Nama: Ratna Hildya Astuti
Nim: 1111032100033
Respondik pepar Islam dan Kesetaraan Gender
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan
Gender di Mesir
Perempuan
dalam peradaban Mesir dihormati dan dihargai. Bahkan perempuan sangat mempunyai
peranan yang sangat penting, Bangsa Mesir mempercayakan Negara kepada kaum
perempuan, Mereka mampu menguasai Mesir, secara individu maupun kolektif.
Mereka menyusun undang-undang, mengadakan hubungan luar negeri dan menciptakan
para politisi yang baik.
Peradaban Mesir merupakan satu-satunya peradaban yang memberikan status hukum
yang sah kepada kaum perepuan dan diakui oleh Negara. Peradaban Mesir juga
adalah peradaban yang satu-satunya menjamin hak-hak penuh bagi kaum perempuan
untuk bermasyarakat sebagaimana halnya kaum laki-laki. Jadi perempuan Mesir
tidak direndahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan
dalam peradaban kuno lainnya. Seorang penulis yang berkebangsaan Perancis
Alexandre Moret berkata bahwa kaum perempuan dalam peradaban Mesir kuno tidak
disia-siakan dan tidak ditolak. “Malah sebaliknya perempuan di peradaban Mesir
sangat dihargai dengan penuh
hormat. Bahkan Kaum Fir’aun memuja dan menghormati kaum perempuan karena
menganggapnya sebagai alasan utama untuk kelangsunga hidup, perkembangbiakan,
dan penyatuan bangsa.
Gagasan
Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus di kalangan ulama
Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari
para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi
bertujuan untuk membebaskan kaum wanita sehingga mereka memiliki keleluasaan
dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran
Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring
manusia untuk maju dan berjejak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat
menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan
masih anak-anak.23 Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena
menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Qasim
Amin melihat wanita pada waktu itu bagaikan budak dan hidup di penjara yang
kehilangan kebebasan untuk berbuat dan beraktivitas. Banyak kaum pria yang
masih menganggap bahwa mengurung wanita di rumahnya merupakan jalan agar wanita
menjadi manusia yang terbaik. Bagi Qasim Amin, memberikan hak kepada lelaki
untuk mengurung isterinya jelas bertentangan dengan hak kebebasan wanita yang
tidak bisa dicabut dan sekaligus merupakan hak natural.
Menurut
Qasim Amin, syari’ah menempatkan wanita sederajat dengan pria dalam hal
tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika wanita
melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya
atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim meyakini, tidaklah
masuk akal menganggap wanita memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan
berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan, sementara di saat yang
sama tidak ada tanggapan apa pun atas wanita ketika kebebasannya dirampas.
Kebebasan
umum bahwa kebebasan kaum wanita akan membahayakan kesucian mereka, menurut
Qasim Amin, tidak berdasarkan pada kenyataan yang kuat. Pengalaman mengindikasikan
bahwa kebebasan wanita bisa menambah pengertian akan tanggung jawab dan
kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk
memperkuat analisisnya, Qasim Amin menyajikan data statistik bahwa kaum
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan
Gender di Iran
Negara
Iran adalah negara yang menjadi salah satu Negara islam yang cukup berbeda dari
Negara-negara Islam lainnya dalam memandang Perempuan pasca Revolusi. Revolusi
Islam Iran ini melahirkan konfigurasi yang khasa antara Negara Iran dan
Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam
sejarah yang menandai puncak pergolkan politik antara penguasa Iran dan
kelompok ulama yang telah berlangsung lama, dalam system ketatanegaraan
Iranyang berpengaruh terhadap system perintahan Iran sekarang akhirnya
berkiblat pada Syariah Islam sebagai konstitusi Negara.
Selain
politik kenegaraan, syariat Islam, yang mengatur undang-undang Republik Iran,
juga berbicara tentang hak dan kewajiban kaum perempuandi dalam Negara,
kewajiban perintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penuaian hak-hak kaum
perempuan yang rezim sebelumnya menderita opresi yang besar.
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan
Gender di Turki
Di Turki, kehidupan sehari-hari sangat
terganggu oleh militerisasi tak berkesudahan di Timur Tengah dan meningkatnya
konservatisme secara global. Konflik bersenjata antara militer Turki dan
pemberontak Kurdi di wilayah timur dan tenggara Turki serta pemboman yang
terjadi belum lama ini di Istanbul dan Izmir membuat isu-isu kesetaraan bagi
perempuan, pemberantasan kekerasan terkait jender, dan penegakan hukum berada
dalam urutan terrendah dalam agenda public
Pada akhir Agustus 2008, 60 orang perempuan
dari beberapa organisasi yang menangani isu-isu perempuan berkumpul di sebuah
kota kecil di bagian timur Elazig untuk mengikuti lokakarya tiga hari.
Lokakarya ini membahas berbagai isu hak-hak perempuan pada tingkat nasional dan
regional. Kelompok-kelompok yang ikut serta di dalamnya termasuk Asosiasi
Perempuan Saray (Saray Women Association), Asosiasi Perempuan Van (Van Women's
Association), Pusat Perempuan Yaka-Koop and Bitlis Guldunya (Yaka-Koop and
Bitlis Guldunya Women's Center), Koperasi Perempuan Filmmor (Filmmor Women's
Cooperative) serta Perempuan bagi hak-hak Perempuan (Women for Women's Human
Rights)
Gerakan perempuan di Turki telah berhasil
melakukan perubahan hukum revolusioner. Pada tahun 2001 mereka berhasil
memperbaharui hukum perdata hingga mengakui kesetaraan perempuan dan laki-laki
dalam hal pernikahan, perceraian, hak asuh, warisan, dan hak milik. Hukum
Pidana juga diperbarui pada tahun 2004, dan sekarang menjamin otonomi perempuan
serta mengakui kepemilikan perempuan atas tubuh dan seksualitas mereka.
Tahun lalu, gerakan perempuan di Turki sekali
lagi meregangkan otot politiknya dengan menolak amandemen konstitusi yang
diusulkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Developmen
Party/AKP) yang bertujuan untuk menghilangkan klausa “laki-laki dan perempuan
adalah setara” dalam konstitusi yang ada sekarang. Karena penolakan ini, upaya
amandemen ini pun gagal.
Perempuan dan LSM-LSM perempuan di Turki
tidak boleh kehilangan arah tujuan mereka, terutama selama atmosfir
militeristik masih berlangsung. Mereka harus terus bekerja berdampingan untuk
mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan perempuan harus
memanfaatkan momentum dan pengaruh politik yang telah mereka bangun selama
tahun-tahun terakhir ini dengan terus mendorong solusi-solusi yang adil dan
tanpa kekerasan mencapai tujuan-tujuan mereka.
Bacaan:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/dr-marzukimag/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag_.%20Tinjauan%20Hukum%20Islam%20tentang%20Wanita.pdf
diakses pada 28 November Pukul 10.00 WIB
http://www.commongroundnews.org/article.php?id=24924&lan=ba&sp=0diakse
pada 28 November Pukul 10.30 WIB
Skripsi
–ilmiah.blogspot.com/2012/04/perjuangan politik-kaum-perempuan-di.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar