Oleh:
Ratna Hildia. A
Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dengan
mengakuikemanusiaan perempuan dan mengikis habis kegelapan yang dialami
perempuansepanjang sejarah serta menjamin hak-hak perempuan. Untuk menjelaskan kedudukanperempuan
dalam hukum Islam, dasar hukum yang harus dipegangi adalah kedua sumberutama
hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah (hadis). Dari dua sumber inilah
diperolehprinsip-prinsip yang pasti untuk melihat kedudukan perempuan dalam
Islam. Namun,harus dimaklumi bahwa prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh
Alquran dan Sunnahterkadang dipraktikkan berbeda oleh umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkanharus disadari pula bahwa ayat-ayat Alquran dan
hadis-hadis Nabi Saw. yang sebenarnyamenyuarakan masalah keadilan dan persamaan
sering dipahami yang sebaliknya,sehingga di kalangan pemikir Islam (ulama)
timbul perbedaan pendapat dalam berbagaipermasalahan Islam, termasuk hukum
Islam. Dalam posisi seperti ini, Alquran memberikan solusi yang tegas, bahwa
jika di antara kita terjadi perbedaan pendapat makaseharusnya kita kembali
merujuk kepada Allah dan Rasulullah untuk memutuskanperkaranya (QS. al-Nisa’
[4]: 59). Karena itu, ketika dalam masyarakat Islamberkembang opini yang
berbeda-beda mengenai hak dan kewajiban perempuan,misalnya, maka kita harus
kembali merujuk kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalamAlquran dan Sunnah
Nabi Muhammad Saw. Kalaupun kemudian muncul pendapat yang bernada misoginis
terhadap perempuan,atau yang menunjukkan subordinasi perempuan dan superioritas
laki-laki, dikarenakanadanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran
teks-teks Alquran. Persoalan yangsama seperti itu juga terjadi dalam pemahaman
terhadap teks-teks hadis. Namun, dalam bidang hadis ini juga dipengaruhi oleh
status atau kualitas hadis yang oleh para ulama hadis dinilai berbeda-beda.
Memang keberadaan hadis tidak seperti Alquran yang sejak turunnya hingga
sekarang tidak diragukan keautentikannya. Hadis tidak seperti Alquran, karena
sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan peristiwa-peristiwa historis
yang bermuatan sosio-kultural, terutama bagi para perawi atau sanad yang
membawanya kepada kita. Dari sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman
hadis, yaitu usahapenyesuaian dengan dan/dari hadis untuk mendapatkan pandangan
yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang
dihadapi. Ini berarti bahwakontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan
perkembangan dengan teks hadis atau sebaliknya, tetapi kontekstualisasi dilakukan
dengan dialog atau saling mengisi di antara keduanya (Ilyas dalam Marhumah,
2001: 180).
Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk memosisikan perempuan
dalam posisiyang sebenarnya – sebagaimana yang ditegaskan oleh Alquran – maka
perlu dilakukankajian ulang terhadap hadis-hadis yang misoginis, yakni
hadis-hadis yang isinyamerendahkan perempuan, sehingga memperlihatkan adanya
ketimpangan gender antaralaki-laki dan perempuan (Umar dalam Fudhaili, 2005:
ix). Kritik terhadap hadis-hadisyang misoginis tidak hanya dalam hal sanadnya,
tetapi juga dalam hal matannya. Jikaditelusuri hadis-hadis yang misoginis
tersebut, ternyata sebagiannya adalah hadis-hadisyang shahih. Sebagai contoh
adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang isinyabahwa kebanyakan perempuan
adalah penghuni neraka dan hadis yang menegaskantentang ketidakberhasilan suatu
negara yang dipimpin oleh perempuan. Terhadap hadishadisshahih seperti itu,
yang harus dilakukan adalah mengkritisinya melalui jalur matan,yakni dengan
mengkaji ulang makna yang ada di balik bunyi teks hadis tersebut
danmenyesuaikannya dengan konteks (asbabulwurud) yang terjadi di saat
teks itu muncul untuk melengkapi uraian tentang kedudukan perempuan dalam hukum
Islam.
Fiqih[1]
yang kita kenal sekarang merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad
pertengahan. Selanjutnya suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk
semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk
kurun waktu tertentu, namun belum tentu
cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi hasil ijtihad itu cocok untuk
masyarakat tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lainnya yang
memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda.[2]
Dalam dunia fiqih, asumsi dan opini minor terhadap perempuan
nampaknya cukup merajai, sehingga rumusan fiqih sering kali memposisikan
perempuan dalam the second class. Jadi, fiqih yang sebenarnya merupakan
hasil pemahaman para ulama’, yang melibatkan penalaran, dipengaruhi oleh
subjektivitas mujtahidnya, dan bertujuan untuk kemaslahatan umat tersebut.
Sehingga ia dianggap sebagai barang paten dari sononya, dan tak boleh dirubah
sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, terhadap rumusan fiqih yang
telah ada, para mujtahid masa kini dapat juga melakukan kajian ulang
terhadapnya, misalnya dengan memakai metode pemahaman kontekstual.
selanjutnya
akan dijelaskan beberapa pemikiran para tokoh Islam yang digolongkan ke
dalam
kelompok feminis Muslim terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan
(relasi
gender) dalam berbagai bidang kehidupan mereka
1.
Qasim Amin
Qasim Amin adalah tokoh feminis Muslim pertama yang dilahirkan di
Tarah,Iskandariah (Mesir), Desember 1865. Qasim dapat menyelesaikan pendidikan
tingginyadalam waktu yang relatif singkat. Di antara guru yang dikaguminya di
Al-Azhar adalahMuhammad Abduh. Pola berpikir kritis banyak diperolehnya dari
guru favoritnya itu.Karena kecerdasannya, Qasim Amin kemudian mendapat
kesempatan untuk melanjutkanstudi ke Fakultas Hukum Universitas Montpellier di
Paris Perancis. Sekembalinya ke Mesir, Qasim Amin bekerja pada Dewan Perwakilan
Rakyat dan pada sebuah lembaga hukum. Ia menetap di Kairo hingga wafatnya 22
April 1908. Di antara karya-karyanyayang banyak menggugah semangat perempuan
untuk bangkit adalah Tahrir al-Mar’ah (1900) dan al-Mar’ah al-Jadidah
(1911). Dua karya inilah yang kemudian banyak memberi inspirasi kepada para
feminis Muslim untuk memperjuangkan kebebasan untuk perempuan setelahnya hingga
sekarang (Qutub, 1993; Harahap dalam Sukri, 2002: 194-195). Qasim Amin adalah
salah satu tokoh feminis Muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang
emansipasi perempuan Muslim melalui karya-karyanya.Qasim Amin memunculkan
gagasannya didasari oleh keterbelakangan umat Islam yangmenurutnya disebabkan
salah satunya oleh persepsi dan perlakuan yang salah terhadap perempuan
(Nasution, 1991: 79).
Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi
diskursus dikalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini
mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk
menyuarakannya. Ideemansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan
sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan
beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara
standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan
bergerak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya
kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak (Amin,
2003: 49). Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya
tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan perempuan sederajat dengan
lakilaki dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya.
Jika perempuan melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak
begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya.
Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap perempuan memiliki rasionalitas
yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan,
sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas perempuan ketika kebebasannya
dirampas (Amin, 2003: 65).
2.
Amina Wadud Muhsin
Amina Wadud Muhsin adalah salah satu pemikir feminis kelahiran
Malaysia. Dia menamatkan studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi
di Malaysia. Dia menamatkan sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya
dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989, dan doktornya dari
Harvard University tahun 1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat
menjabat salah satu guru besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada
Universitas Commenwelth di Virginia. Salah satu tulisannya yang kemudian
penulis jadikan sebagai bahan kajian terhadap pemikiran feminismenya adalah Qur’an
and Woman (1992). Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk
Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khathib dan imam shalat Jum’at di
New York City tanggal 18 Maret 2005. Belum lama ini juga terbit buku Amina yang
berjudul Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006).
Dalam bukunya Qur’an and Woman, Amina mengawali
pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada
mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga
kategori, yaitu tradisional, reaktif, dan holistik. Tafsir tradisional, menurut
Amina, memberikan interpretasi-interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan
kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat hukum, tasauf, gramatik, retorik, atau
historis. Metodologi yang digunakan bersifat atomistik, yaitu penafsiran
dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk
menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan
yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina bahwa tafsir-tafsir tradisional itu ditulis
oleh kaum laki-laki secara eksklusif. Itulah sebabnya maka hanya laki-laki dan pengalaman
laki-laki saja yang direkomendasikan dalam tafsir itu. Sedang perempuan - berikut
pengalaman, visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya - ditundukkan pada pandangan
laki-laki (Muhsin, 1993: 1-2).
Kategori kedua adalah tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi
para pemikir modern terhadap sejumlah besar hambatan yang dialami perempuan
yang dianggap berasal dari Alquran. Persoalan yang dibahas dan metode yang
digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun
tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap Alquran. Dengan demikian
meskipun semangat yang dibawa adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya
dengan sumber ideologi dan teologi Islam, yaitu Alquran (Muhsin, 1993: 3).
Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan
mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, dan politik,
termasuk isu tentang perempuan pada era modern ini.
Menurut Amina, tafsir model ini merupakan metode terbaik. Dalam
kategori inilah Amina menempatkan karyanya (Muhsin, 1993: 3)
Tugas
dan kewajiban suami istri
Hak-hak
wanita juga disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika ada salah satu sahabat
yang bertanya “Ya Rosulullah, apa hak istri kami terhadap kami?” Nabi menjawab:
“Berikan mereka makanan seperti yang engkau makan, berikan pakaian seperti yang
engkau pakai, dan jangan kamu pukul mereka, dan jangan mencaci-maki mereka””.
(Sunan Abu-Dawud).
Didalam hadist tersebut Nabi Muhammad SAW melarang seorang suami
menyakiti istrinya dengan cara apapun. Misalkan memukul istri di wajahnya
adalah dilarang di dalam Islam. Seorang suami juga dilarang berkata kasar
terhadap istri atau kedua orang tua istri. Nabi Muhammad SAW memerintahkan
kepada kaum lelaki untuk memperlakukan istrinya dengan baik dan sabar. Beliau
bersabda ”Kaum mukmin yang paling sempurna keimanannya ialah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian ialah yang terbaik kepada istri-istrinya”.
(HR. At-Tirmidzi).
Nabi
Muhammad SAW juga menganjurkan agar setiap suami bersabar terhadap perilaku
buruk isterinya. Nabi bersabda “Barang siapa -diantara para suami- bersabar
atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti
yang Allah berikan kepada Ayyub a.s atas kesabarannya menanggung penderitaan.”
(HR. Nasa`i dan Ibnu Majah).
Jika
kondisi pendisiplinan terhadap isteri diperlukan. Maka yang perlu dilakukan
seorang suami adalah memberikan nasihat kepada istri, kemudian pisah ranjang
(tidak melakukan hubungan seksual dengan isteri). Jika perbuatan isteri sudah
kelewatan, boleh memberikan tindakan fisik memukul yang tidak menyakiti istri,
tindakan fisik ini untuk menjaga keutuhan rumah tangga, bukan dengan tujuan
untuk menyakiti isteri. Jika istri sudah kembali menjalankan aturan Allah SWT
dan taat kembali, seorang suami dilarang mencari-cari alasan untuk menyusahkan
istri. Hal ini dijelaskan di Al Qur’an surat An-Nisaa ayat 34 sebagaimana
tercantum di atas.
Begitu
juga sebaliknya, seorang suami mempunyai hak yang harus diterima dari
isterinya. Yaitu seorang isteri harus menaati suaminya dalam segala hal selama
sesuai dengan aturan Islam. Seorang isteri harus melaksanakan sesuatu yang
disenangi suaminya, dan tidak diperbolehkan menolak ajakan suami tanpa ada
alasan yang jelas sesuai dengan aturan Islam. Seorang isteri perlu meminta ijin
kepada suami jika akan melaksanakan puasa sunnah. Seperti juga seorang isteri
tidak boleh menerima tamu masuk ke dalam rumah tanpa ijin dari suaminya.
Seorang isteri juga perlu meminta ijin suaminya untuk keluar rumah dengan
alasanya
Daftar
Pustaka
·
Shalih, Su’ad.
Ibrahim. (2001). “Kedudukan Perempuan dalam Islam”, dalam Mohammad
·
Sukri, Sri
Suhandjati (Ed.). (2002). Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta:
Gama Media. Cet. I.
·
Umar,
Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina. Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar