Selasa, 26 November 2013

Islam dan Kesetaran Gender di Kalangan Masyarakat Muslim Indonesia

Oleh:
Ika Wahyu Susanti 
1111032100039/PA/B

Membahas mengenai gerakan Islam dan Kesetaran Gender di Kalangan Masyarakat Muslim Indonesia, dapat diklasifikasikan dalam lima periode sejarah di Indonesia yaitu:
        I.            Pada masa Kolonial Belanda
Organisasi pertama perempuan adalah Gerakan Poetri Mardika pada tahun 1912 di Jakarta atas bantuan Budi Utomo. Tujuan dari gerakan ini adalah memberi bantuan, bimbingan, dan penjelasan kepada gadis pribumi dala menuntut pelajaran. Melalui gerakan perempuan diharapkan berani muncul dimuka umum, mehilangkan rasa rendah diri dan meningkatkan derajatnya. Walaupun gerakan ini tidak berumur panjang namun pengaruhnya cukup besar pada kaum perempuan pribmi yang berpendidikan.[1]
Kemudian muncul berbagai gerakan perempuan di berbagai daerah antara lain: Pawiyatan Wanito di Magelang (1915); Wanito Hadi di Jepara (1915); dll. Pada umumnya gerakan-gerakan ini muncul dengan tujuan untuk mempererat persaudaraan untuk bersama-bersama mengusahakan kemajuan perempuan, meningkatkan kepandaian, mencari kesempatan lebih banyak untuk gadis pribumi dalam memperoleh pendidikan, memperoleh kesejahteraan perempuan dan keadilan dalam masyarakat.
Di Minahasa berdiri organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada tanggal 8 Juli 1917 pelopornya yaitu Maria Walanda Maramis (1872-1924). Perhatian organisasi ini adalah pada bidang pendidikan dengan mendirikan Sekolah Rumah Tangga PIKAT, sekolah ini menampung gadis-gadis yang baru menyelesaikan studinya di sekolah desa. Sekolah ini terus berkembang tanpa mendapatkan hambatan dari pemerintah Hindia-Belanda.

Pada tahun1928 diadakan Kongres Perempuan I dan oranisasi-organisasi perempuan Indonesia ikut berperan aktif seperti, Aisyiyah, Muhammadiyah, dll. Dengan berkembangnya pendidikan untuk perempuan semakin bnyak perempuan yang mampu berorganisasi. Organisasi-pun banyak memberi kesempatan kepada perempuan untuk bergabung menjadi anggotanya. Organisasi yang muncul tahun 1920-an antara lain, Jong Java Meisjeskring; Taman Siswa (1922); Putri Indonesia (1927).[2]
      II.            Pada masa penjajahan Jepang
Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang semua kebijakan berubah: semua organisasi perempuan Indonesia dilarang, kecuali organisasi perempuan Fujinkai milik Jepang. Kegiatan Fujinkai seperti pemberantasan buta huruf dan berbagai pekerjaan sosial. Didalam gerakan Fujinkai terdapat gerakan Barisan Putri, gerakan ini menggembleng perempuan dalam latihan militer, keterampilan memasak, menyanyi, dan mengajarkan deklarasi untuk siaran radio. Di barisan lan juga terdapat gerakan Srikandi, yang mempersiapkan wanita-wanita yang disiapkan untuk menjadi pasuka tempur. Mereka yang aktif di dalam adalah para isteri pegawai negeri sipil. Sementara itu, gerakan nasional, termasuk beberapa organisasi perempuan antara lain Gerakan Wanita Sosialis (GWS) sebagian bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis, termasuk yang perempuan ditangkap dan dibunuh.[3]
   III.            Pada masa Orde Lama dan Orde Baru
Pada Desember tahun 1945 di Klaten kaum perempuan pun menyelenggarakan Kongres Perempuan Nasional dan kongres berikutnya di Solo tahun 1946. Kongres Wanita Indonesia dibentuk sebagai suatu federasi dari semua organisasi perempuan yang menyokong kemerdekaan bangsa Indonesia. Dapur umum dibentuk oleh berbagai organisasi perempuan dan kaum perempuan memainkan peranan penting dalam membangun jalur komunikasi antara berbagai satuan gerilya. Banyak perempuan yang bahkan memanggul senjata. Sementara itu, kaum perempuan menyuarakan tuntutan mereka: upah yang sama dan hak yang sama atas kerja, perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk kaum perempuan, dan lain-lain.[4]
Sejak akhir dasawarsa 1950-an, dua organisasi perempuan kiri mulai memperoleh kedudukan penting: Secara genealogis, Gerwani berasal dari Gerakan Wanita Isteri Sedar (Gerwis) yang didirikan tahun 1950 dengan anggota hanya 500 orang perempuan. Para anggota ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Dari segi ideologi, organisasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi Isteri Sedar. Kaum perempuan dalam Gerwis umumnya dari generasi yang lebih muda, tetapi mereka punya hubungan dengan perempuan yang bergabung dalam Isteri Sedar.[5]
Pada tahun 1961, organisasi Gerwani mendirikan warung-warung koperasi dan koperasi simpan-pinjam kecil - kecilan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar, perkebunan-perkebunan, kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah ini. Dibuka pula badan - badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada berbagai tingkat organisasi dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tulisan Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Soekarno. Pada kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia.[6]
Hubungan Gerwani dengan golongan perempuan Islam lainnya agak mengalami kerenggangan. Demikian halnya, hubungan dengan organisasi perempuan nasionalis yang terbesar, Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Persoalan dengan Perwari ini agaknya bisa dibagi menjadi dua masalah pokok. Pertama, ada perbedaan yang sangat besar dalam hal keanggotaan. Sebagian besar anggota Perwari berasal dari kalangan borjuasi, terutama isteri-isteri intelektual dan birokrat yang merupakan inti pengikut Presiden Soekarno. Banyak intelektual perempuan yang menjadi anggota tetapi pada umumnya organisasi ini agak bersuasana borjuasi-tradisional Barat. Sedang anggota Gerwani lebih banyak berasal dari perempuan miskin dari lapisan menengah bawah dan kelas buruh, walaupun seperti sudah disebutkan di atas melalui Api Kartini mereka berusaha menarik lebih banyak kaum perempuan borjuis.
Kedua, Perwari, khususnya pada diri ketuanya, Sujatin Kartowijono, mengambil
sikap keras mengenai masalah poligini (poligami), juga pada saat perkawinan Presiden
Soekarno yang kedua tahun 1954. Gerwani sebegitu jauh tidak terlalu keras menentang Presiden Soekarno. Untuk keberaniannya itu Perwari harus membayar mahal; banyak fasilitas yang dulu diperolehnya menjadi hilang.
Pada tahun 1958, anggota-anggota Gerwani mendorong kerjasama yang lebih erat antara berbagai golongan kiri yang ada dalam KWI dengan maksud agar KWI menjadi lebih peka dan aktif dalam masalah-masalah yang relevan bagi kaum perempuan miskin. Pada kongresnya tahun 1961, wewenang eksekutif sekretariat diperluas dan diputuskan bahwa KWI adalah alat revolusi sesuai dengan semboyan pada masa itu. Maka kegiatan-kegiatan demi kaum perempuan miskin lebih banyak diselenggarakan.
   IV.            Masa Orde Baru
Dalam proses pembentukan pemerintah Orde Baru Soeharto, Kowani dan semua organisasi perempuan yang lain harus “menyesuaikan diri.” Secara berangsur-angsur, hampir semua program sosial dan ekonomi mereka yang mengabdi kepentingan perempuan miskin dan perempuan desa harus dihapuskan.
Peran dan gerakan organisasi-organisasi Islam, sedikit demi sedikit, namun secara pasti, memperoleh tekanan politik dari pemerintah. Mereka boleh menyelenggarakan pertemuan-pertemuan pengajian, dan boleh menjalankan kegiatan amal untuk perempuan miskin. Tetapi mereka tidak boleh mengungkapkan hal-hal yang tidak adil yang terjadi di masa pemerintah Orde Baru.
Pemerintah kemudian menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru dengan mengelompokkan berbagai organisasi perempuan, misalnya: Dharma Wanita (bagi isteri pegawai negeri sipil) dan Dharma Pertiwi (bagi isteri yang suaminya bekerja
di salah satu cabang angkatan bersenjata). Satu organisasi lagi adalah untuk program kesejahteraan keluarga, yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).
Kegiatan PKK diperluas sehingga mencakup semua program pemerintah yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Tanggung-jawab mengenai program-program PKK ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Isteri Menteri Dalam Negeri secara resmi menjadi Ketua PKK, sedang suaminya menjadi “penasehat.” Program ini dikoordinasikan melalui, Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita.
Gerakan perempuan Indonesia paska lahirnya Orde Baru dan kudeta 1965, pelan tapi pasti mengalami tekanan politik yang luar biasa dari rezim Soeharto. Kondisi demikian menurut Saskia berbanding terbalik dengan negara-negara dunia ketiga yang lain, seperti India, Karibia, Meksiko, dan Peru, dimana gerakan perempuan begitu mencolok kegiatannya. Di rentang waktu kehadiran rezim Soeharto menjadi titik balik, dimana kritisisme dan gerakan kiri diberangus kehadirannya. Jangan coba-coba menampilkan keluh kesah akibat situasi sosial ekonomi yang sulit, karena niscaya akan dicap sebagai berpolitik. Berpolitik di era ini, bagi rezim sama saja dengan menyuguhkan nuansa kiri, dimana kehadiran kiri menjadi area terlarang bagi Orde Baru.
      V.            Pada masa Reformasi – Sekarang
Kiprah perempuan di era reformasi mulai berubah kearah yang positif hal ini ditandai dengan hadirnya UU No. 12 tahun 2003 tentang partai politik, dalam pasal 65 ayat (1), partai politik dianjurkan untuk mencalonkan 30 % kaum perempuan untuk duduk di kursi legislatif ( DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II) sebagai manifestasi peran perempuan dalam politik praktis. Perempuan memiliki kemampuan yang sama karena itu semangat penghapusan dikotomi gender dalam pemerintahan KH. Abdurahman Wahid melalui Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah sebuah good will politik yang mengahapus perbedaan gender dalam pembangunan nasional adalah langkah maju yang positif.
Hal ini merupakan bagian dari pengakuan bahwa tidak sedikit perempuan yang mengukir prestasi dan memberi sumbangsih pada harumnya nama bangsa dan Negara atas kreasi kaum perempuan dalam bidang–bidang tertentu.
Perlu diingat bahwa peran kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada sejak lama, termasuk dalam masa-masa kolonialisme maupun kemerdekaan. Pada era-Globalisasi, telah memberi peluang yang lebih baik terhadap kaum perempuan untuk berperan secara wajar dan sejajar dengan kaum pria, baik dalam konteks isu hak asasi manusia, demokratisasi maupun kesamaan gender.
Saat ini banyak perundang-undangan maupun peraturan lain yang mendorong
kaum perempuan agar dapat berkiprah secara lebih luas dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam konteks kehidupan politik. Perlu disadari bahwa peran kaum perempuan dalam berbagai bidang termasuk dalam konteks politik, seharusnya tetap memperhatikan peran dan fungsi perempuan sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri.[7]
Daftar Bacaan

v  Poesponegoro Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka. 2008. cet: 2
v  Sondakh Angelina, Perempuan Dan Politik. http://www.angelinasondakh.com/nsroom/artikel/perempuan-politik.pdf, diunduh hari, Sabtu 2 November 2013, pukul 22.00
Wieringa Saskia. Pasang Surut Gerakan Perempuan Indonesia.  Pusat Komunikasi dan Informasi Perempu


[1] Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), cet: 2, h. 412
[2] Sejarah Nasional Indonesia, h. 415
[3] Saskia Wieringa, Pasang Surut Gerakan Perempuan Indonesia, (Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan Kalyanamitra, 2008), h. 29
[4] Ibid
[5] Saskia Wieringa, Pasang Surut Gerakan Perempuan Indonesia,h. 30
[6] Ibid
[7] Angelina Sondakh, Perempuan Dan Politik, http://www.angelinasondakh.com/nsroom/artikel/perempuan-politik.pdf, diunduh hari, Sabtu 2 November 2013, pukul 22.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar