). Perbedaan-perbedaan biologis jauh lebih kecil dari anggapan orang pada masa lampau, sementara perbedaan-perbedaan sosiologis jauh lebih besar maknanya untuk kedua jenis tersebut. Hakekat perempuan yang sebenarnya, apa artinya dia sebagai mitra yang sungguh-sungguh bagi pria, baru akan menjadi nyata apabila segala pengharapan akan peranan kedua jenis itu dimundurkan selangkah.[28]

b)     Peranan Perempuan dalam Masyarakat
Perempuan  tidak mungkin secara total mengisolir diri dari identitasnya dan mengesampingkan untuk hidup di lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat adalah kawasan di mana, manusia dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Di samping itu, masyarakat akan membentuk karakter dan identitas perempuan dalam sebuah sosok anggota pribadi dalam sebuah komunitas. Sehingga keseimbangan antara perempuan sebagai pribadi dan bagian masyarakat harus dilakukan. Oleh karena itu sebagaimana telah disebutkan perempuan juga berhak memiliki peran yang sama sebagaimana laki-laki dalam masyarakat, misalnya, Perempuan sebagai pemimpin dan hakim, seperti Miryam (Keluaran 15-21) dan Debora (Hakim-hakim 4-5),
Perempuan beroleh kesempatan untuk mendengarkan pengajaran Tuhan Yesus sebagaimana layaknya murid Tuhan Yesus yang semuanya laki-laki. Tuhan Yesus menyebut tindakan Maria dari Baitani (Lukas 10:39,42) sebagai yang telah memilih bagian terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya, Perempuan yang turut hadir di ruangan atas, setelah kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga (Kisah Para Rasul 1:14), Perempuan yang telah bekerja keras untuk pelayanan. Dialah Maria (Roma 16:6), Perempuan yang melayani jemaat, sebagai pemimpin jemaat. Dialah Febe (Roma 16:1) dan sebagainya sehingga wanita juga dianggap sebagai warga yang berhak mendapat perlindungan dan berkreasi.
Dengan demikian al-Kitab juga menaruh perhatian yang cukup besar terhadap peran perempuan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

c)      Peranan Perempuan dalam Polotik
Di Alkitab ada beberapa ayat yang menyinggung peranan pria dan perempuan dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus 11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh Rasul Paulus, “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” (1 Timotius 2:11-12). Kata “memerintah” pada ayat di atas, dapat pula diterjemahkan “memiliki otoritas atau kuasa”, dalam hal ini atas pria. Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengulang perintah yang sama yaitu, “… perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat… Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah ….” (1 Korintus 14:34-35). Jelas bahwa dalam Surat 1 Korintus maupun 1 Timotius, Paulus tidak mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus meminta wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.
Adapun argument Paulus terhadap pandangan di atas; Landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama, Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: “Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3); kedua,Kedua, Paulus menjelaskan makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu sendiri, yakni “… laki-laki … menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1 Korintus 11:7-8); Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya, yakni “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.” (1 Timotius 2:13-14).[29]
Penjelasan tersebut seakan kontra diktif terhadap yang disampaikan dalam Bible itu sendiri bahwa di dalam Alkitab tercatat beberapa tokoh pemimpin yang adalah perempuan. Misalnya, Miryam, kakak Musa, disebut sebagai nabiah (Keluaran 15:20) dan terlihat jelas bahwa ia pun memegang peran kepemimpinan di samping Harun dan Musa. Juga Debora yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah tujuannya — ketertiban — bukan sarananya — otoritas laki-laki atas perempuan. Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban, sedangkan tujuannya adalah ketertiban — terutama di dalam keluarga.[30]

E.     Status Perempuan menurut al-Kitab
Dalam Kitab Kejadian 1 dan 2, dikisahkan tentang Tuhan Allah yang menciptakan langit dan bumi, laut serta segala isinya juga manusia, baik lakilaki maupun perempuan. Dari sini bisa kita lihat pengertian dan pemahaman tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam dunia. Berabad-abad lamanya, keberadaan perempuan dipahami hanya sebagai penyebab jatuhnya manusia ke dalam dosa. Ada juga yang memandang bahwa perempuan sebagai penolong laki-laki sebagai obyek seksualitas. Dari pemahaman-pemahaman tadi bisa membawa kepada diskriminasi seksual dan diskriminasi dalam segala aktivitas.
Ø  Status Wanita dalam Hukum
Berdasarkan Kejadian 1:27, dilihat dari penciptaan perempuan maupun laki-laki diberi kuasa atas alam. Kenyataannya yang sering mendapat kekuasan adalah laki-laki, sedangkan perempuan tidak diberi kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari sejarah pada zaman kuno terkenal sebagai dunia kaum pria, dunia sistem patriarkhal. Pada zaman itu wanita menjadi ternama hanya karena penyimpangan perilaku mereka dalam dunia politik, masyarakat, atau akibat perbuatan seksual mereka atau karena tindakan mereka yang luar biasa. Dalam dunia patrialkhal nilai, norma masyarakat dan budaya ditentukan oleh pola tingkah laku pria, sehingga pria sangat berpengaruh dan wanita cenderung direndahkan.[31]
Status seorang wanita pada saat itu terkait pada status ayahnya, dan hanya diubah (naik atau turun) melalui perkawinan, sedangkan seorang wanita jarang mendapatkan kebebasan untuk memilih pendamping hidupnya dan yang mengatur adalah keluarganya. Pada waktu itu seorang wanita tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah mengikuti  jalan hidupnya.
Pada pertengahan abad ke-17 mulai muncul teolog-teolog perempuan, yang kemudian terkenal dengan teolog Feminisme. Teolog feminisme adalah suatu gerakan emansipasi wanita dalam memperjuangkan kaum perempuan agar kaum perempuan dibebaskan dari budaya di mana laki-laki mendominasi segala aspek kehidupan yang mengakibatkan perbedaan kedudukan dan peran seorang perempuan. Teolog feminisme ini mula-mula berkembang di Amerika Serikat dan baru berkembang ke seluruh dunia. Seperti Margaret Fell (1667) dan Sarah Grioke (1837).[32]
Sehingga sejak waktu itu dari sedikit demi sedikit mulai berubah, karena bisa kita lihat dari perkembangan zaman bahwa wanita juga mempunyai peran dalam keluarga, masyarakat ataupun dalam gereja, seperti tokoh wanita Agatha Christie dan Ratu Victoria tokoh lain yang mampu memperjuangkan hak wanita. Dan setelah mereka tiada, dunia mulai berbeda.[33]
Seorang laki-laki sebenarnya juga mengakui bahwa wanita juga mempunyai kedudukan dalam kehidupan, seperti halnya seorang suami juga menghawatirkan kesehatan seorang istri, melindungi, mengasihi, dipuji dan melakukan sesuatu untuk sang istri. Begitu pula seorang wanita ia akan berusaha mendampingi seorang laki-laki dan akan ikut membantu seorang laki-laki dari hal yang kecil sampai yang besar. Kejadian 2:18 menerangkan bahwa seorang wanita adalah penolong bagi laki-laki dan dia sepadan dengannya. Sehingga sangatlah jelas dari firman tersebut wanita dan laki-laki itu sejajar dan antara wanita dan laki-laki adalah seorang kemitraan dan tidak ada yang ditinggikan ataupun yang direndahkan.[34]
Dalam Gal 3:28 yang berbunyi:
Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”.[35]
Dari firman Tuhan tersebut menjelaskan bahwa di hadapan Tuhan manusia itu sama. Tuhan tidak membedakan hambanya baik dari suku, bangsa, ras, laki-laki ataupun perempuan, namun yang membedakan hanyalah Iman dan ketaatan menjalankan perintah Tuhan Allah, karena semua manusia adalah anak-anak Tuhan yang dibuat sesuai dengan GambarTuhan.[36]
Dalam Pekabaran Injil, wanita juga ikut terlibat secara penuh dalam kegiatan gereja, yakni dipercaya untuk tugas-tugas yang menentukan, seperti halnya saat Yesus melakukan perjalanan untuk menyebarkan Injil bersama 12 muridnya. Di dalam perjalanan tersebut juga terdapat beberapa wanita yang melayani keperluan Beliau dengan iman, ketaatan dan tenggang rasa, yang kemudian biasa membuat kemandirian seorang wanita. Dalam jemaat gereja adalah persekutuan lakilaki dan wanita bahkan wanita diberi kepercayaan menjalankan tugas dalam gereja.[37]

F.     Ketidakadilan Gender Dalam Agama Katolik
Ketidak-adilan dan diskriminasi gender merupakan suatu sistem dan struktur di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sitem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat norma, maupun berbagai struktur yang ada di masyarakat.
Pada bagian ini penulis ingin memberikan sebuah contoh kasus yang berkaitan dengan keadilan gender.  “Hidup dengan Seorang Monster” merupakan sebuah kisah dari seorang ibu yang mengalami KDRT. Sore itu datang seorang perempuan setengah baya, namanya Ibu Agnes (47 tahun) ke tempat seorang suster, sebuah Crisis Center. Perawakannya kurus kecil. Ia nampak sulit untuk mengawali pembicaraan walau akhirnya lancar dan tak terbendung. Ibu Agnes mempunyai seorang suami yang menurutnya seorang pekerja keras, taat beragama, kelihatannya tanpa cacat. Ia sendiri sudah membayangkan kehidupan keluarga separti keluarga Nazaret. Pada awalnya keluarga mereka sangat bahagia.
“Setelah enam tahun pernikahan suaminya mulai menunjukkan sikap disiplin yang sangat tinggi. menurut Ibu Agnes hal itu sudah berlebihan. Mulai dari bangun pagi samapai malam sang istri diberi jadwal yang ketat. untuk melakukan segala pekerjaan rumag termasuk menjaga anak-anak mereka dan mencatat aktivitas mereka. Kesalahan berujung pada hukuman cambuk yang mmenurut sang Bapak adalah cara pencapaian disiplin. Ketika Ibu Agnes membela anak-anaknya, ia sendiri juga menjadi sasaran amukan suami. semua hal dalam rumah diatur oleh suami bahkan sampai gaya rambut, model baju, seluruh anggota keluarga. tidak ada satu pun yang bisa memilih.[38]
Kekerasan bertambah sering dan dalam berbagai bentuk baik fisik, makian, ancaman hingga diusir dari rumah. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang keadaan ini dan kesan orang tentang keluarga Ibu Agnes. Suaminya tetap dianggap disiplin, berpendidikan. tidak ada yang tahu kalau di balik baju, tubuh mereka biru lebam.
                                     
Sebenarnya Ibu Agnes sudah tak sanggup bertahan tetapi ia tak ingin dikatakan tidak menghargai suami. Ia berusaha mengunci mulutnya. Ketika anaknya sudah besar ia ingin mengakhiri semuanya itu. Ibu Agnes berusaha untuk terbuka. Pertama-tama ia menceritakan masalanya kepada seorang Pastor. Sang Pastor kaget dan nyaris tidak percaya. Ibu Agnes menunjukkan bekas-bekas pukulan di bagian kepala dan tubuh yang masih biru. Ibu Agnes mendorong anaknya yang sudah dewasa untuk melawan Bapaknya tetapi anaknya malah dipukul dengan rotan dan ditonjok. Ibu Agnes membawa anknya kepada Pastor. Pastor meminta Ibu dan anak itu mendoakan suaminya. setiap kali mengadu kepada Pastor hanya nasehat yang sama yang Ibu Agnes dapatkan.
Ibu Agnes tak bisa lagi menahan penderitaannya dan saat itu ia ingin menceraikan suaminya. Setelah masa pendampingan bersama seorang suster Ibu itu akhirnya menceraikan suaminya. Ia dan anak-anaknya meninggalkan rumah. Beberapa bulan kemudian mantan suaminya itu meninggal karenaserangan jantung.[39]
Ketidak-adilan gender nampak dalam berbagai bentuk. Pertama, marjinalisasi yang disebut juga sebagai pemiskinan ekonomi. Sebagai contoh banyak pekerja perempuan yang tersingkir dan miskin pembangunan yang terfokus kepada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis pekerjaan yang dianggap sebagai keterampilan laki-laki. Kedua, subordinasi yang menunjukan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan. Ketiga, pandangan stereotip merupakan suatu pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. misalnya, pandangan terhadap perempuan itu perayu dan dianggap cocok untuk bekerja di bagian penjualan. Keempat, kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran merujuk pada tindakan fisik maupun integritas mental seseorang. Kelima, beban kerja ganda. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Masalah yang diangkat dalam kisah “Hidup dengan Seorang Monster” merupakan salah satu masalah bertentangan dengan prisip keadilan gender. Masalah yang disorot secara khusu adalah kekerasa dalam rumah tangga (KDRT) tetapi bias masalah dapat dilihat dari aspek-aspek lain. Aspek sosial budaya, ekonomi juga dapat dikaitkan dalam masalah tersebut sebagai suatu latar belakang. Berhadapan dengan masalah sosial  ini bagaiman Gereja Katolik menaggapinya?[40]












BAB III
PENUTUP

Memang masih menjadi topik yang sangat menarik ketika pembahasan gender ini kembali mencuat di masyarakat terutama masyarakat yang mengerti akan peran dan fungsi serta kedudukan masing-masing yang dimiliki.
Dalam kekristenan, khususnya Alkitab, laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki status dan peran yang sama. Mereka diciptakan segambar dengan Allah dan berasal dari satu sumber. Laki-laki berasal dari Allah dan perempuan berasal dari laki-laki. Laki-laki dan perempuan ditempat di dunia ini secara bersama-sama dalam satu kesatuan, dalam sebuah relasi baik personal/pribadi maupun kerja. Mereka berfungsi untuk mengelola, memanfaatkan dan memelihara dunia ciptaan Tuhan dan sekaligus berreproduksi untuk melanjutkan keturunan/manusia.
Namun dalam lingkungan umat Kristen sejak awal maupun hingga saat ini, ada saja pandangan dan sikap yang membeda-bedakan kedua jenis kelamin itu. Ini memang dipengaruhi oleh budaya atau adat istiadat di mana umat itu berada. Ini yang perlu dipahami oleh kita sebagai orang Kristen pada masa kini dan dengan begitu kita tidak menerima dan menerapkan begitu saja ajaran dan praktek yang merendahkan salah satu pihak, terutama perempuan. Melihat status dan peran laki-laki dan perempuan sebagaimana diciptakan oleh Tuhan, ada persamaan atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ini yang perlu diperjuangkan oleh setiap orang percaya






[1] F.L. Bakler, Sejarah Kerajaan Allah: Perjanjian Lama, Gunung Mulia, 1990, hal. 16-18
[2] Lembaga al-Kitab Indonesia, Al-Kitab, Lembaga Al-Kitab Indonesia (LAI), Jakarta,
1993, hal.2                                                                                  
[3] Ibid , hal. 20-21
[4] Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia: Menurut Bibel, al-Qur’an, Sains.
Bandung, Mizan, 1992, h. 170-171       
[5] Lembaga al-Kitab Indonesia, hal. 3
[6] F.L. Bakler, hal. 24-35
[7] Lembaga al-Kitab Indonesia, hal. 4
[8] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[9] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB

[10] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[11] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB

[12] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB

[13] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB

[14] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB

[15] APA+PERANAN+PEREMPUAN+DALAM+PELAYANAN+GEREJA.doc. Diakses pada 19 November 2013 pukul 14.00 WIB
[16] Brunettor Wolfman, Peran Kaum Wanita; Bagaimana Menjadikan Cakap dan Seimbang dalam Antar Peran, Yogyakarta. Kanisius, 1989, h. 9-11
[17] Anne Borroder, Tugas Rangkap Wanita; Mengubah orang Kristen, Jakarta, Gunung Mulia, 1993, h. VII
[18] Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Yogyakarta, Kanisius, t.th, hal. 2
[19] Brunetar. Wolfman, hal 22
[20] Lembaga al-Kitab Indonesia, hal. 300
[21] Lembaga al-Kitab Indonesia
[22]Lembaga al-Kitab Indonesia
[23] Marjorie Hansen Shaevitz, Wanita Super, Kanisius, Yogyakarta, 1989, h. 57
[24] Elisabeth Moltman dan Wendel, Pembebasan Kesetaraan Persaudaraan; Emansipasi Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, terj. S.L. Tobing dan Kartohadiprojo, Jakarta, Gunung Mulia, 1995, h. 60
[25] Kartini Kartono, Psikologi Wanita, Alumni, Bandung, 1986, hal. 5
[26] Hardjito Notopuro, Masalah Wanita; Kedudukan dan Peranannya, Bandung, Binacipta, 1977, h.
[27] Ibid., h, 59
[28] Ibid, h, 60
[31] Elisabeth Moltman Wendel, Pembebasan Kesetaraan Persaudarian: EmansipasiWanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta, Gunung Mulia, 1995, h. 1-3
[32] Kapahang Kaunang. K.A., Perempuan; Pemahaman Teologis Perempuan dalamKonteks Budaya Minahasa, Jakarta, Gunung Mulia, 1993, h. XII-XIII
[33] Ruth Tiffany Barhause, Identitas Wanita; Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra Diri, Jakarta, Kanisius,1988, h. 32-35
[34] M. Masyhur Amin, h. 40
[35] Lembaga al-Kitab Indonesia, h. 246
[36] St. Darmawijaya Pr., Perempuan dalam Perjanjian Baru, , Yogyakarta, Kanisius ,1991, h. 13
[37] Elisabeth Moltman Wender, h. 3-12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar