Selasa, 26 November 2013

Kedudukan Perempuan dalam Hukum Islam

Oleh:
Ratna Hildia. A

Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dengan mengakuikemanusiaan perempuan dan mengikis habis kegelapan yang dialami perempuansepanjang sejarah serta menjamin hak-hak perempuan. Untuk menjelaskan kedudukanperempuan dalam hukum Islam, dasar hukum yang harus dipegangi adalah kedua sumberutama hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah (hadis). Dari dua sumber inilah diperolehprinsip-prinsip yang pasti untuk melihat kedudukan perempuan dalam Islam. Namun,harus dimaklumi bahwa prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Alquran dan Sunnahterkadang dipraktikkan berbeda oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahkanharus disadari pula bahwa ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi Saw. yang sebenarnyamenyuarakan masalah keadilan dan persamaan sering dipahami yang sebaliknya,sehingga di kalangan pemikir Islam (ulama) timbul perbedaan pendapat dalam berbagaipermasalahan Islam, termasuk hukum Islam. Dalam posisi seperti ini, Alquran memberikan solusi yang tegas, bahwa jika di antara kita terjadi perbedaan pendapat makaseharusnya kita kembali merujuk kepada Allah dan Rasulullah untuk memutuskanperkaranya (QS. al-Nisa’ [4]: 59). Karena itu, ketika dalam masyarakat Islamberkembang opini yang berbeda-beda mengenai hak dan kewajiban perempuan,misalnya, maka kita harus kembali merujuk kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalamAlquran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Kalaupun kemudian muncul pendapat yang bernada misoginis terhadap perempuan,atau yang menunjukkan subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki, dikarenakanadanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks Alquran. Persoalan yangsama seperti itu juga terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks hadis. Namun, dalam bidang hadis ini juga dipengaruhi oleh status atau kualitas hadis yang oleh para ulama hadis dinilai berbeda-beda. Memang keberadaan hadis tidak seperti Alquran yang sejak turunnya hingga sekarang tidak diragukan keautentikannya. Hadis tidak seperti Alquran, karena sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan peristiwa-peristiwa historis yang bermuatan sosio-kultural, terutama bagi para perawi atau sanad yang membawanya kepada kita. Dari sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman hadis, yaitu usahapenyesuaian dengan dan/dari hadis untuk mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini berarti bahwakontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dengan teks hadis atau sebaliknya, tetapi kontekstualisasi dilakukan dengan dialog atau saling mengisi di antara keduanya (Ilyas dalam Marhumah, 2001: 180).

Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk memosisikan perempuan dalam posisiyang sebenarnya – sebagaimana yang ditegaskan oleh Alquran – maka perlu dilakukankajian ulang terhadap hadis-hadis yang misoginis, yakni hadis-hadis yang isinyamerendahkan perempuan, sehingga memperlihatkan adanya ketimpangan gender antaralaki-laki dan perempuan (Umar dalam Fudhaili, 2005: ix). Kritik terhadap hadis-hadisyang misoginis tidak hanya dalam hal sanadnya, tetapi juga dalam hal matannya. Jikaditelusuri hadis-hadis yang misoginis tersebut, ternyata sebagiannya adalah hadis-hadisyang shahih. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang isinyabahwa kebanyakan perempuan adalah penghuni neraka dan hadis yang menegaskantentang ketidakberhasilan suatu negara yang dipimpin oleh perempuan. Terhadap hadishadisshahih seperti itu, yang harus dilakukan adalah mengkritisinya melalui jalur matan,yakni dengan mengkaji ulang makna yang ada di balik bunyi teks hadis tersebut danmenyesuaikannya dengan konteks (asbabulwurud) yang terjadi di saat teks itu muncul untuk melengkapi uraian tentang kedudukan perempuan dalam hukum Islam.
Fiqih[1] yang kita kenal sekarang merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad pertengahan. Selanjutnya suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk kurun waktu  tertentu, namun belum tentu cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi hasil ijtihad itu cocok untuk masyarakat tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lainnya yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda.[2]
Dalam dunia fiqih, asumsi dan opini minor terhadap perempuan nampaknya cukup merajai, sehingga rumusan fiqih sering kali memposisikan perempuan dalam the second class. Jadi, fiqih yang sebenarnya merupakan hasil pemahaman para ulama’, yang melibatkan penalaran, dipengaruhi oleh subjektivitas mujtahidnya, dan bertujuan untuk kemaslahatan umat tersebut. Sehingga ia dianggap sebagai barang paten dari sononya, dan tak boleh dirubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, terhadap rumusan fiqih yang telah ada, para mujtahid masa kini dapat juga melakukan kajian ulang terhadapnya, misalnya dengan memakai metode pemahaman kontekstual.
selanjutnya akan dijelaskan beberapa pemikiran para tokoh Islam yang digolongkan ke
dalam kelompok feminis Muslim terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan
(relasi gender) dalam berbagai bidang kehidupan mereka
1. Qasim Amin
Qasim Amin adalah tokoh feminis Muslim pertama yang dilahirkan di Tarah,Iskandariah (Mesir), Desember 1865. Qasim dapat menyelesaikan pendidikan tingginyadalam waktu yang relatif singkat. Di antara guru yang dikaguminya di Al-Azhar adalahMuhammad Abduh. Pola berpikir kritis banyak diperolehnya dari guru favoritnya itu.Karena kecerdasannya, Qasim Amin kemudian mendapat kesempatan untuk melanjutkanstudi ke Fakultas Hukum Universitas Montpellier di Paris Perancis. Sekembalinya ke Mesir, Qasim Amin bekerja pada Dewan Perwakilan Rakyat dan pada sebuah lembaga hukum. Ia menetap di Kairo hingga wafatnya 22 April 1908. Di antara karya-karyanyayang banyak menggugah semangat perempuan untuk bangkit adalah Tahrir al-Mar’ah (1900) dan al-Mar’ah al-Jadidah (1911). Dua karya inilah yang kemudian banyak memberi inspirasi kepada para feminis Muslim untuk memperjuangkan kebebasan untuk perempuan setelahnya hingga sekarang (Qutub, 1993; Harahap dalam Sukri, 2002: 194-195). Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminis Muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang emansipasi perempuan Muslim melalui karya-karyanya.Qasim Amin memunculkan gagasannya didasari oleh keterbelakangan umat Islam yangmenurutnya disebabkan salah satunya oleh persepsi dan perlakuan yang salah terhadap perempuan (Nasution, 1991: 79).
Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus dikalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ideemansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan bergerak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak (Amin, 2003: 49). Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan perempuan sederajat dengan lakilaki dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika perempuan melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap perempuan memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan, sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas perempuan ketika kebebasannya dirampas (Amin, 2003: 65).
2. Amina Wadud Muhsin
Amina Wadud Muhsin adalah salah satu pemikir feminis kelahiran Malaysia. Dia menamatkan studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Malaysia. Dia menamatkan sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989, dan doktornya dari Harvard University tahun 1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu guru besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia. Salah satu tulisannya yang kemudian penulis jadikan sebagai bahan kajian terhadap pemikiran feminismenya adalah Qur’an and Woman (1992). Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khathib dan imam shalat Jum’at di New York City tanggal 18 Maret 2005. Belum lama ini juga terbit buku Amina yang berjudul Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006).
Dalam bukunya Qur’an and Woman, Amina mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif, dan holistik. Tafsir tradisional, menurut Amina, memberikan interpretasi-interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat hukum, tasauf, gramatik, retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan bersifat atomistik, yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina bahwa tafsir-tafsir tradisional itu ditulis oleh kaum laki-laki secara eksklusif. Itulah sebabnya maka hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja yang direkomendasikan dalam tafsir itu. Sedang perempuan - berikut pengalaman, visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya - ditundukkan pada pandangan laki-laki (Muhsin, 1993: 1-2).
Kategori kedua adalah tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah besar hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari Alquran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap Alquran. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawa adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam, yaitu Alquran (Muhsin, 1993: 3). Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, dan politik, termasuk isu tentang perempuan pada era modern ini.
Menurut Amina, tafsir model ini merupakan metode terbaik. Dalam kategori inilah Amina menempatkan karyanya (Muhsin, 1993: 3)
Tugas dan kewajiban suami istri
Hak-hak wanita juga disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika ada salah satu sahabat yang bertanya “Ya Rosulullah, apa hak istri kami terhadap kami?” Nabi menjawab: “Berikan mereka makanan seperti yang engkau makan, berikan pakaian seperti yang engkau pakai, dan jangan kamu pukul mereka, dan jangan mencaci-maki mereka””. (Sunan Abu-Dawud). 
Didalam hadist tersebut Nabi Muhammad SAW melarang seorang suami menyakiti istrinya dengan cara apapun. Misalkan memukul istri di wajahnya adalah dilarang di dalam Islam. Seorang suami juga dilarang berkata kasar terhadap istri atau kedua orang tua istri. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum lelaki untuk memperlakukan istrinya dengan baik dan sabar. Beliau bersabda ”Kaum mukmin yang paling sempurna keimanannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian ialah yang terbaik kepada istri-istrinya”. (HR. At-Tirmidzi).
            Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan agar setiap suami bersabar terhadap perilaku buruk isterinya. Nabi bersabda “Barang siapa -diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub a.s atas kesabarannya menanggung penderitaan.” (HR. Nasa`i dan Ibnu Majah).
            Jika kondisi pendisiplinan terhadap isteri diperlukan. Maka yang perlu dilakukan seorang suami adalah memberikan nasihat kepada istri, kemudian pisah ranjang (tidak melakukan hubungan seksual dengan isteri). Jika perbuatan isteri sudah kelewatan, boleh memberikan tindakan fisik memukul yang tidak menyakiti istri, tindakan fisik ini untuk menjaga keutuhan rumah tangga, bukan dengan tujuan untuk menyakiti isteri. Jika istri sudah kembali menjalankan aturan Allah SWT dan taat kembali, seorang suami dilarang mencari-cari alasan untuk menyusahkan istri. Hal ini dijelaskan di Al Qur’an surat An-Nisaa ayat 34 sebagaimana tercantum di atas.
            Begitu juga sebaliknya, seorang suami mempunyai hak yang harus diterima dari isterinya. Yaitu seorang isteri harus menaati suaminya dalam segala hal selama sesuai dengan aturan Islam. Seorang isteri harus melaksanakan sesuatu yang disenangi suaminya, dan tidak diperbolehkan menolak ajakan suami tanpa ada alasan yang jelas sesuai dengan aturan Islam. Seorang isteri perlu meminta ijin kepada suami jika akan melaksanakan puasa sunnah. Seperti juga seorang isteri tidak boleh menerima tamu masuk ke dalam rumah tanpa ijin dari suaminya. Seorang isteri juga perlu meminta ijin suaminya untuk keluar rumah dengan alasanya
Daftar Pustaka
·         Shalih, Su’ad. Ibrahim. (2001). “Kedudukan Perempuan dalam Islam”, dalam Mohammad
·         Sukri, Sri Suhandjati (Ed.). (2002). Bias Jender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta:
      Gama Media. Cet. I.
·         Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
      Paramadina. Cet. I



[1]Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah, karena itu tentu saja sifatnya tidak absolut dan tidak pasti (zhanni). Lih. Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 60
[2] Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar