Oleh:
Ika Wahyu Susanti
1111032100039/ PA/B
Kaum
perempuan dari perspektif Kristen. Pertama, tulisan Marianne Katoppo
berjudul Nabiah Miryam Pejuang Perempuan. Kedua, tulisan
Nasikun bertajuk Kedudukan Perempuan dalam Agama dan Masyarakat;
Mengapa sering tidak Seiring. Dan Ketiga, artikel pendeta.
Widdwissoeli M.S tentang Perempuan menurut Alkitab. Marianne Katoppo
menyuguhkan hikayat tokoh Miryam versi AlKitab sebagai tokoh perempuan yang
perkasa dan menjadi model percontohan dalam teologi Kristen.[1]
Dalam
agama Katholik misalnya, kedudukan perempuan sangat ditinggikan. Nasikun
menuliskan, dalam Injil Lukas, Umat Katolik mempunyai sumber keyakinan mengenai
kedudukan yang sangat mulia kaum perempuan di dalam keimanan mereka, terlebih
terhadap Bunda Maria sebagai Bunda Allah. Namun, dia menyimpulkan bahwa baik
secara teoritis maupun empiris, diskriminasi seksual justru terjadi bahkan
hampir dalam semua lapisan masyarakat. Pola diskriminasi ini memiliki akar-akar
ideologisnya yang menempatkan perempuan di pinggiran struktur sosial
masyarakat. Dari sudut pandang lain, pendeta Widdwissoeli menjelaskan bagaimana
pemahaman manusia (perempuan) menurut Alkitab. Seperti disebutkan dalam Kitab
Kejadian pasal 1 dan 2, khususnya kejadian 1:26-27. Dari kejadian 1:26-27 itu
kita memperoleh kesaksian yang jelas, bahwa manusia diciptakan oleh Allah.
Manusia adalah makhluk dan Allah adalah penciptanya. Manusia diciptakan berbeda
dari makhluk-makhluk lainnya, karena manusia diciptakan menurut gambaran Allah.
Manusia yang diciptakan, tulisnya, adalah laki-laki dan perempuan.
Pendeta
Widdwissoeli menambahkan, sebagaimana dalam AlKitab, bagaimana perempuan
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kaum perempuan juga diberi tugas yang
sama dengan kaum laki, yaitu berkuasa atas bumi. Ia sekaligus juga menjadi
wakil Allah di dunia ini. Jadi, tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki
mengenai hakekat peran dan fungsinya. Tujuan hidup antara keduanya juga sama,
yaitu menjadi gambar dan rupa Allah. Kaum perempuan juga harus mengkongkritkan
harapan Allah itu dalam hidupnya. Setiap perbuatan perempuan juga harus
menyerupai perbuatan Allah. Dengan demikian, pendeta Widdwissoeli menuliskan,
perempuan juga bertanggung jawab atas bumi ini dengan segala isinya. Kaum
perempuan juga berhak berubah menjadi manusia baru yang secara terus menerus
diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar sang
Penciptanya (Kolose 3:10).
Dalam Perjanjian Lama (Kel 28:1; Bil 18:1-7) terdapat kecenderungan membatasi status iman untuk kaum laki - laki. Tetapi, dalam peranan kenabiannya, seorang yang berbicara atas nama Allah,
tidak pernah dibatasi untuk kaum laki-laki. Dalam
peranan kenabian perempuan mendapatkan tempat yang sama penting. Miryam adalah nabiah
pertama bangsa Israel (Kel 15:20).
Peran perempuan
dalam Perjanjian Lama adalah perempuan yang percaya diri, penuh akal, berani,
dan bisa menjadi sangat militan. Perempuan diangkat oleh Tuhan untuk memainkan peranan
khas, dan sering kali saling melengkapi dengan peranan laki-laki. Kekhasan
perempuan membuat proyek sejarah keselamatan bangsa Israel dan sejarah
keselamatan Allah menjadi lengkap dan penuh.
Pada awal abad 20, perempuan
menempati wilayah yang penting dalam tradisi gereja modern. Perempuan
Katholik telah bergabung dengan berbagai organisasi dan institusi keagamaan
dalam jumlah besar. Pengaruh perempuan cukup kuat terutama dalam bidang pendidikan
anak, sekolah tinggi bagi para wanita, keperawatan dan ilmu kesehatan,
pengurusan terhadap anak-anak yatim, dan kepedulian terhadap pengidap penyakit
tertentu (seperti HIV/ AIDS dsb).
Pada
Konsili Vatikan II pada tahun 1960, struktur organisasi keagamaan Katholik
dibebaskan, terutama bagi para perempuan. Sehingga di akhir pertengahan abad 20,
perempuan dapat memiliki posisi yang kuat di mata Gereja karena mereka
bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tertentu di bawah naungan gereja.
Sumber:
Wahid
Abdurrahman. dkk. Wanita dalam Percakapan Antar Agama: Aktualisasinya dalam
Pembangunan. DI Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1992
[1]
Abdurrahman Wahid dkk, Wanita dalam Percakapan Antar Agama: Aktualisasinya
dalam Pembangunan, (DI Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1992), h. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar