PEREMPUAN,
AGAMA, DAN TRANSFORMASI SOSIAL
DALAM
AGAMA KRISTEN
(Revisi)
Dosen Pembimbing: Hj. Siti Nadroh, MA
Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Relasi
Gender dalam Agama-Agama
Oleh:
Lailatul Fawaidah
(1111032100053)
Ati Puspita
(1111032100055)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
PENDAHULUAN
Transformasi sosial merupakan proses pembenahan
kehidupan manusia secara mendasar dalam skala mikro maupun makro. Dalam skala
mikro pembenahan ditekankan pada aspek keimanan dan pola pikir individu. Sebagai langkah awal dari
proses transformasi sosial yang bersifat gradual dan hirarkhis. Sedangkan
praktik-praktik sosial yang menimbulkan ketimpangan, ketidakadilan, ketertindasan
serta keterasingan dalam berbagai bentuknya merupakan agenda utama dari
perubahan yang berskala makro. Pemaknaan terhadap transformasi secara hakiki
mengacu pada keniscayaan meninggalkan suatu kondisi masyarakat yang dzalim
menuju kondisi lain yang lebih baik dan harus ada referensi transendental yang
bisa dijadikan acuan ke mana perubahan itu harus diarahkan. Pembenahan yang
dilakukan tidak boleh lepas dari Kitab Suci karena pada dasarnya sejarah
manusia merupakan proses dialektis antara ide (doktrin-doktrin agama) dengan
realitas manusia yang berupaya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu untuk
mendekati kebenaran mutlak. Oleh karena itu perubahan dan pembenahan tidak
boleh berhenti pada satu titik, harus terus mengalir, dinamis sesuai dengan
sifat masyarakat yang selalu bergerak maju dengan segala perubahan-perubahan
tatanan nilai yang menyertainya. [1]
Terkait pembahasan
kali ini, disebutkan bahwa salah satu doktrin agama adalah mewujudkan kehidupan
yang harmonis, contohnya seluruh pribadi suami-istrilah yang
beruntung dari pemberian diri seluruh hidup dalam perkawinan untuk membangun
suatu proyek yang dikehendaki secara Ilahi, berkeluarga. Pasangan suami-istri dalam
perkawinan terlibat dalam arus saling memberikan dan menerima diri terus
menerus dan segala yang mereka miliki tidak hanya untuk memperkaya diri sendiri
sebagai pribadi-pribadi
individual, tetapi mengambil yang terbaik dari mereka dalam rangka usaha
menyenangkan dan memuaskan pasangan. Menyinggung segi lain dari pemenuhan diri,
Konsili Vatikan II menyatakan sebagai berikut:
“Karena
kesamaan martabat pribadi antara suami dan istri, yang harus tampil dalam kasih
sayang timbal balik dan penuh-purna, jelas sekali tampak kesatuan perkawinan
yang dikukuhkan oleh Tuhan. ”
Disini bukanlah
tempatnya untuk mendiskusikan persoalan martabat wanita dan kesamaannya dengan
pria, suatu isu yang sekarang ini dibicarakan dimana-dimana namun juga menjadi
isu kontroversial. Bagaimanapun juga, persoalan ini, erat sekali berhubungan
dengan posisi yang secara esensial sama antara suami istri dalam keluarga. Menurut
Konsili Vatikan II, martabat pribadi yang sama antara suami istri dalam
keluarga harus dipertahankan, karena memungkinkan terciptanya kesatuan yang
sempurna dalam keluarga. Sebaliknya, orang dapat mengatakan bahwa suatu
persekutuan yang diwujudkan dalam keluarga, tidak pernah akan memperoleh
tingkatnya yang sedemikian tinggi tanpa pihak yang sungguh sungguh sama dalam
martabat dan tanggung jawabnya. Sebenarnya, itulah dinyatakan oleh Paus Yohanes
Paulus II, dalam Familiaris Consortio: “Terutama perlulah digarisbawahi
bahwa martabat serta tanggung jawab wania dan pria itu sama saja. Kesamaan itu
secara istimewa diwujudkan dalam penyerahan diri timbal balik antara mereka
sendiri, dalam penyerahan diri mereka berdua kepada anak anak, yang khas
terjadi perkawinan dan keluarga. ”[2]
B.
KRITIK FEMINIS TEOLOGI LIBERAL TERHADAP DOKTRIN-DOKTRIN
KRISTEN
Feminisme
sebagai kegiatan politik akar rumput -yang- tidak hilang. Kaum perempuan tetap
aktif hingga sekarang dalam kampanye-kampanye dengan isu tunggal seputar, misalnya
pornografi, hak reproduksi, kekerasan terhadap perempuan, dan hak-hak legal
perempuan. [3]
Solusi
tentang masalah gender bukan berargumen untuk mendukung pembongkaran
“kondisi-kondisi yang membentuk. . . perbedaan”, tetapi mendukung perluasan
ranah “maskulin” untuk mencakup perempuan. Oleh karena itu, perempuan harus
diakui untuk ranah nalar, dan dengan tanggung jawab sosial dan sipilnya, lewat
pendidikan: “untuk menjadikan perempuan sebagai anggota masyarakat yang benar-benar
berguna, menurut saya, mereka harus dibimbing, dengan menjadikan pemahaman
mereka diperkuat pada skala yang besar, untuk mendapatkan kasih sayang yang
rasional bagi negara mereka, yang didirikan berdasarkan pengetahuan”. [4]
Kaum
feminis pada umumnya menerima kesimpulan bahwa dominasi pria secara sangat
mendalam tertanam dalam kebudayaan kita. Tetapi mereka bergerak lebih jauh lagi.
Bukan hanya bahwa superioritas maskulin menemukan ekspresinya dalam
aturan-aturan hukum, ataupun bahwa laki-laki dan prempuan mempunya status yang
terpisah dan tidak sederajat dalam jabatan, rekreasi, dan kehidupan publik. Semua
ini dimaksudkan untuk mempertahankan ketidaksederajatan seksual sebagai suatu
masalah hak-hak sipil. Yang ingin dinyatakan sebagai masalah adalah bahwa “persoalan
patriaki bersifat konseptual. . . . . Patriarki telah secara keliru
mengonseptualisasikan dan memitoskan ‘kedudukan pria’ di dalam alam semesta
dengan demikian –melalui ilusi penguasaan yang dilegitimasikan- membahayakan
seluruh planet. ” Yang sangat istimewa untuk penelitian yang telah ada ini
adalah bahwa banyak konsep Kristen telah memainkan peranan utama dalam proses
legitimasi itu. Kitab Suci dan tradisi digunakan untuk menyediakan
konsep-konsep guna membenarkan supremasi pria. [5]
Pokok masalah yang serupa dapat dibuat dengan memandang
hubungan antara pria dan perempuan. Meskipun banyak bagian dalam Kitab Suci
menyatakan atau mengimplikasikan superioritas laki-laki atas perempuan, bagian-bagian
lainnya mengimplikasikan kesederajatan. Mengenai hal yang terakhir ini, banyak
yang berpendapat, secara teologis lebih fundamental. Bagian-bagian yang sering
dikutip yang mencemarkan perempuan mencakup penciptaan Hawa dari rusuk Adam (Kejadian
2: 21-23) dan ukuran-ukuran yang tidak sama bagi laki-laki dan perempuan dalam
Hukum Kekudusan dalam Kitab Imamat, yang menetapkan bahwa ketika seorang anak
laki-laki dilahirkan, sang ibu najis selama tujuh hari, tetapi setelah
kelahiran seorang anak perempuan lahir, ia najis selama empat belas hari (Imamat
12). Perjanjian Baru pun mengandung bagian-bagian yang menyatakan supremasi
laki-laki. Pria dan perempuan diperlakukan secara hirarkis dalam Surat Kolose;
meskipun suami-suami diperintahkan untuk mengasihi istri-istri mereka, para
istri diperintahkan untuk menaati suami-suami mereka (Ko. 3: 18-19) . Sementara
itu, meskipun ada bagian-bagian yang bersifat patriarkal, sebagian besar orang
telah percaya bahwa kesederajatan pria dan perempuan merupakan suatu prinsip
Kristen. [6]
Feminis
Kristen: Posisi Intelektual[7]
Kaum
perempuan di asia, khususnya dari India, Pakistan, Nepal dan Bangladesh telah
mendefinisikan feminism sebagai “suatu kesadaran mengenai penindasan dan
pemanfaatan kaum perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dalam keluarga
dan tindakan sadar oleh kaum perempuan dan laki-laki untuk mengubah situasi
ini”. Sementara seorang feminis Kristen, ahli Perjanjian Baru AS, Elisabeth
Schusster Fioenza, mendefinikan feminism sebagai: “sebuah pemikiran yang
radikal bahwa kaum perempuan adalah manusia, bukan pembantu dan bukan objek
seks. Feminisme adalah suatu afirmasi bahwa perempuan adalah manusia, kaum
perempuan sebagai manusia mempunyai kekuatan. Kaum perempuan adalah umat Allah”.
[8]
Annathaie
Abayasekera, teolog feminis (Kristen) Srilangka, yang menghidupi teologinya
mengenai kasih dan solidaritas di anatra pekerja-pekerja perkebunan di Tamil, menggambarkan
dirinya sendiri sebagai seorang feminis demikian: [9]
“Seorang
perempuan merupakan pelopor untuk terlibat dalam gerakan untuk keutuhan semua
umat Allah; seorang perempuan yang meskipun ia tidak mengerti dirinya sendiri, kemudian
sebagai seorang feminis menanggung beban untuk menjadi berbeda karena
keberanian yang tidak diketahuinya untuk mempertanyakan model-model sosial yang
ditugaskan kepadanya. Ia adalah seseorang yang telah mengalami apa itu artinya
dilahirkan sebagai perempuan di Asia, sebagai pribadi kelas dua. Seorang
perempuan yang tidak dapat mendefinikan penindasan, tetapi telah merasakan itu
dalam keberadaanya dan telah mengetahui bahwa adalah tidak adil jika manusia
diperlakukan secara berbeda menurut norma-norma sosial. ”
Pada
akhirnya, seperti yang diungkapkan Katharine Doob Sakenfeld feminisme dapat
dipandang sebagai gerakan kenabian kontemporer yang menentang budaya
kontemporer yang patriakhal. Gerakan kenabian ini menuntut perubahan radikal. Kaum
feminis melihat apa yang mereka lakukan tidak berbeda dengan yang dilakukan
oleh para Nabi Perjanjian Lama (selanjutnya PL). Para nabi PL kadang-kadang
menyoroti tradisi Israel Kuno yang terlupakan. Para nabi menyadari bahwa
penafsiran ulang terhadap tradisi yang telah dibongkokkan atau disalahpahami
perlu dilakukan. Bahkan, tradisi yang telah lama dihargai sering kali harus
para nabi tolak karena dianggap sebagai tradisi yang salah dipahami kehendak Allah.
Sama seperti para nabi itu, kaum feminis Kristen berjuang dan berharap dalam
konteks akar warisan religiusnya harus juga mengacu padda kewibawaan Kitab Suci
dalam kehidupan komunitas imannya. Kaum feminis berupaya menafsirkan kembali
dan memahami kehendak Allah dalam tradisi yang diwariskan kepada mereka di
dalam Kitab Suci. [10]
Ketika kaum perempuan
berteologi, mereka berteolog berdasarkan fakta dan pengalaman di bawah terang
Firman Allah serta tindakannya menuju kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu, advokasi bagi kesetaraan (equalitas) dan persahabatan, serta
upaya menuju suatu cara hidup baru yang setara (equal) dalam struktur dan
sistem gereja dan masyarakat merupakan agenda dari perjuangan para teolog
feminis. Termasuk di dalamnya adalah petanyaan-pertanyaan yang dikemukakan
terhadap simbol-simbol agama, relasi perempuan dan laki-laki yang androsentris,
serta relasi antar manusia
yang bias seks dan menyatakan visi yang otentik dari penebusan sebagai bentuk
pembebasan dari seksisme yang ternyata berakibat tidak adil terhadap kaum
perempuan. Kesadaran seperti
di atas memang mestinya berangkat dari interprestasi dan eksplorasi terhadap
Kitab Suci untuk mencari visi dan pembebasan yang dimaksud. Dengan demikian
teologi feminis, adalah teologi yang didorong untuk melakukan advokasi terhadap
kesetaraan (equality) dan kemitraan (partnership) yang di
dalamnya perempuan dan laki-laki mengupayakan transformasi dan pembebasan
harkat dan martabat (dignity) manusia yang tertindas dalam kehidupan
gereja dan masyarakat luas. Seorang perempuan atau laki-laki yang sadar akan
situasi penindasan kaum perempuan dalam segala bidang kehidupan dan yang
bertindak secara bertanggung jawab untuk mengubah situasi itu. Seorang feminis, adalah seseorang yang mengukuhkan
kebaikan dan kekuatan kaum perempuan dan yang merayakan gambar allah yang telah
diberikan yang kini ada di dalam mereka. Oleh karena itu, bagi teolog feminis (Kristen),
berteologi (“doing theology”) berarti tidak saja berfikir dan berbicara tentang Alllah dan konsern
terhadap manusia, tapi juga bertindak terhadap konsern tersebut dalam terang
imannya. [11]
a) Agama Sebagai Suatu Sistem Sosial
Secara
sederhana, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem kayakinan yang dianut
dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu sistem kelompok atau
masyarakat dalam menginterprestasi dan memberi respon terhadap apa yang
dirasakan dan diyakini sebagai yang Maha Kuasa. [12]
Sebagai
yang demikian, agama merupakan produk sosial (masyarakat)-nya masing-masing. Ia
dipengaruhi oleh sejarah manusia yang senantiasa ambivalen. Agama (Institusi)
atau sistem pengajarannya telah bercampur
dengan hal-hal yang telah dihasilkan oleh manusia yang senantiasa tidak
bebas dari sumber keakuan dan pemisahan diri dari yang lain. Dogma atau akidah,
ritus, dan simbol telahmelakukan “perkawinan” dengan budaya yang menyediakan
semua alat komunikasi, mulai dari bahasa sampai simbol dan struktur hidup
bersama. Tidak pernah ada agama yang hadir di ruang hampa. Oleh sebab itulah
seharusnya agama selalu bersifat kontekstual. Bagi para penganutnya, agama
berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang
eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat baik saat hidup di
dunia maupun setelah mati. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian
dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan dan menjadi
pendorong atau pengerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota-anggota
masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan
dan ajaran-ajaran agamanya. [13]
Agama
tidak dapat hidup dengan sendirinya tanpa para penganutnya. Agama dipelihara
dan diwarisi agar tetap hidup dan tetap diyakini oleh pennganutnya. Upaya
mempertahankan eksistensi agama ini dilakukan melalui banyak cara, di antaranya
menciptakan emosi-emosi yang sama atas agama yang dianut melalui kultus/ritual,
ajaran-ajaran agama, kontekstualisasi, revitalisasi yang terus menerus, dengan
menciptakan konsep tentang yang suci dan yang profane dan juga konsep tentang
surga (atau keselamatan) dan neraka. Melalui konsep surga dan neraka, agama
memberi kepastian pada kegamangan dan ketakutan manusia yang paling hakiki akan
dunia akhirat (setelah kematian). [14]
Agama diinterprestasi dan dikontekstualisaikan oleh para
ahli agama (pemimpin agama) dalam setiap agama. Pemahaman para penganut agama
tentang ajaran agamanya sangat ditentukan olah para pemimpin agamanya. Para
penganut akan mempercayainya apapun yang diajarkan oleh pemimpin agama karena
dianggap mereka memiliki pengetahuan dan otoritas ilahi. Para penganut yang
sangat patuh pada pemimpin agamanya akan melakukan semua hal yang diperintahkan
oleh pemimpin agamanya terlebih lagi jika perintah itu diiming-imingi dengan
upahmu besar di sorga, pahalanya besar, atau sebaliknya disertai ancaman jika
tidak melakukan akan masuk neraka. Dalam konteks ini, peran pemimpin agama
untuk terus menjaga kelangsungan hidup suatu agama dan juga menciptakan, memelihara
ketertiban dan prilaku hidup penganutnya menjadi sangat urgen. Peristiwa yang
dialami kelompok Ahmadiyah di Indonesia yang oleh MUI dituduh sesat dan Joan
de’Art yang dihukum mati oleh Gereja karena tuduhan sesat, namun 500 tahun
kemudian Gereja yang sama memberikan gelar orang suci kepadanya, merupakan
contoh yang sangat jelas betapa klaim dosa, sesat, atau tidaknya suatu prilaku (spiritual
maupun sosial) sangat tergantung pada bagaimana para pemimpin agama memakai
Kitab Sucinya atau ajaran agamanya. [15]
C.
SPIRITUALISME DAN PERAN PEREMPUAN DI ERA KRISTEN MODERN
Kisah
dalam Kitab Kejadian menceritakan asal-usul wanita:
“Ke dalam suasana seperti itu
teks datang
lagi seperti napas udara segar. Seluruh dunia binatang sengaja disusun sebagai
laporan, dan Adam meneliti seluruh prosesi yang fantastis yang semata-mata mau
menekankan bahwa diantara mereka tidak ditemukan seseorang yang dapat menjadi
temannya. Apa yang sedang di cari ialah yang martabatnya yang cocok, pantas, serasi
dengannya.
Memang demikianlah akhirnya, Allah menciptakan penolong yang “pantas” baginya, seseorang
yang mempunyai kesamaan atau kesepadanan derajat dengannya yang dapat menjadi
partner dan temannya. ” [16]
Para feminis menjadi semakin sadar akan beragam sumber
kenikmatan dalam kehidupan perempuan juga berbagai sumber rasa sakit dan
kehilangan, kecenderungan mereka untuk menolak kenikmatan sebagai “kesadaran
palsu” semakin berkurang. Analisis feminis terhadap penyebaran wacana juga
ditujukan pada isu-isu semisal aturan hukum atas kehidupan perempuan dan
pelanggengan hegemoni heteroseksual. [17]
Ketika
berbicara tentang asal usul dan tujuan umat manusia, Alkitab berbicara tentang
kesederajatan laki-laki dan perempuan. Pada penciptaan baik laki-laki maupun
perempuan dibuat dalam keserupaan dengan Allah. “Allah menciptakan manusia
menurut gambar-Nya sendiri . . . laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”
(Kej. 1: 27; lihat juga 5: 1-2). Mirip dengan itu, ketika umat manusia akan
memenuhi nasibnya semua perbedaan derajat yang didasarkan atas ras, kelas, dan
jenis kelamin akan dipandang tidak memiliki dasar. “Tidak ada orang Yahudi
atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan; karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus” (Gal. 3: 28).
Ide bahwa di mata Allah satu manusia sama harganya dengan manusia yang lain
dalam praktik dan ajaran Yesus sedemikian menonjol sehingga kita dapat
mengatakan bahwa hal itu merefleksikan pikiran Kristus. Di mana-mana ajaran
etis-Nya mengimplikasikan kesederajatan dalam arti bahwa setiap pribadi dikasihi
oleh Allah. Lebih lanjut lagi, kitab-kitab injik dipenuhi dengan cerita tentang
perjumpaan yang penuh penghargaan antara Yesus dengan orang-orang dari semua
lapisan masyarakat. Sebagai contoh, Ia menyambut baik bukan hanya orang-orang
yang dikucilkan , pemungut cukai, dan pendosa, penderita lepra, dan orang yang
mengalami gangguan mental, orang miskin dan ppa, melainkan juga mereka yang
mempunyai kedudukan sosial yang tinggi, ahli Taurat dan orang muda yang kaya. Sangat
menonjol pula dalam suatu kebudayaan patriarkal bahwa Ia memasukan perempuan, sama
halnya dengan pria, ke dalam lingkaran para sahabat-Nya yang paling akrab. Maria,
Marta, Salome, dan Maria Magdalenatampaknya sungguh dekat kepada-Nya, seperti
Petrus dan Yohanes. Dalam kata-kata dari seorang komentator, “Perempuan (sama
halnya dengan laki-laki) berinteraksi dengan Yesus untuk saling menghargai, mendukung,
menghibur, dan menegur, dan mereka sendiri dimampukan untuk menghibur, mengucapkan
syukur, dan bersikap berani. ”[18]
Prinsip penghargaan yang universal dan sederajat –yaitu
tuntutan untuk memandang semua orang sebagai bernilai sama- juga secara
mendalam tertanam dalam ajaran Yesus tentang mengasihi sesama manusia. Hubungan
ini dinyatakan secara kuat sekali oleh Kierkegaard, “menghormati setiap orang, mutlak
setiap orang, itulah kebenaran, dan inilah yang dimaksud dengan takut akan
Allah dan mengasihi sesama ‘manusia’ . . . . dan ‘sesama manusia’ adalah
ekspresi yang mutlak benar untuk kesederajatan manusia. Jika setiap orang
berada dalam kebenaran untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, kesederajatan
manusia yang sepenuhnya akan tercapai. ”[19]
Tantangan ke depan yang
akan dihadapi organisasi perempuan dan gerekan perempuan di Indonesia ke depan
diyakini akan semakin kompleks. Isu politik dan dampak dari globalisasi adalah
masalah penting yang semakin hari semakin hari mendesak untuk ditangani. Dari
sisi pengorganisasian, tuntutan profesionalisme organisasi, masalah lima tahun
setelah reformasi, ada kemajuan dan kekalahan dari upaya demokrasi di Indonesia
yang sampai sekarang masih berjalan tertatih tatih. Persoalan penegakan HAM (Law
enforcement), KKN, kekerasan yang meningkatkan dan berkurangnya rasa aman serta
strategi ekonomi yang belum mencerminkan kesetaraan, dan keadilan sosial adalah
sebagian dari persoalan yang belum terlihat mengalami kemajuan. Selain itu, lemahnya
kepemimpinan bangsa, munculnya benih-benih neo-otoritananisme baru adalah
ancaman terhadap proses demokratisasi yang dalam perjalanannya jika tidak
diawasi akan dapat kembali kea rah otoritasrianisme. Organisasi perempuan dan gerakan perempuan di Indonesia
dalam perjalanan ke depan, akan sangat dipengaruhi oleh berbagai persoalan yang
telah dikemukakandi atas, yaitu isu-isu politik serta dampak dari globalisasi
terhadap perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Bagimana
dampak globalisasi terhadap perempuan akan berpengaruh besar pada strategi
bagaimana pemberdayaan perempuan di Negara berkembang harus dilakukan dalam
menghadapi rejim passer bebas yang didominasi Negara maju.
Apakah
realitas dan persoalan yang dihadapi oleh perempuan Gereja berbeda dengan
perempuan lain?
Ø sama
sekali tidak berbeda
Ø perempuan
dalam Gereja, dan perempuan sebagai gereja, juga mengalami ketidakadilan, diskriminasi,
subordinasi, marginalisasi dan kekerasan dalam bentuk (fisik, psikhis, seksual
dan kekerasan ekonomi) baik dalam rumah tangga (KDRT) maupun dalam komunitas
Gereja.
Ø Mulai
muncul kesadaran kritis akan ketimpangan perlakuan terhadap perempuan (dan anak)
pada Gereja-gereja di Indonesia (khususnya anggota PGI)
Ø Kesadaran
yang sama juga telah munculpada intitusi-institusi pendidikan Fakultas
Teologi/Seminar Teologi (anggota PERSETIA) khususnya.
Ø Lahirnya
PERUATI (1995)
Ø Namun
kesadaran kritis ini belum menjadi suatu gerakan bersama untuk suatu perubahan
menuju langit baru dan bumi baru yang lebih adil bagi semua orang dengan
berbagai latar belakang tanpa diskriminasi berdasarkan apapun. Perempuan masih
saja mengalami kekerasan dalam gereja masih saja ada gereja-gereja tangga.
ü Manusia
(perempuan dan laki-laki), adalah Imago dei/Rupa dan Gambar Allah (Kej. 1: 26-28)
ü Allah
itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikannya
(Maz. 145: 9)
ü Allah
mengasihi manusia dan menyelamatkan manusia (Yoh. 3: 16)
ü Bekerja
bagi Tuhan. “apa yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti
untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”. (Kolose 3: 23).
o
“Tuhan dari
setiap Poci dan Panci, aku tak punya cukup waktu, bukan pula seorang ahli, untuk
menjadi anak-Mu dengan mengerjakan yang suci-suci. Tapi jadikanlah aku anak-Mu
makanan yang kusaji. Jadikanlah aku anak-mu melalui piring-piring yang kucuci. Hangatilah
dapur ini dengan kasih-Mu. Terangilah dapur ini dengan sinar-Mu. Semua seperti
ketika engkau menyajikan makanan di tepi danau, atau ketika Perjamuan Malam. Dan
terimalah pekerjaanku yang sehari-hari ini, yang ku kerjakan bagi Engkau
Sendiri. ”
Perlakuan diskrinatif
dan tidak adil terhadap kaum perempuan masih terus terjadi, bukan saja di
masyarakat umum tapi juga dalam kehidupan bergereja khususnya. Kasus-kasus
pemecatan pendeta perempuan semena-mena, perbedaan standart antara perempuan
dan laki-laki dalam rekruitmen calon pendeta, pelecehan seksual terhadap
pekerja gereja yang perempuan, dan masih banyak lagi, masih berlangsung sampai
masa kini.
Mengakui bahwa di masyarakat (dan juga di dalam gereja)
eksis segala bentuk perbedaan dan hierarki (seks, gender, dan perbedaan sosial
lainnya) yang berimplikasi pada relasi kuasa yang timpang antara perempuan (inverior)
dengan laki-laki (superior). Berdasarkan hal tersebut, semua
aturan yang dibuat harus memenuhi prinsip-prinsip:
1.
Persamaan
substantik (bukan kesamaan atau persamaan)
Menjamin
persamaan pada akses, kesempatan, dan juga manfaat atau hasil yang sama bagi
kaum perempuan. Contohnya antara lain: ketentuan mengenai afermatik action (keterwakilan
30 % perempuan pada aras pengambilan keputusan). Dan pengakuan dan perlindungan
atas hak-hak reproduksi perempuan (cuti haid, cuti hamil).
2.
Non
Diskriminatif
Diskrimatif
terhadap perempuan adalah: “setiap Pembedaan, Pengecualian, Pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan: untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi dan
sosial, budaya sipil atau apapun lainnya, oleh kaum perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. (pasal
1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan / CEDAW).
3.
Non Kekerasan
Kekerasan
terhadap perempuan adalah: “setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan
umum maupun dalam kehidupan pribadi. (pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan).
4.
Hak-hak
Kebijakan ini menjamin setiap orang
mempunyai hak da tanggung jawab berkaitan dengan perlakuan yang anti
diskriminasi dan bebas dari pelecehan seksual.
Pegawai dan calon pegawai mempunyai:
v Hak
atas keputusan-keputusan tentang siapa siapa yang tepat menerima tawaran
tugas-tugas yang harus dikerjakan berdasarkan kualifikasi dan kepantasan (pantas
atau patut).
v Hak
untuk tidak melecehkan secara seksual oleh pegawai yang lain.
v Hak
untuk dilindungi dari pelecehan seksual yang dilakuakn oleh orang-orang yang
menerima barang atau jasa pelayanan mereka.
v Hak
untuk bekerja dalam lingkungan yang bebas dari diskriminasi dan pelecehan.
Bertanggung
jawab untuk tidak mendiskriminasikan atau melecehkan para pegawai, klien-klien,
atau penyedia barang dan jasa pelayanan. [24]
D.
GERAKAN REFORMASI SOSIAL KEAGAMAAN UNTUK KESETARAAN
GENDER ABAD ABAD KE-20
Dalam
masyarakat patrilneal dan androsentris, sejak awal peran gender seorang anak
laki-laki lebih dominan dibanding anak perempuan. Misalnya seperti yang
terlihat dalam tradisi masyarakat Saudi Arabia yang membatasi peran perempuan hanya di
rumah. Disana hampir
semua urusan ditentukan dan dilakukan oleh laki-laki (bahkan belanja ke pasar pun dilakukan oleh kaum laki-laki atau
suami) sehingga bisa dikatakan
seluruh waktu perempuan dihabiskan untuk melayani suami dan anak-anaknya di
rumah. Ketidakseimbangan peran gender yang demikian
berpotensi kerepotan. [25]
Sebagai
tipikal seorang pegiat gerakan emansipasi perempuan, Siti Musdah Mulia berpandangan bahwa bias gender yang
merupakan konstruksi sosial, sangat sering bersumber dari pandangan keagamaan
yang dianuat suatu masyarakat. [26]
Sebagaimana keluhan terhadap kekristenan disuarakan oleh
umat agama-agama lain, keprihatinan kaum feminis berakar pada suatu kesadaran
akan penindasan. Selama berabad-abad perempuan diperlakukan secara
diskriminatif. Mereka ditolak untuk memiliki kesempatan yang sederajat dalam
kehidupan, politik, ekonomi, dan rumah tangga. Hanya dalam abad inilah
perempuan telah diberikan hak untuk memilih, dan baru-baru akhir ini terdapat
jumlah yang signifikan perempuan yang dipekerjakan pada tingkat manajerial. Hanya
sedikit yang telah meraih tingkat tanggung jawab tertinggi dalam dunia bisnis
dan pemerintahan. Perspektif sejarah membuat prestasi-prestasi mutakhir ini
tampak mengesankan, tetapi keadilan yang penuh masih harus dicapai. Sikap lebih
rendah atau ketergantungan pada sisi perempuan dan sikap lebih unggul atau
dominan pada sisi laki-laki telah merasuk dan menyebar dan telah gagal untuk
sungguh-sungguh menghasilkan perasaan kesetaraan dan kesamaan walaupun
perempuan telah mengemukakan masalah feminis selama seratus tahun lebih. Kegagalan
untuk mencapai kesamaan yang lebih dekat dengan rekan prianya akhir-akhir ini
telah mendorong suatu analisis yang berusaha mencari akar-akar budaya dan
psikologis dari dominasi pria dan sikap mengalah perempuan. [27]
Gerakan sosial (bahasa Inggris: social movement) adalah aktivitas sosial berupa
gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang
berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik
berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau
mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. [28]
Gerakan yang memperjuangkan kesederajatan hak-hak bagi
perempuan telah sejak awal pada abad ke-18 bertumbuh secara kuat. Pada tahun 1790 Concordet,
seorang humanis Prancis yang berpengaruh memberikan pengungkapan yang bagus
sekali ntuk ajaran fundamental dari semua gerakan seperti itu, prinsip
penghargaan yang universal dan sederajat. Prinsip itu dapat secara singkat
dijelaskan sebagai tuntunan untuk memperlakukan seperti laki-laki adalah
makhluk dengan ketajaman perasaan, akal budi, dan moral. Concordet menambahkan:
Dengan memiliki kualitas-kualitas yang sama, sudah barang
tentu perempuan memiliki hak-hak yang sama. Tak satu individu pun di antara
umat manusia yang mempunyai hak-hak yang ia miliki sejak awal; semua orang
memiliki hak yang sama; dan barangsiapa yang memilih untuk melawan hak-hak
orang yang lain, apa pun agama, warna kulit, atau jenis kelaminmya, mulai
sekarang telah menyangkali haknya sendiri.
Penyebutan Concordet itu menyatakan bahwa gerakan
kesamaan hak tersebut asal usul dan tujuannya bersifat sekuler. Namun, hal ini
sama sekali bukan masalahnya. Keprihatinan mengenai kesederajatan berakar
mendalam dalam Alkitab dan kesadaran Kristen, sedemikian rupa sehingga gerakan
untuk menghapuskan perbudakan memperoleh daya dorong dari orang-orang Kristen
Anglo-Saxon yang komitmennya begitu mendalam, seperti Woolman, Wilberforce, dan
Shaftesbury. Di antara orang-orang Amerika-Afrika gerakan-gerakan hak sipil
secara serupa ditumbuhkan oleh warisan Alkitabiah. Meskipun ada fakta bahwa
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada toleransi untuk perbudakan
sebagai suatu tatanan sosial dan ketiadaan pengutukan yang eksplisit terhadap
rasisme, hampir seluruh orang Kristen masa kin, dengan melandaskan pandangan
mereka di atas prinsip-prinsip alkitabiah, menyimpulkan bahwa praktik ini
bertentangan dengan kehendak Allah. [29]
PERWATI
adalah wadah Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi di Indonesia. Dalam bahasa
Inggris disingkat ATEWI (Association of Theologically Educated Women in
Indonesia). PERWATI lahir pada tanggal 26 Mei 1995, di Bukit Inspirasi Tomohon, atas kesepakatan paserta Konsultasi
Wanita Berpendidikan Teologi se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Biro Wanita
PGI bekerja sama dengan Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologia di Indonesia (PERSETIA).
Pada kongres Nasional ke-2 PERWATI 14-19 Juni 2007 di Sibolangit Sumatera Utara,
diputuskan untuk perubahan nama menjadi: PERSEKUTUAN PEREMPUAN BERPENDIDIKAN
TEOLOGI DI INDONESIA, yang disingkat menjadi PERUATI. Perempuan berpendidikan teologi menyadari perlunya suatu
wadah yang dapat menyatukan wawasan, sikap dan langkah dalam rangka
mengembangkan potensi perempuan berpendidikan teologi agar di dalam pengabdiannya
kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Kepala Gereja, dapat meningkatkan peran serta
sumbangsihnya bagi kehidupan gereja dan masyarakat yang adil, damai, dan
sejahtera. Tujuan PERW/UATI adalah ikut serta mewujudkan masyarakat yang adil, damai,
sejahtera; merencanakan dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan
keterampilan perempuan berpendidikan teologi; menumbuhkan kepercayaan kepada
diri sendiri dan kemandirian perempuan berpendidikan teologi. Memperkokoh
jaringan dan solidaritas antar perempuan berpendidikan teologi secara khusus
dengan komitmen dari pengalaman perempuan pada umumnya baik di dalam maupun di
luar Indonesia. Anggotanya adalah semua perempuan lulusan Sekolah-sekolah
Teologia anggota PERSETIA dan yang setuju dengan AD/ART PERW/UATI. [30]
1.
Organisasi
perempuan berpendidikan teologi sebagai wadah pemberdayaan dan member kekuatan
politis (bargaining position).
2.
Pelatihan-pelatihan
(gender awarness dan MadMB) melalui kerjasama/jejaring dengan DPA PGI
maupun dengan lembaga lainnya. Dan penerbitan jurnal SOPHIA.
3.
Kendala: -DANA
& SDM. Hal ini berkitan dengan konteks dimasing-masing wilayah
Gereja-gereja yang di dalamnya para pendeta perempuan (anggota PERUATI)
melayani. Misalnya, bagaimana teologi Gereja tersebut? Bagaimana posisi pdt. Perempuan
dalam struktur dan sistem Gereja tersebut? Bagaimana tingkat pendidikan para
pendeta perempuan dalam Gereja tersebut?
4.
Lingkaran
setan/Benang kusut merubah paradigma berteologi
kita. Berapa banyak jumlah teolog di
Indonesia yang melakukan ini? Sementara perempuan yang berpendidikan teologi
sendiri dianggap tidak/belum punya kualifikasi akademis sebagai teolog untuk
melakukan hal itu.
5.
Pertanyaanya: dari
mana dan bagaimana pendeta perempuan memberdayakan diri sendiri? Dari mana sumber
dana diperoleh? Dari institusi gerejanya sangat sulit karena teologi dan
mindset para pemimpin Gereja yang pada umumnya
laki-laki itu masih sangat patriakhis dan tidak demokratis (kolonial).
Ø Mengembangkan teologi dari pengalaman kaum perempuan
di berbagai wilayah
Ø Affirmative
Action, yaitu posisi pengambilan keputusan dalam gereja (Sinode) dan
Institusi-institusi gerejawi.
Ø Advokasi
kebijakan/peraturan/tata gereja, dll. Contoh:
rancangan peraturan Non diskriminatif dan Non Violence bagi perempuan dalam
semua institusi gereja/wi.
Ø Pengembangan
SDM melalui pendidikan (formal) lanjutan (S2 & S3) dan non formal (pelatihan,
kursus, dll). Antara lain Gender Awarness, MadMB, kursusu Teologi Feminis, dll.
Ø Membangun
networking dengan komisi-komisi perempuan Gereja, NGO’s, Pemerintah, dll (local,
nasional dan Internasional).
Moria, sebagai nama
diberikan kepada Komisi Perempuan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang secara formal dideklarasikan pembentukannya
pada 16 Oktober 1957, adalah lembaga interen gereja yang didirikan perempuan
GBK. Tujuan itu terlera dalam Pokok-pokok Peraturan Moria GBKP Bab II pasal 3, yang
menyatakan tujuan Moria adalah:
ü Membina
anggota-anggotanya agar mengetahui dan memahami Firman Tuhan secara mendalam.
ü Membina
dan memperkokoh persekutuan antar sesama anggotanya.
ü Memotifasi
anggotanya agar mengetahui hak dan tanggung jawabanya selaku anggota gereja dan
masyarakat.
ü Ikut
berperan secara aktif di dalam persekutuan gereja baik di tingkat nasional
maupun internasional (persekutuan oikumene). Tujuan pemberdayaan ini kemudian
dimplementasikan dalam berbagai program sesuai dengan konteks masalah dalam
masing-masing zamanya yang difokuskan dalam
empat (4) bidang, yaitu dalam bidang Organisasi, bidang Teologi, bidang
Daya dan bidang Dana. Pencapaian akhir yang ingin dicapai adalah kemandirian
pada ke empat bidang tersebut.
a. Masih
kuatnya nilai budaya patriakhi dalam komunitas agama (ajaran, teologi, etika
maupun liturgy) dan masyarakat yang menyebabkan masih termarjinalnya kaum
perempuan dan rendahnya kepemimpinan perempuan baik dalam kehidupan komunitas
agama/gereja maupun masyarakat.
b.
Masih belum maksimalnya komitmen dan tindakan Negara dan
semua elemen masyarakat dalam upaya menghapus segala bentuk diskriminasi
terhadap kaum perempuan dalam semua aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat di Indonesia.
c.
Menguatnya
globalisasi dengan globalisasi dengan global kapitalismenya yang menyebabkan
feminisasi kemiskinan dan objectivikasi tubuh perempuan. Misalnya:
§
Dalam sistem
pertanian tradisional perempuan bekerjasama dengan laki-laki, tetapi sekarang
pasarnya hilang direbut oleh pasar bebas.
§
Buruh perempuan makin terpuruk: tidak diakuinnya lagi hak
cuti haid dan melahirkan, upah rendah, panjangnya jam kerja, minimnya
perlindungan keselamatan kerja, mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.
§
Pada masyarakat Adat, tersingkirnya tokoh perempuan
padahal mungkin ia menguasai ilmu pengobatan tradisional. Globalisasi lebih
menghargai obat-obatan pabrik, tenaga kesehatan lulusan PT. Akibatnya, perempuan
penyembuh kehilangan pekerjaan. Ditambah lagi dengan memberikan nama negative
pada perempuan penyembuh, misalnya dengan nama “Dukun”.
d.
Menguatnya
bethno nasionalisme dan fundamentalisme agama yang membuat nilai-nilai
pluralisme dan demokratis semakin menipis di era Otonomi daerah. Antara lain
tampak dalam Perda-Perda Syariah, dll.
e.
Masih tetap tingginya angka kekerasan (fisik, phisikhis, seksual
maupun ekonomi) terhadap kaum perempuan dan anak yang terjadi dalam rumah
tangga maupun dalam kehidupan publik.
f. Kerusakan
lingkungan.
Melalui pengalaman
bersama-sama dengan Moria selama ini akhirnya sama bias menyimpulkan bahwa
masalah internal yang menjadi tantangan Moria selama ini, adalah masalah komunikasi.
Masalah komunikasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain budaya, konstruksi
gender, pengalaman yang membentuk dan juga faktor-faktor psykhologis juga
pemahaman diri kita tentang diri sendiri maupun sesama, relasi kuasa, atau
sistem organisasi ini sendiri dan juga perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Tuhan akan memuaskan hatimu dan membaharui kekuatanmu: ada apa
denganmu Moria? Pernyataan “Tuhan akan memuasakan hatimu dan membaharui
kekuatanmu” yang merupakan janji ini bukanlah suatu pernyataan yang berdiri
sendiri.
Di sini nabi
menggunakan empat (4) kata kerja untuk membebaskan sesama itu, yaitu membuka
belenggu, melepaskan tali kuk, mematahkannya, dan memerdekan orang. Siapa yang
mau merendahkan dirinya di hadapan Allah, hendaklah memperhatikan sesamanya
yang hina, marginal, terbelenggu sedemikian rupa dan berusaha membebaskan dan
memperlakukan mereka sebagai saudaranya sendiri. [36]
Hanya dengan
melakukan hal-hal tersebut, barulah janji Tuhan bahwa Dia akan memuaskan hatimu
dan membaharui kekuatanmu digenapi oleh Tuhan Allah. Untuk itu, maka pemahaman
akan kondisi dari konteks hidup Moria baik sebagai bagian dari dunia, bangsa
dan Negara Indonesia serrta bagian dari warga masyarakat Sumut mesti
sungguh-sungguh dikaji dan dipahami dengan kritis. [37]
f) Tantangan ke Depan[38]
Berkaitan dengan realitas konteks kita saat ini, maka
menurut hemat saya, paling kurang ada enam hal yang mestinya menjadi perhatian
Moria untuk masa yan akan datang:
1.
Kemiskinan dan
Ham/Perempuan
2.
Pendidikan (civil
right, politik, ketrampilan, dll).
3.
Kesehatan (hak-hak
reproduksi, HIV / AIDS, sarana kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan, dll).
4.
Kekerasan
Terhadap perempuan dan anak (crisis center).
5.
Traffiking (perdagangan
perempuan dan anak)
6.
Kerusakan
Lingkungan (smapah, sadar lingkungan, dll).
Untuk
itu ada beberapa hal yang dapat secara konkrit dapat kita lakukan misalnya:
Berkaitan dengan hal di atas, maka ada beberapa hal
yang menjadi tantangan bagi Moria di masa depan.:
ü Konsumerisme
& hedonisme
ü Hilangnya
solidaritas social
ü Fundamentalisme
& eksklusivisme (anti pluralis).
E.
PENUTUP
Tempat bagi wanita dalam keluarga, masyarakat, dan Gereja
telah mendapat perhatian khusus para ahli dan masyarakat pada awal abad ke-20
ini. Kalau orang Kristen memahami konsep Alkitab tentang wanita, pasti tidak
perlu ada gerakan feminisme dalam masyarakat Kristen, khususnya dalam Gereja. Alkitab
telah memaparkan kedudukan perempuan yang layak dan posisi yang proporsional
dan profesional.
Di tengah masyarakat Yahudi, kedudukan wanita masih tetap
direndahkan, bahkan disamakan dengan budak dan orang berdosa. Wanita adalah
manusia yang tidak sempurna. Tapi menurut Alkitab tidak demikian. Alkitab
selalu menyebut wanita adalah perempuan; ini yang berkaitan dengan tugas dan
kewajibannya, sebagai mitra penguasa bersama dengan laki-laki; di samping itu
juga memiliki peran reproduktif, "ibu dari semua yang hidup" (Kej 3: 22).
Menurut Kejadian 1: 26-27,
manusia telah diciptakan oleh Allah sebagai gambar-Nya. Dilihat dari proses
penciptaan dunia ini, manusia mempunyai sejarah dan proses penciptaan yang
berbeda dengan ciptaan Allah lainnya. Bahkan Kejadian menyaksikan bahwa manusia
diciptakan menurut gambar Allah. Dari ungkapan ini, dapat ditafsirkan bahwa
eksistensi dan identitas tersebut berkaitan erat dengan kekuasaan yang dimiliki,
juga dengan pikiran dan sifat-sifat yang ada di dalam tubuh manusia. Namun yang
lebih dalam dan jauh dari hal-hal ini adalah hubungannya yang tersembunyi di antara
manusia dan Khaliknya. Dari proses penciptaan dapat dilihat shal-hal yang
khusus, seperti Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam hidungnya (Kej 2: 7).
Hal ini jelas menunjukkan hubungan yang sangat pribadi, mendalam dan rahasia, yang
sulit diterjemahkan dalam bahasa manusia. 1285
Dalam Kejadian 1,
Allah tidak membedakan manusia antara laki-laki dan perempuan keduanya
diciptakan oleh Allah dalam keadaan sama derajat, sejajar, dan sama nilai di
hadapan Allah. Tidak ada yang lebih penting dan kurang penting, tidak ada
istilah yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Bahkan tidak ada penjelasan
bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dan sebaliknya. Kepada
manusia laki-laki dan perempuan Allah memberikan tugas untuk berkuasa atas
ciptaan Allah yang lain. Maka kaum laki-laki dan perempuan perlu bekerjasama
serta melakukan segala tugas yang dipercayakan oleh Allah kepada mereka. Dalam Kejadian 2,
penciptaan laki-laki dan perempuan diberi penjelasan yang lebih rinci. Perempuan
diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk laki-laki, perempuan juga diciptakan
untuk laki-laki. Tujuan Allah menciptakan perempuan adalah menjadikan penolong
bagi laki-laki. Walaupun demikian sekali-kali perempuan tidaklah lebih rendah
daripada laki-laki.
Tujuan ke depan penciptaan perempuan ialah menyempurnakan
seluruh ciptaan Allah. Dapat dimengerti bahwa Allah menciptakan perempuan
dengan kemampuan khusus, sehingga laki-laki dan perempuan akan hidup selaras
dan saling melengkapi. Kejadian 2
menyatakan bahwa sebelum menciptakan perempuan, Allah telah melarang manusia
memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Ini tidak berarti
bahwa perempuan tidak mengetahui larangan Allah tersebut. 1286
Alkitab menjelaskan juga bahwa sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, mereka (laki-laki
dan perempuan!) diusir dari taman Eden, tempat di mana sebelumnya mereka
mengalami hidup yang harmonis, baik dengan Allah maupun hubungan suami istri
pertama di dunia ini. Perempuan mendapat ganjaran atas pelanggarannya, yakni
mengalami susah payah di saat ia mengandung dan kesakitan saat melahirkan anak.
Tetapi perempuan seperti itu masih tetap birahi terhadap suaminya (Kej 3: 16).
Inilah permulaan kisah di mana laki-laki tampak "berkuasa" atas
perempuan. Tetapi perjanjian akan adanya kelepasan, kebebasan, dan keselamatan
juga diberikan oleh Allah melalui perempuan (Kej 3: 15).
Perkembangan selanjutnya dalam Perjanjian Lama mencatat bahwa
ada beberapa wanita yang "dipercayai oleh Allah" maupun masyarakat
untuk menjadi pemimpin. Mereka berperan baik di bidang politik maupun
kerohanian. Walaupun struktur bangsa Israel tidak memungkinkan wanita berperan
secara aktif apalagi tampil ke depan sebagai pemimpin; bagi Allah tidaklah
demikian. Allah tetap pada prinsip bahwa pria dan wanita sama di hadapan-Nya, sehingga
Ia mengangkat kembali martabat perempuan di khalayak bangsa Israel. Di
tengah-tengah bangsa pilihan, Allah telah menampilkan para wanita sebagai
pemimpin. Misalnya:
MIRYAM. Keluaran 2: 3-4
mengisahkan tentang seorang gadis pemberani yang menjaga adiknya yang masih
bayi di tepi sungai Nil. Dengan lantang ia mengusulkan kepada putri Firaun agar
mencari seorang pengasuh dan penyusu untuk si bayi Musa. Pada saat dewasa, bersama
dengan Harun dan Musa adik-adiknya, ia menjadi pemimpin (Mi 6: 4),
dan bergelar nabiah (Kel 15: 20).
DEBORA. Menurut Hak 4: 4,
ia adalah seorang nabiah sekaligus hakim yang memberi nasihat dan keadilan
kepada umat Israel. Ia sangat termasyhur bukan hanya dalam hal keadilan, tetapi
juga karunia rohani sebagai nabiah (lihat Hakim-hakim pasal 4).
Debora adalah seorang pemimpin yang sangat berwibawa. Barak, panglima perang
itu, tidak berani maju jika Debora tidak ikut maju ke medan perempuan. Memang
bukan Debora yang langsung memimpin perang, tetapi karena dialah Barak menjadi
berani. Jadi, bukankah kepemimpinan Debora telah membuktikan bahwa kemitraan
antara kaum pria dan wanita bersifat saling melengkapi?
HULDA. Dalam 2Raj 22: 14,
2Taw 34: 22
disebutkan seorang nabiah yang sangat dihormati pada zaman Raja Yosia. Ia
dengan berani memberitakan baik hukuman Allah alas Yerusalem, maupun
pengampunan Allah bagi raja dan rakyatnya. Hulda betul-betul berwibawa di
hadapan raja, para pemimpin Yehuda lainnya, serta rakyat di Yerusalem. Singkatnya,
Hulda tampil sebagai pemimpin rohani yang sangat disegani dan dihormati.
ESTER. Ia adalah seorang ratu yang cantik
jelita, gadis yatim piatu anak angkat Mordekhai (Est 2: 7).
Dalam proses pemilihannya menjadi ratu pengganti Wasti, ia juga mengalami
pendidikan dan pelatihan yang tidak mudah. Dalam kapasitasnya sebagai
permaisuri raja Ahasyweros, ia tetap mengasihi bangsanya, orang Yahudi yang
pada waktu itu menjadi tawanan Persia. Tatkala bangsanya menghadapi ancaman
yang mengerikan, ia tampil sebagai pembela dan pahlawan pembebas walaupun
nyawanya sebagai taruhannya (Est 7: 6).
Di dalam Perjanjian Baru kita bertemu dengan beberapa wanita
yang tampil sebagai pemimpin dan juga sebagai pelayan jemaat. Antara lain: Lidya,
Priskila, Febe, dan masih banyak lagi nama-nama perempuan yang tercatat
sebagai pendukung pelayanan, baik pada masa Kristus juga pada masa Rasul Paulus.
(Kis 16: 15;
18: 2; Rm 16: 13;
2Tim 4: 19;
Luk 8: 1-3).
Kenyataan ini membuktikan bahwa Allah tidak pernah membedakan
derajat pria dan wanita. Bahkan kalau kita mau jujur, Juruselamat sendiri siap
lahir melalui rahim seorang wanita, diasuh dan dididik oleh seorang wanita. Bahkan
berita kemenangan atas kematian, yakni kebangkitan-Nya yang menggemparkan itu, diberitahukan
untuk pertama kali kepada seorang wanita. Tidaklah berlebihan bila dikatakan
bahwa PB memberi tempat yang layak pada wanita, walaupun pengaruh keyahudian
masih terasa sangat kental di dalamnya. Rasul Paulus menegaskan kembali di
dalam Galatia 3: 28-29,
bahwa martabat dan harkat manusia itu sama di hadapan Tuhan. Karya penebusan
Kristus membuat perbedaan derajat antara pria dan wanita dihapuskan. Kristus
datang menjadi penebus dan penyelamat bagi laki-laki dan perempuan. Dengan
demikian pengajaran PB sudah jelas. Kita tidak boleh meragukannya lagi. Jika
orang Kristen sudah memahami pengajaran Alkitab secara benar tentang wanita, maka
tidak akan ada lagi perdebatan di antara kita sendiri.
Penahbisan terhadap wanita di dalam Gereja mula-mula telah
menjadi topik yang sangat hangat. Hal ini juga telah menjadi isu perdebatan
pada pertengahan abad ke-20. Agaknya Roma 16: 1
mengindikasikan Febe sebagai seorang wanita yang ditahbiskan (didoakan dengan
penumpangan tangan) dan langsung terlibat dalam pelayanan jemaat. Penahbisan
wanita menjadi pendeta penuh memang sempat menjadi bahan perdebatan di berbagai
denominasi gereja. Bahkan sampai saat ini ada beberapa denominasi gereja yang
belum menahbiskan wanita menjadi pendeta penuh dengan banyak alasan. Untuk
menjadi majelis, penatua, dan diaken tidak pernah ada masalah.
Di lingkungan GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia, anggota
PGI yang ke-29), baru ditahbiskan dua orang pendeta wanita setelah gereja
tersebut berdiri di Indonesia selama 75 tahun. Perlu diketahui bahwa di
lingkungan gereja-gereja mainline lainnya telah banyak dilaksanakan penahbisan
kependetaan terhadap diri wanita yang dianggap memenuhi syarat. Walaupun
demikian bukan berarti wanita yang sudah ditahbiskan itu berubah dan bersikap
seperti pria. Sebaliknya, sudah sepatutnya pendeta wanita tetap feminin dan
tampil sebagai pribadi yang memiliki naluri keibuan. [39]
Mimpi akan suatu
perubahan jika hanya dimimpikan oleh satu orang, hanya akan tinggal sebuah
mimpi. Tapi jika mimpi itu dimimpikan oleh banyak orang, maka mimpi itu akan
menjadi kekuatan besar bagi suatu perubahan. Marilah kita semua mempunyai mimpi
yang sama bagi pembaharu Gereja di masa depan. Menuju Gereja yang adil dan
terbuka bagi semua. Agar sungguh, kita menjadi Gereja yang membertakan dan
menghadupi Tuhan Rahmat Allah itu sungguh telah datang. [40]
F.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari. Penafsiran Ayat-Ayat Gender Menurut Muhammad Quraish Shihab. Jakarta: Visindo Media Pustaka. 2008
Eminyan,
Maurice. Teologi Keluarga. Semarang: Kanisius. 2008
Haningsih, Sri. Pemikiran
Riffat Hassan Tentang Feminisme Dan Implikasinya Terhadap Transformasi Sosial
Islam. Majalah al Warid edisi ke 13. 2005
Http:
//id. wikipedia. org/wiki/Gerakan_sosial
diunduh pada 17 September 2013
Mariani
Rihi Ga, Ester. Perempuan Merdeka. (Jawa Barat: PERUATI). 2011
Thornham, Sue. Teori
Feminis dan Kultural Studies: Tentang Relasi yang Belum Terselesaikan. Yogyakarta:
Jalasutra. 2010
Urban, Linwood. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Terjemahan Liem Sien Kie. Jakarta: Gunung Mulia. Cet. 3.
2009
[1] Sri Haningsih, Pemikiran Riffat Hassan Tentang Feminisme
Dan Implikasinya Terhadap Transformasi Sosial Islam. (Majalah al Warid
edisi ke 13. 2005), hal.
111
[3] Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. (Yogyakarta: Jalasutra,
2009), hal. 10
[4] Sue Thornham, Teori
Feminis dan Kultural Studies: Tentang Relasi yang Belum Terselesaikan. (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), hal. 24
[17] Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. (Yogyakarta: Jalasutra,
2009), hal. 11
[19] Ibid.
[24] Ibid, h. 85-90
[25]Ansari, Penafisran
Ayat-ayat Gender manurut Muhammad Quraish Shihab, (Jakarta:
Visindo Pedia Pustaka, 2008), h. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar