Oleh:
Ika
Wahyu Susanti
1111032100039 /PA/B
Membahas mengenai gerakan Islam
dan Kesetaran Gender di Kalangan Masyarakat Muslim Indonesia, dapat
diklasifikasikan dalam lima periode sejarah di Indonesia yaitu:
I.
Pada masa Kolonial
Belanda
Organisasi
pertama perempuan adalah Gerakan Poetri Mardika pada tahun 1912 di Jakarta atas
bantuan Budi Utomo. Tujuan dari gerakan ini adalah memberi bantuan, bimbingan,
dan penjelasan kepada gadis pribumi dala menuntut pelajaran. Melalui gerakan
perempuan diharapkan berani muncul dimuka umum, mehilangkan rasa rendah diri
dan meningkatkan derajatnya. Walaupun gerakan ini tidak berumur panjang namun
pengaruhnya cukup besar pada kaum perempuan pribmi yang berpendidikan.[1]
Kemudian
muncul berbagai gerakan perempuan di berbagai daerah antara lain: Pawiyatan
Wanito di Magelang (1915); Wanito Hadi di Jepara (1915); dll. Pada umumnya
gerakan-gerakan ini muncul dengan tujuan untuk mempererat persaudaraan untuk
bersama-bersama mengusahakan kemajuan perempuan, meningkatkan kepandaian,
mencari kesempatan lebih banyak untuk gadis pribumi dalam memperoleh
pendidikan, memperoleh kesejahteraan perempuan dan keadilan dalam masyarakat.
Di
Minahasa berdiri organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada
tanggal 8 Juli 1917 pelopornya yaitu Maria Walanda Maramis (1872-1924).
Perhatian organisasi ini adalah pada bidang pendidikan dengan mendirikan
Sekolah Rumah Tangga PIKAT, sekolah ini menampung gadis-gadis yang baru
menyelesaikan studinya di sekolah desa. Sekolah ini terus berkembang tanpa
mendapatkan hambatan dari pemerintah Hindia-Belanda.
Pada
tahun1928 diadakan Kongres Perempuan I dan oranisasi-organisasi perempuan
Indonesia ikut berperan aktif seperti, Aisyiyah, Muhammadiyah, dll. Dengan
berkembangnya pendidikan untuk perempuan semakin bnyak perempuan yang mampu
berorganisasi. Organisasi-pun banyak memberi kesempatan kepada perempuan untuk
bergabung menjadi anggotanya. Organisasi yang muncul tahun 1920-an antara lain,
Jong Java Meisjeskring; Taman Siswa (1922); Putri Indonesia (1927).[2]
II.
Pada masa penjajahan
Jepang
Pada
tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang semua kebijakan berubah: semua
organisasi perempuan Indonesia dilarang, kecuali organisasi perempuan Fujinkai
milik Jepang. Kegiatan Fujinkai seperti pemberantasan buta huruf dan berbagai
pekerjaan sosial. Didalam gerakan Fujinkai terdapat gerakan Barisan Putri,
gerakan ini menggembleng perempuan dalam latihan militer, keterampilan memasak,
menyanyi, dan mengajarkan deklarasi untuk siaran radio. Di barisan lan juga
terdapat gerakan Srikandi, yang mempersiapkan wanita-wanita yang disiapkan
untuk menjadi pasuka tempur. Mereka yang aktif di dalam adalah para isteri
pegawai negeri sipil. Sementara itu, gerakan nasional, termasuk beberapa
organisasi perempuan antara lain Gerakan Wanita Sosialis (GWS) sebagian
bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis, termasuk yang perempuan
ditangkap dan dibunuh.[3]
III.
Pada masa Orde Lama dan
Orde Baru
Pada Desember
tahun 1945 di Klaten kaum perempuan pun menyelenggarakan Kongres Perempuan
Nasional dan kongres berikutnya di Solo tahun 1946. Kongres Wanita Indonesia
dibentuk sebagai suatu federasi dari semua organisasi perempuan yang menyokong
kemerdekaan bangsa Indonesia. Dapur umum dibentuk oleh berbagai organisasi
perempuan dan kaum perempuan memainkan peranan penting dalam membangun jalur
komunikasi antara berbagai satuan gerilya. Banyak perempuan yang bahkan
memanggul senjata. Sementara itu, kaum perempuan menyuarakan tuntutan mereka:
upah yang sama dan hak yang sama atas kerja, perbaikan hukum perkawinan,
pendidikan untuk kaum perempuan, dan lain-lain.[4]
Sejak akhir dasawarsa
1950-an, dua organisasi perempuan kiri mulai memperoleh kedudukan penting:
Secara genealogis, Gerwani berasal dari Gerakan Wanita Isteri Sedar (Gerwis)
yang didirikan tahun 1950 dengan anggota hanya 500 orang perempuan. Para
anggota ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Dari
segi ideologi, organisasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi Isteri
Sedar. Kaum perempuan dalam Gerwis umumnya dari generasi yang lebih muda,
tetapi mereka punya hubungan dengan perempuan yang bergabung dalam Isteri
Sedar.[5]
Pada
tahun 1961, organisasi Gerwani mendirikan warung-warung koperasi dan koperasi
simpan-pinjam kecil - kecilan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa
mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman
kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar, perkebunan-perkebunan,
kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah
ini. Dibuka pula badan - badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum
perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada
berbagai tingkat organisasi dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku
tulisan Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Soekarno. Pada
kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis misalnya tata buku dan
manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia.[6]
Hubungan
Gerwani dengan golongan perempuan Islam lainnya agak mengalami kerenggangan.
Demikian halnya, hubungan dengan organisasi perempuan nasionalis yang terbesar,
Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Persoalan dengan Perwari ini
agaknya bisa dibagi menjadi dua masalah pokok. Pertama, ada perbedaan
yang sangat besar dalam hal keanggotaan. Sebagian besar anggota Perwari berasal
dari kalangan borjuasi, terutama isteri-isteri intelektual dan birokrat yang merupakan
inti pengikut Presiden Soekarno. Banyak intelektual perempuan yang menjadi
anggota tetapi pada umumnya organisasi ini agak bersuasana borjuasi-tradisional
Barat. Sedang anggota Gerwani lebih banyak berasal dari perempuan miskin dari
lapisan menengah bawah dan kelas buruh, walaupun seperti sudah disebutkan di
atas melalui Api Kartini mereka berusaha menarik lebih banyak kaum
perempuan borjuis.
Kedua,
Perwari, khususnya pada diri ketuanya, Sujatin Kartowijono, mengambil
sikap keras mengenai masalah
poligini (poligami), juga pada saat perkawinan Presiden
Soekarno yang kedua tahun 1954.
Gerwani sebegitu jauh tidak terlalu keras menentang Presiden Soekarno. Untuk
keberaniannya itu Perwari harus membayar mahal; banyak fasilitas yang dulu
diperolehnya menjadi hilang.
Pada
tahun 1958, anggota-anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih erat antara
berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI dengan maksud agar KWI menjadi lebih
peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin.
Pada kongresnya tahun 1961, wewenang eksekutif sekretariat diperluas dan diputuskan
bahwa KWI adalah alat revolusi sesuai dengan semboyan pada masa itu. Maka
kegiatan-kegiatan demi kaum perempuan miskin lebih banyak diselenggarakan.
IV.
Masa Orde Baru
Dalam
proses pembentukan pemerintah Orde Baru Soeharto, Kowani dan semua organisasi
perempuan yang lain harus “menyesuaikan diri.” Secara berangsur-angsur, hampir
semua program sosial dan ekonomi mereka yang mengabdi kepentingan perempuan
miskin dan perempuan desa harus dihapuskan.
Peran
dan gerakan organisasi-organisasi Islam, sedikit demi sedikit, namun secara
pasti, memperoleh tekanan politik dari pemerintah. Mereka boleh
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan pengajian, dan boleh menjalankan kegiatan
amal untuk perempuan miskin. Tetapi mereka tidak boleh mengungkapkan hal-hal
yang tidak adil yang terjadi di masa pemerintah Orde Baru.
Pemerintah
kemudian menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru dengan
mengelompokkan berbagai organisasi perempuan, misalnya: Dharma Wanita (bagi
isteri pegawai negeri sipil) dan Dharma Pertiwi (bagi isteri yang suaminya
bekerja
di salah satu cabang angkatan
bersenjata). Satu organisasi lagi adalah untuk program kesejahteraan keluarga,
yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).
Kegiatan
PKK diperluas sehingga mencakup semua program pemerintah yang ditetapkan untuk
kaum perempuan. Tanggung-jawab mengenai program-program PKK ada di tangan
Menteri Dalam Negeri. Isteri Menteri Dalam Negeri secara resmi menjadi Ketua
PKK, sedang suaminya menjadi “penasehat.” Program ini dikoordinasikan melalui,
Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita.
Gerakan
perempuan Indonesia paska lahirnya Orde Baru dan kudeta 1965, pelan tapi pasti
mengalami tekanan politik yang luar biasa dari rezim Soeharto. Kondisi demikian
menurut Saskia berbanding terbalik dengan negara-negara dunia ketiga yang lain,
seperti India, Karibia, Meksiko, dan Peru, dimana gerakan perempuan begitu
mencolok kegiatannya. Di rentang waktu kehadiran rezim Soeharto menjadi titik
balik, dimana kritisisme dan gerakan kiri diberangus kehadirannya. Jangan
coba-coba menampilkan keluh kesah akibat situasi sosial ekonomi yang sulit,
karena niscaya akan dicap sebagai berpolitik. Berpolitik di era ini, bagi rezim
sama saja dengan menyuguhkan nuansa kiri, dimana kehadiran kiri menjadi area
terlarang bagi Orde Baru.
V.
Pada masa Reformasi –
Sekarang
Kiprah
perempuan di era reformasi mulai berubah kearah yang positif hal ini ditandai
dengan hadirnya UU No. 12 tahun 2003 tentang partai politik, dalam pasal 65
ayat (1), partai politik dianjurkan untuk mencalonkan 30 % kaum perempuan untuk
duduk di kursi legislatif ( DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II) sebagai manifestasi
peran perempuan dalam politik praktis. Perempuan memiliki kemampuan yang sama
karena itu semangat penghapusan dikotomi gender dalam pemerintahan KH.
Abdurahman Wahid melalui Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah sebuah good will
politik yang mengahapus perbedaan gender dalam pembangunan nasional adalah
langkah maju yang positif.
Hal ini
merupakan bagian dari pengakuan bahwa tidak sedikit perempuan yang mengukir
prestasi dan memberi sumbangsih pada harumnya nama bangsa dan Negara atas
kreasi kaum perempuan dalam bidang–bidang tertentu.
Perlu diingat
bahwa peran kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada sejak
lama, termasuk dalam masa-masa kolonialisme maupun kemerdekaan. Pada
era-Globalisasi, telah memberi peluang yang lebih baik terhadap kaum perempuan
untuk berperan secara wajar dan sejajar dengan kaum pria, baik dalam konteks
isu hak asasi manusia, demokratisasi maupun kesamaan gender.
Saat
ini banyak perundang-undangan maupun peraturan lain yang mendorong
kaum perempuan agar dapat
berkiprah secara lebih luas dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam
konteks kehidupan politik. Perlu disadari bahwa peran kaum perempuan dalam
berbagai bidang termasuk dalam konteks politik, seharusnya tetap memperhatikan
peran dan fungsi perempuan sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri.[7]
Daftar
Bacaan
v Poesponegoro
Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V,
Jakarta: Balai Pustaka. 2008. cet: 2
v Sondakh
Angelina, Perempuan Dan Politik. http://www.angelinasondakh.com/nsroom/artikel/perempuan-politik.pdf, diunduh hari, Sabtu 2
November 2013, pukul 22.00
Wieringa Saskia. Pasang
Surut Gerakan Perempuan Indonesia.
Pusat Komunikasi dan Informasi Perempu
[1] Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), cet: 2, h. 412
[2] Sejarah Nasional
Indonesia, h. 415
[3] Saskia Wieringa, Pasang
Surut Gerakan Perempuan Indonesia, (Pusat Komunikasi dan Informasi
Perempuan Kalyanamitra, 2008), h. 29
[4] Ibid
[5] Saskia Wieringa, Pasang
Surut Gerakan Perempuan Indonesia,h. 30
[6] Ibid
[7] Angelina Sondakh,
Perempuan Dan Politik, http://www.angelinasondakh.com/nsroom/artikel/perempuan-politik.pdf, diunduh hari, Sabtu 2
November 2013, pukul 22.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar