Selasa, 26 November 2013

PEREMPUAN, AGAMA, DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM

Makalah Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Relasi Gender dalam Agama - agama
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh, M.A.
Oleh :
Dede Ardi Hikmatullah
NIM : 1111032100037
Ida Zubaedah
NIM : 1111032100032



JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

A.  PENDAHULUAN
Dalam pengantar sebuah buku bertemakan kesetaraan gender, Quraish Shihab menyatakan bahwa dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Kodrat manusia merupakan keseluruhan sifat-sifat asli dan kemampuan dan bakat asli yang dimiliki manusia sejak diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sejak dalam kandungan Ibu hingga mati. Begitupun dengan laki-laki atau perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan memiliki kodratnya masing-masing. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan memang tidak dapat disangkal, namun itulah kodrat. Dan perbedaan itu pun sebatas pada segi biologis saja. Sementara di sisi lain, dapat dipastikan bahwa tidak ada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir antara laki-laki dan perempuan dan peran social yang diberikan masyarakat untuk perempuan dan laki-laki nah itulah yang disebut dengan gender, jadi disini jelas sekali perbedaan antar gender dan kodrat.
Berkenaan dengan kedudukan laki-laki dan perempuan, Quraish Shihab juga menyatakan bahwa jenis laki-laki dan perempuan itu sama di hadapan Allah. Memang ada ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa: “Para lak-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (isteri)”. Namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarkannya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi al-Qur’an memerintahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan dan dari sisi lain al-Qur’an memerintahkan pula agar suami dan misteri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama. Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan isteri, laki-laki dan perempuan, adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat al-Qur’an menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan.
Dulu, keadaan perempuan memang sangat “mengkhawatirkan”. Sebagai contoh, di mata orang-orang Yunani zaman dulu, perempuan sering dilecehkan dan diejek. Bagi mereka, perempuan sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan di pasar. Perempuan juga tidak mendapatkan hak bagian harta pusaka dan harta warisan, dan tidak berhak menggunakan hartanya sendiri.[1] Begitu pun di mata orang-orang Romawi zaman dulu, perempuan dianggap sebagai ‘hamba’ laki-laki dan sebagai barang dagangan murah yang dapat dipergunakan sekehendak hati. Hidup perempuan menjadi milik ayahnya, kemudian suaminya, kemudian anak-anaknya.[2] Dan tidak jauh berbeda, di zaman Arab Jahiliyah, perempuan sangat sedikit sekali mendapatkan penghormatan. Perempuan banyak dianiaya, dikucilkan, dan diperjualbelikan. Seorang suami kadang ‘menukar’ istri mereka dengan istri orang lain, dan mereka sering sekali membunuh bayi-bayi perempuan karena dianggap ‘aib’. Lalu kemudian Islam datang dengan membawa ‘perubahan’, khususnya dalam hal kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki. Nabi Muhammad, sebagai tokoh sentral dalam perubahan ini, memang dihadapkan pada berbagai macam hambatan. Namun, karena misi ajaran-ajaran yang dibawanya berisi pembebasan dari berbagai penindasan, maka secara peralahan Islam mampu mencapai ‘kesuksesan’.
Harus diakui bahwa memang agama Islam tidak merinci pembagian kerja antar laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok masing-masing, sembari menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong-menolong.
Dalam makalah ini akan diuraikan secara ringkas bagaimana perempuan dan perubahan sosial dalam Islam. Di dalamnya juga mencakup pembicaraan mengenai kondisi perempuan pra Islam, peran perempuan dalam membangun masyarakat muslim di masa awal Islam, dan terakhir mengenai pengulangan marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam pasca Nabi Muhammad

B.  PEREMPUAN, AGAMA, DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
Gender, sebagaimana halnya kelompok etnis, dalam banyak masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan status seseorang. Dapat dimaklumi bahwa persoalan gender berpotensi untuk menimbulkan konflik dan perubahan sosial, karena sistem patriarki yang berkembang luas dalam berbagai masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan secara kultural, struktural, dan ekologis. Sebagai akibat dari pertumbuhan dan mobilitas penduduk, urbanisasi dan revolusi industri menimbulkan berbagai perubahan sosial, termasuk dalam kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan.[3]
Menurut Johnson, seperti yang dikutip Nasaruddin dalam bukunya “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an”, ada beberapa hal yang dapat menjadi indikator penghambat perubahan sosial dalam kaitannya dengan tuntutan persamaan hak laki-laki dan perempuan, yaitu:

1.    Struktur Sosial
Posisi perempuan masih sering ‘dihadapkan’ dengan posisi laki-laki. Posisi perempuan selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan urusan keluarga dan kerumahtanggaan. Sementara posisi laki-laki sering dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan-urusan di luar rumah. Dalam struktur sosial, posisi perempuan yang demikian itu sulit mengimbangi posisi laki-laki. Perempuan yang ingin berkiprah di lingkungan publik masih sulit melepaskan diri dari tanggung jawab di lingkungan domestik. Perempuan dalam hal ini kurang berdaya untuk menghindar dari beban ganda (double burden) tersebut karena tugasnya sebagai pengasuh anak sudah merupakan persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya agaknya lebih ketat kepada perempuan daripada laki-laki, jika ditilik dari sisi ini.
2.    Perempuan sebagai Kelompok Minoritas Unik
Dalam sejarah, kaum perempuan telah memberikan kontribusi terhadap perjuangan keadilan sosial, misalnya penghapusan perbudakan pada awal abad ke-19 dan perjuangan serikat pekerja di akhir abad ke-19, tetapi ada kecenderungan hal-hal itu dilupakan. Berbeda dengan minoritas dalam soal etnis, ras, dan agama, posisi minoritas  perempuan cenderung kurang dihormati. Di sejumlah negara, kelompok etnis, ras, dan agama minoritas diperlakukan secara wajar, hak-haknya dijamin dan dipelihara. Sementara itu, hak-hak perempuan sebagai salah satu bagian minoritas dalam masyarakat masih banyak belum diperhatikan. Dari dulu dan mungkin sampai saat ini.
3.    Pengaruh Mitos
Dalam budaya di berbagai tempat, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan perempuan dikonstruksi oleh mitos. Dan mitos-mitos tersebut cenderung mengesankan perempuan sebagai the second creation dan the Second sex. D.L Carmodi mengungkapkan bahwa sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan berbagai agama. Pengaruh dari cerita-cerita dalam berbagai kitab suci disebutnya sebagai unmy thological aspects. Karena menurutnya mitologi yang disebutkan dalam sebuah kitab suci meningkat statusnya menjadi sebauh keyakinan. Posisi perempuan yang lemah di dalam masyarakat merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam sejarah panjang umat manusia. Dalam lintasan budaya sendiri, perempuan dalam satu kelompok budaya dengan budaya lainnya ternyata memiliki beberapa kesamaan, seperti yang terdapat dalam mitos di sekitar perempuan. Sebagai contoh mitos perempuan menstruasi, asal-usul kejadian, dan substansi lainnya.
Dan yang menarik adalah, apabila kita mengkaitkan perubahan social tersebut dengan Islam. Dalam bukunya, Wanita dan Gender dalam Islam, Laila Ahmed menyimpulkan bahwa Islam telah berperan penting dalam mentransformasikan pandangan social-keagamaan bangsa Arab menjadi sesuai dengan tradisi bagian lain Timur Tengah, termasuk pandangan stereotip terhadap perempuan.

a.    Kondisi Perempuan Pra Islam
Sebenarnya, bukti arkeologis menunjukkan bahwa wanita dihormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara-kota. Para arkeolog sering kali mengutip Catal Huyuk, sebuah pemukiman zaman Neolitik di Asia Kecil yang berasal dari sekitar tahun 6000 SM, untuk membenarkan bahwa wanita memiliki posisi dominan dan tinggi. Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar dari panggung pemakaman yang ditemukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan serta dekorasi di dinding pemakaman dengan jelas menggambarkan sosok wanita. Temuan-temuan arkeologis lain juga menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan di seluruh Timur Tengah menghormati dewi-ibu pada zaman Neolitik, hingga milenium kedua sebelum masehi di beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan itu menunjukkan bahwa supremasi sesosok dewi dan status tinggi bagi wanita adalah aturan.[4] Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Mesopotamia dan beberapa daerah lainnya.
Dunia Arab, tempat Nabi Muhamad berdomisili dan menerima wahyu al-Qur’an, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia yang letaknya memang bersebelahan dengan Jazirah Arab. Mesopotamia dianggap sebagai titik tolak sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia. Bagian awal dari sejarah peradaban masyarakat Mesopotamia berlangsung dari tahun 3500-2400 SM. Ketika itu masyarakat masih berpola penghidupan berburu untuk laki-laki dan meramu untuk wanita. Ciri masyarakat ketika itu masih bersifat egaliter, penindasan berdasarkan kelas dan jenis kelamin masih relatif sedikit. Kemudian suku-suku atau kabilah diperkirakan sudah ada tetapi masih dihimpun dan dipersatukan oleh satu ikatan suci yang bersifat universal, sehingga membentuk suatu masyarakat yang disebut “kota candi” (templecity).[5] Lalu, pada awal tahun 2400 SM, ketika jumlah penduduk mulai bertambah dan binatang-binatang buas mulai dijinakkan, maka dengan sendirinya masyarakat mengalami perubahan. Ikatan kekeluargaan mulai terkonsolidasi dan pada saat yang bersamaan telah muncul kekaisaran (empire). Dan disebelah utara Mesopotamia berkembang masyarakat suku (tribalsocieties) yang menerapkan sistem kemasyarakatan tersendiri. Mereka mempunyai candi-candi lokal. Kabilah/Suku ini tidak lagi merasa diikat oleh ikatan universal dalam kota-candi, karena mereka sudah hidup dalam suatu komunitas tersendiri. Loyalitas mereka mengalami pergeseran, dari semula ditujukan kepada kuil kemudian ditujukan kepada keluarga dan kabilah mereka. Kondisi seperti ini memungkinkan lahirnya kerajaan yang bersifat lokal.[6]
Sedangkan untuk pusat-pusat perkotaan sendiri pertama kali muncul di lembah sungai Tigris dan Eufrat. Pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks dan semakin pentingnya daya saing militer lebih jauh menancapkan dominasi pria dan melahirkan masyarakat berdasarkan kelas di mana kalangan militer dan elite istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga dibentuk dalam corak patriarkal, yang dirancang untuk menjamin maternitas pewaris kekayaan dan kepentingan pria dalam mengendalikan seksualitas wanita menjadi dilembagakan, dikodifikasikan, dan dijunjung tinggi oleh negara. Dan karena berbagai negara-kota yang berbeda berturut-turut menguasai wilayah Mesopotamia, maka hukum-hukum yang mengatur keluarga patriarkat pun berubah, dengan cenderung secara progresif menjadi lebih keras dan lebih restriktif pada wanita.[7] Misalnya saja, Kode Hammurabi (sekitar tahun 1750 SM). Hammurabi muncul sebagai tokoh yang membangun suatu Kerajaan dan mengembangkan suatu masyarakat multi-kota yang disebut dengan masyarakat Hammurabi. Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, Hammurabi kemudian membuat peraturan-peraturan hukum yang kemudian disebut Kode Hammurabi. Di dalam kode ini, ketentuan-ketentuan khusus yang sifatnya membatasi perempuan sudah diterapkan.[8]Pemberian hak-hak istimewa kepada laki-laki dan pembatasan-pembatasan terhadap perempuan sudah ditemukan dalam kode Hammurabi, seperti ayah atau suami dalam suatu keluarga memegang peranan utama dan kewenangan yang tak terbatas, hak-hak laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan, dan tidak sah suatu perkawinan tanpa restu dan izin dari ayah.[9]
Sekitar abad ke-1000 SM, muncul suatu Kerajaan baru yang lebih kuat dan dominan, yaitu Kerajaan Asyiria. Kerajaan ini juga meninggalkan kumpulan peraturan hukum yang dikenal dengan Kode Asyiria, namun peraturan-peraturan hukum ini sebagiannya merupakan modifikasi dari Kode Hammurabi. Bahkan Louis M. Epstein mengisyaratkan bahwa Kode Asyiria ini lebih ketat lagi pembatasannya kepada perempuan dibanding Kode Hammurabi. Epstein mencontohkan bahwa Kode Asyiria mengatur sampai kepada urusan busana perempuan, misalnya seorang istri, anak perempuan, dan janda keluarga kerajaan atau kalangan terhormat yang akan bepergian atau mengunjungi tempat-tempat umum harus mengenakan kerudung/hijab.[10]Sedangkan wanita dari kalangan bawah dilarang mengenakannya. Aturan-aturan tentang hijab ini dirinci secara hati-hati, sampai-sampai bagi mereka yang ketahuan secara ilegal mengenakan hijab akan dikenai hukuman cambuk, dengan kepala dituangi ter, dan telinga mereka dipotong.[11]
Pada masa-masa berikutnya, entah itu masa kekuasaan Kerajaan Achimed maupun Kerajaan Romawi-Byzantium dan Kerajaan Sasania-Persia, posisi perempuan belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Bahkan cenderung semakin terpojok, karena hukum-hukum yang berlaku di dalam masyarakat adalah perpaduan antara warisan nilai-nilai Mesopotamia dan nilai-nilai religius yang bersumber dari kitab-kitab suci, seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Kitab Talmud. Kitab-kitab suci ini seolah-olah mempersepsikan perempuan sebagai thesecond sex (jenis kelamin kedua), yang harus tunduk dan berada dibawah otoritas laki-laki. Di dalam kitab-kitab ini juga banyak sekali mitos-mitos misoginis(rasa benci terhadap wanita) yang memojokkan perempuan. Mitos-mitos dan kosmologi perempuan ini berkembang luas di kawasan Timur Tengah sampai Islam berkembang di kawasan itu.[12] Khususnya di Jazirah Arab.
Kontinuitas budaya bangsa Arab pra-Islam menurut Lapidus terjadi dalam berbagai bidang, seperti struktur keluarga dan ideologi patriarki. Keluarga masyarakat Arab pra-Islam dapat dibedakan atas lima bentuk, yaitu: kabilah, subkabilah, suku, keluarga besar, dan keluarga kecil. Namun, apapun nama dan bentuk kesatuan sosialnya, kedudukan laki-laki di dalam lima kelompok masyarakat tersebut tetap sentral sifatnya. Segala kebijakan prinsip, baik dalam lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan kelompok terbesar, berada di tangan laki-laki. Sebaliknya, perempuan berada pada posisi yang subordinatif. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam kelompok-kelompok tersebut adalah laki-laki.[13]
Seperti pada umumnya masyarakat dikawasan Timur Tengah saat itu, masyarakat bangsa Arab menganut sistem patriarki. Otoritas bapak/suami menempati posisi yang dominan dan peranannya penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau misteri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab mereka yang sedemikian besar dibanding pihak misteri atau perempuan secara umum. Dalam tradisi masyarakat bangsa Arab, pembagian peran sudah terpola dengan jelas. Laki-laki yang berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga.[14]
Ideologi patriarki memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Laki-laki pada umumnya memperoleh kesempatan lebih besar daripada perempuan untuk memperoleh prestasi dan prestise dalam masyarakat. Selain itu, laki-laki tidak hanya mengontrol dalam bidang sosial ekonomi, seluruh pranata sosial, melainkan juga mengontrol jumlah populasi penduduk dalam suatu kabilah. Jumlah penduduk yang lebih besar daripada sumber daya alam yang dimiliki dakan menimbulkan berbagai masalah. Selain peperangan, yang memiliki efek sekaligus sebagai pengendalian jumlah penduduk, cara lain untuk mengontrol keseimbangan jumlah penduduk ialah pembunuhan bayi. Pembunuhan bayi-bayi perempuan secara selektif dan proporsional dilakukan dalam upaya mencegah kemerosotan standar hidup.
Selain dengan motif ekonomi, pembunuhan bayi perempuan ini kemungkinan dilakukan untuk ide pengorbanan yang diserukan oleh kepercayaan agama. Kemungkinan lainnya, yaitu karena khawatir nantinya akan menikah dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah. Di samping itu, khawatir jika anggota sukunya kalah dalam peperangan akan berakibat pada anggota perempuan akan menjadi harem-harem atau gundik para musuh. Sehingga kelahiran seorang bayi perempuan menjadi aib bagi keluarganya.[15]
Begitulah sedikit gambaran mengenai keadaan perempuan pra Islam. Walaupun disinyalir perempuan ‘sempat’ menduduki kedudukan tinggi, karena pada mulanya masyarakat di beberapa daerah, khususnya Timur Tengah, kebanyakan merupakan masyarakat dengan system matriarki. Namun, kemudian terjadi pergeseran dan peralihan. Bergesernya bentuk tatanan masyarakat itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, masyarakat matriarki berubah menjadi masyarakat patriarki. Hal inilah yang menyebabkan perempuan kemudian ‘terpinggirkan’ dalam kurun waktu yang sangat lama.

b.   Peran Perempuan dalam Membangun Masyarakat Muslim di Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, baik saat Islam itu lahir maupun kemudian saat Islam berkembang, muncul beberapa tokoh perempuan yang mempunyai peren penting. Tokoh-tokoh tersebut tidak lain merupakan orang-orang terdekat dengan pembawa Islam itu sendiri yaitu Rasulullah Muhammad seperti : istri, putri, dan kerabat dekat beliau. Terutama pada masa awal di mana Islam lahir, tokoh perempuan yang berperan merupakan istri dan putri beliau sendiri. Misalnya Khadijah dan Aisyah yang merupakan istri Rasul, dan Fatimah yang merupakn putri beliau.
Kehidupan dan pernikahan dua istri Rasulullah, Khadijah dan Aisyah, membalut jenis-jenis perubahan yang menimpa wanita di Arabia Islam. Khadijah, istri pertama Rasulullah, adalah seorang janda kaya yang, sebelum menikah dengan Rasul, mempekerjakan-nya untuk mengawasi kafilah-nya yang melakukan perdagangan di antara Mekkah dan Syria. Ia melamar dan menikahinya. Waktu itu, ia berusia empat puluh tahun dan Rasul dua puluh lima tahun. Khadijah tetap menjadi istri tunggal hingga wafat pada usia sekitar enam puluh lima tahun. Ia menduduki tempat penting dalam sejarah Islam karena sangat berarti bagi Rasul. Kekayaannya membebaskan Rasul dari mencari nafkah dan memungkinkannya menempuh kehidupan kontemplasi sebelum diangkat menjadi seorang Nabi. Dan dukungan serta kepercayaannya sangat berarti bagi Rasul dalam perjuangannya mendakwahkan Islam.[16] Hadijah adalah orang yang pertama kali beriman. Keimanan wanita kaya dan dewasa yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat ini pastilah mempengaruhi orang lain, khususnya anggota-anggota kabilahnya yang penting, Quraisy, untuk menerima islam.[17]
Menurut tradisi Islam, hanya ada empat orang wanita yang sempurna, dan Khadijah dan Fatimah adalah dua di antaranya.[18] Keduanya adalah ibu rumah tangga, yang karena pengalaman praktek, dapat memikul tanggung jawab yang sudah biasa. Fatimah digambarkan sebagai seorang yang meneruskan apa-apa yang diterima dari Rasul kepada orang lain di tengah-tengah kesibukan hidupnya yang sudah banyak. Suatu kejadian yang tercatat tentang dia menunjukkan besarnya keberaniannya. Pada suatu hari, di Ka’bah, Rasul sedang bersujud sambil berdoa diganggu dan dilempari dengan kotoran. Fatimah lalu membersihkan kotoran-kotoran dari badan ayahnya dan berteriak marah kepada para pengganggu itu.[19]
Fatimah melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri dari Ali, dan rasul sendiri menyenangi kehadiran cucu-cucunya itu: kedua anak laki-laki yaitu Hasan dan Husein, kakak perempuannya yaitu Zainab, dan adik perempuannya yaitu UmiKultsum, yang diberi nama sama dengan nama bibi dari pihak ibu.[20] Dari Zainab ini juga terlahir Ali Zainal Abidin yang kelak memainkan peranan yang terkemuka dalam sejarah.[21]
Dan agaknya, adalah nasib Aisyah yang akan menunjukkan batasan-batasan yang sejak itu mengurung kehidupan wanita muslim: ia dilahirkan dalam keluarga muslim, menikah dengan Rasul ketika masih berusia belia, dan kemudian bersama-sama istri lainnya mulai menjalankan kebiasaan baru berupa hijab dan pingitan. Perbedaan kehidupan Khadijah dan Aisyah –khususnya berkenaan dengan otonomi- mengisyaratkan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh Islam atas wanita Arab.[22] Aisyah menjadi, dan tetap merupakan istri kesayangan Rasul yang tidak diperdebatkan lagi, bahkan ketika ia menambah wanita-wanita lain sebagai istrinya.[23] Sebagai istri kesayangan Rasul, ia juga menerima sejumlah pensiun tertinggi serta diakui sebagai orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang prilaku, ucapan, dan karakter Rasul sehingga ia sering ditanya tentang praktek (sunnah)-nya dan memberi Keputusan tentang berbagai hukum suci atau kebiasaan.[24] Selanjutnya, sesudah wafatnya Rasul, Aisyah dan Umm Salamah bertindak sebagai imam shalat bagi kaum wanita lainnya.[25]
Karena itu, kaum wanita (dan lebih khusus lagi, Aisyah) adalah para penyumbang penting pada teks-teks verbal Islam, teks-teks yang, sesudah ditranskripsikan dalam bentuk tertulis oleh kaum pria, menjadi bagian dari sejarah resmi Islam dan dari literatur yang menegakkan praktek-praktek normatif dalam masyarakat Islam.[26]
Ketika bersembunyi di bebukitan dekat Mekkah, saat Rasul dan Abu Bakar menunggu berakhirnya kegiatan pencarian mereka. Asma’, saudari Aisyah, membawa bekal makanan untuk mereka berdua di malam hari dan membantu membekali unta mereka sewaktu sudah siap berangkat. Setelah mereka berangkat, Asma’ kembali pulang ke rumah dan mendapati serombongan orang Mekkah yang tengah mencari mereka. Ia menuturkan bahwa ketika ia mengaku tidak tahu perihal mereka, ia pun ditampar dengan sangat keras sehingga anting-antingnya terlepas.[27]
Umarah juga turut bertempur dalam sebuah perang di kubu Muslim bersama suami dan anak-anaknya. keberanian dan kemahirannya dalam menggunakan senjata membuat Rasul tahu bahwa ia lebih hebat dari kebanyakan pria. Ummi Umarah terus turut bertempur dalam berbagai perang kamu Muslim semasa Rasul masih hidup dan sesudahnya, sampai ia kehilangan tangannya dalam perang Uqrabah (634).[28]
Dalam masyarakat-masyarakat muslim, hadis menduduki tempat sentral, selain Al-Qur’an sebagai sumber dalam menggali hukum. Dan wanita yang memberikan kontribusi paling besar korpus itu adalah janda-janda Rasul, sekalipun yang lainnya juga dikutip sebagai sumber. Aisyah khususnya, bersama Ummi Salamah dan Zainab sebagai istri kedua yang jauh, adalah seorang ahli hadis penting. Semua orang mengakui bahwa ia secara khusus dekat dengan Rasul. Tak lama sesudah wafatnya Rasul, masyarakat pun bertanya kepadanya ihwal praktek Rasul, dan riwayat-riwayat yang dituturkannya berfungsi menyelesaikan berbagai masalah prilaku dan terkadang masalah-masalah hukum.[29] Bahkan yang lebih penting dari besarnya kontribusi Aisyah dan wanita-wanita lainnya pada hadis adalah bahwa mereka pun memberikan kontribusi bahwa rekan-rekan sezaman Rasul dan keturunan mereka mencarinya dan memasukkan kesaksian mereka bersama dan sejajar dengan kesaksian kaum pria.[30]
Banyak detail lainnya memberi kesaksian atas penghormatan masyarakat pada janda-janda Rasul dan atas bobot yang mereka berikan pada pandangan-pandangan mereka. Diberi uang tunjangan paling tinggi dalam negara, para janda itu tinggal bersama dirumah-rumah dekat mesjid yang pernah mereka tempati bersama Rasul, yang kini merupakan salah satu tempat paling suci dalam islam. Aisyah dan Hafshah, sebagai putri-putri dari dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, memiliki bahkan prestise dan pengaruh lebih baik. Baik Abu Bakar maupun Umar, sebelum wafat, mengamanati seluruh putri dan bukan putra mereka dengan berbagai tanggung jawab penting. Selama sakitnya yang terakhir, Abu Bakar memberi Aisyah tanggung jawab untuk mengatur dana dan kekayaan publik dan membagi-bagikan kekayaannya diantara putra-putrinya yang tengah tumbuh dewasa. Sewaktu Umar wafat, salinan pertama al-Qur’an dipercayakan kepada Hafshah untuk disimpan.[31]
Kisah-kisah perang Uhud menggambarkan kaum wanita, termasuk istri-istri Rasul, secara aktif dan bebas berpartisipasi dalam medan perang kaum pria. Seseorang dilaporkan melihat Aisyah dan istri Rasul lainnya dengan baju panjang mereka tersingsing dan gelang kaki mereka terlihat membawa air dan menghampiri kaum pria di medan perang. Wanita-wanita lainnya di kubu Muslim disebut-sebut sebagai perawat mereka yang terluka dan memindahkan mereka yang gugur dan terluka dari medan perang.[32]
Selain dari kalangan istri dan putri rasul, dari kalangan kerabat juga muncul tokoh perempuan lain, seperti Asma’ yang tak lain merupakan saudari Aisyah, putrid dari Abu Bakar. Ketika bersembunyi di bebukitan dekat Mekkah, saat rasul dan Abu Bakar menunggu berakhirnya kegiatan pencarian mereka oleh oranh-orang Qurais. Asma’ lah yang membawakan bekal makanan untuk mereka berdua di malam hari dan membantu membekali unta mereka sewaktu sudah siap berangkat. Setelah mereka berangkat, ia kembali pulang ke rumah dan mendapati serombongan orang Mekkah yang tengah mencari mereka.Ia kemudian berbohong dengan mengaku tahu menahu perihal mereka. Hal ini membuat ia ditampar sangat keras sehingga anting-antingnya telepas.[33]
Kisah-kisah perang pun ‘tidak ketinggalan’ dalam menggambarkan kegigihan kaum perempuan dalam memainkan peran pentingnya dalam menegakkan Islam. Dalam suatu kisah perang Uhud, digambarkan kaum perempuan, termasuk istri-istri Rasul, secara aktif dan bebas berpartisipasi didalamnya. Seseorang dilaporkan melihat Aisah dan isttri Rasul lainnya dengan abju panjangnya mereka tersinsing dan gelang kaki mereka terlihat membawa air dan menghampiri kaum pria di medan perang. Permpuan-perempuan lainnya di kubu Muslim disebut-sebut sebgai perawat mereka yang erluka dan memindahkan mereka yang gugur dan terluka dari medan perang.[34]
Tokoh Umarah pun menjadi sorotan. Ia juga turut bertempur dalam sebuah peranng di kubu Muslim bersama suami dan anak-ankanya. Keberanian dan kemahirannya dalalm menggunakan senjata membuat Rasul tahu bahwa ia lebih hebat dari kebnyakan pria. UmmUmarah terus turut bertmepur dalam berbagai perang kaum Muslim semasa Rasul masih hidup dan sesudahnya, sampai ia kehilangan tanggnya dalam perang Uqrabah (643).[35]

c.    Marginalisasi Perempuan dalam Sejarah Islam Pasca Rasulullah
Murniati (2004:xx) menjelaskan bahwa marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser ke pinggiran. Marginalisasi merupakan proses pengabaian hak-hak yang seharusnya didapat oleh pihak yang termarginalkan. Namun, hak tersebut diabaikan dengan berbagai alasan demi suatu tujuan. Sebagai contoh, penggusuran lapak dagang yang ada di sekitar alun-alun kota. Demi alasan kebersihan dan keindahan kota maka lapak-lapak tersebut dipindah ke suatu daerah yang masih lapang yang kemudian dijadikan pusat jajanan. Namun, pemindahan tersebut tidak memperhatikan bagaimana kondisi penjualan di tempat tersebut, karena tempat tersebut tidak strategis untuk dijadikan tempat transaksi jual beli (terlalu sepi). Hal tersebut tentu akan merugikan pihak pedagang yang dipindahkan. Hak mereka untuk mendapatkan penghasilan dari berdagang dipinggirkan dan akibatnya mereka jadi bangkrut dan menambah daftar pengangguran.
Dan Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Yuarsi (2006:240) yang menyatakan bahwa posisi dan upah terendah akan dialami oleh perempuan walaupun bila dilihat dari pendidikan dan kemampuan mereka tidak kalah dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan pemilik modal usaha telah memiliki pandangan bahwa laki-laki lebih bisa fleksibel dalam berbagai hal dan perempuan dianggap tidak produktif. Jika perempuan memerlukan cuti hamil, melahirkan, dan jarang yang bisa lembur karena beban ganda mengurus keluarganya di rumah maka tidak demikian dengan laki-laki.
Fatimah memissi dalam Women and Islam : An Historical and Theological Enquiry (1991) menjelaskan kelirunya asumsi yang menyatakan gerakan feminism selalu berasal dari barat. Tidak tepat pula menganggap perempuan Islam yang menginginkan persamaan hak dan derajat dengan kaum laki-laki sebagai kebarat-baratan. Keinginan seperti itu, dalam konteks Islam, merupakan ekspresi kerinduan perempuan Islam akan kondisi ideal yang pernah terjadi. Suatu ideal yang pernah tercipta pada masa Rasulullah, di mana perempuan duduk sama tinggi dengan laki-laki dan saling menghargai satu sama lain.
Sekarang, jika kita berfikir tentang perempuan Islam, maka yang terbayang adalah segala jenis inferioritas. Mereka tidak boleh menjadi pemimpin, menjadi Imam, pergi sendirian, membantah “ajakan” suami atau bersuara keras. Mereka juga harus memakai kerudung, mendidik anak, taat pada suami atau tinggal di rumah. Semua itu larangan sekaligus kewajiban yang harus dijalankan perempuan Islam.
Pertanyaannya adalah : Benarkah ajaran Islam bersifat represif terhadap perempuan? Mernissi berasumsi, keterbelakangan perempuan Islam merupakan penyelewengan sejarah yang dilakukan oara penguasa Islam sepeninggal Rasullullah. Revolusi social yang dibangun Rasulullah, termasuk dalam masalah perempuan, tidak dilanjutkan lagi. Sejarah malah menunjukan, yang muncul kemudian adalah kembalinya nilai-nilai pra-Islam ke dalam kehidupan umat. Ironisnya, praktik seperti ini sedikit banyak juga disahkan oleh penafsiran Islam yang dikembangkan umat islam sendiri. Akibatnya, mempertanyakan kedudukan perempuan dalam Islam sering ditanggapi tidak hanya sebagi ancaman budaya Barat, tetapi juga ancaman terhadap Islam.
Menurut Mernissi, marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam terbentuk karena dua hal. Pertama, semangat tribalisme Arab yang tumbuh kembali setelah rasulullah wafat. Kedua pemahaman ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan lepas dari kaitan historisnya. Kedua proses ini bergandengan bersama membentuk citra perempuan Islam seperti yang sekarang ini di kenal. Kecenderungan lain yang turut memperburuk situasi adalah cara memahami agama secara harfiah, kaku, dan persial. Penafsiran Al-Qur’an yang banayak dilakukan selam ini berkenaan dengan kedudukan perempuan tidak melihat kesalingterkaitan antarteks yang menyebabkan pemahaman menjadi dangkal dan berat sebelah. Selain juga tidak dihiraukannya konteks social, historis, dan cultural pada saat sebuah ayat di turunkan.
Sebenarnya dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang secara jelas dan eksplisit menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan, serta tugas perempuan sebagai manusiayang juga mencakup ruang public, bukan hanya domestic. Salah satu ayat Al-Qur’an yang sering dilupakan adalah QS 9 : 71 – 72,” di mana dinyatakan bahwa orang-orang beriman yang laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah pelindung sebagian yang lain. Mereka memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, memdirikan sholat dan menunaian zakat, serta mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang dirahmati Allah. Allah maha perkasa dan maha bijak. Allah memberi janji kepada orang-orang beriman yang laki8-laki dan perempuandengan taman-taman yang mengalir  di bawahnya bengawan-bengawan, mereka kekal didalamya, dan tempat-tempat kediaman yan elok di taman-taman Aden, sedangkan keridaan Allah lebih besar. Itulah keberuntungan yang agung”.
Dalam kedua ayat itu jelas bahwa orang-orang beriman laki-laki dan perempuan bagian mereka adalah pelindung sebagian yang lain”, ayat ini tidak harus berarti ketaklukan perempuan terhada laki-laki. Tafsir Ruhul Bayan (1991) memaknai dengan “sebagiannya menolong yang lain dalam perkara agama dan dunia mereka, dan sebagiannya mencapai derajat-derajat yang tinggi oleh pendidikan dan penyucian jiwa”. Tidak disebutkan laki-laki maupun perempuan. Adapun Qhurtubi (1967) mengartikannya hanya dengan satu kalimat : “hati mereka menyatu dalam kelembutan, cinta, dan simpati”.[36] Persamaan harakat dan tugas itu diiringi dengan persamaan nasib ukhrawi dalam ayat 72 di atas. Berbeda dari gaya maskulin dalam hal pelukisan wanita, dalam ayat itu tidak ada pernyataan tentang bidadari yang disediakan disurga sebagai imbalan kebaikan manusia. Sebaliknya, pria maupun wanita berhak atas surga yang sama dan keridhaan Allah ang yang sama. Juga mengenai “taman-taman Aden”, yang adalah “tempat tertentu di surga, atau surga khusus untuk para nabi, para shiddiq, para syahid dan mereka yang salih”. Ke surga ini pun wanita dan pria memiliki kesempatan yang sama untuk memasukinnya.
Adapun yang terpenting sehubungan dengan ayat ini adalah tugas perempuan dan laki-laki yang dinyatkan persis sama : salah satunya mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang munkar. Seperti dinyatakan QS 3 : 104, 110, amar makruf dan nahi mungkar adalah istilah untuk seluruh tugas social seorang muslim. Disinilah bisa ditanyaka : bila perempuan hanya boleh memiliki fungsi domestic, bagaimana ia bisa melaksanakan tugas mulia tersebut ?
Sebaliknya bisa dipahami, karena wanita juga memiliki tugas amar makruf nahi mungkar, mereka tentunya yang lebih layak menghadang segala bentuk pelecehan terhadap kaum mereka.[37]
Oleh karena itu, yang dibutuhkan umat Islam sekarang-terutama berkenaan dengan persoalan perempuan adalah upaya penafsiran ualang atas teks keagamaan dalam terang paradigma yang sekarang mendominasi wacana kebudayaan manusia modern, yakni paradigma antroposentris. Meskipun paradigma ini telah “dibunuh” aliran pascastrukturalis melalui kritik atas “metafisika kehadiran”, tatapi setidaknya melalui pemikiran Habermas, antroposentrisma yang bertumpu pada “rasio komunikatif’ masih tetap relevan. Dengan paradigma ini, manusia menjadi “pusat” sehingga konsep mengenai ‘kebenara” (truth) juga berubah. Kebenaran sebenarnya tidaklah berwajah “tunggal”. Sebab manusia sendiri tidak seragam dalam “cadangan pengetahuan” yang dimilikinya, maka sebagai akibatnya tafsir itu pun menjadi seragam. Keragaman itu sendiri merupakan dasar dari kenyataan bahwa “kebenaran” juga ternyat tidak tunggal.
Pemahaman mengenai kebenaran tunggal itu, menurut Herdi SRS dan Ulil Abshar-Abdillah (1994), sebenarnya berkaitan dengan asumsi akan adanya “Sang Aku-Transenden” yang tau segala-galanya mengenai teks, sehingga tafsir dihasilkannya mempunyai “kewenangan tunggal” atas wilayah kebenaran. Maka, ketika “Sang Aku-Transenden” didekonstruksi melalui konsep tenteng “historisitas logos” , maka kewenangan tunggal itu kehilangan daya dukungannya. Disinilah muncul alternative “pluralitas tafsir”. Dalam konteks pluralitas inilah hegemoni tafsir diruntuhkan, dan teks menjadi “hidup” kembali serta terbuka atas semua tafsir. Dengan runtuhnya hegemoni tersebut, runtuh pula “feodalisme teks” pada agama dan ideology yang menjadi awal mula kebekuan pemikiran selama ini.

C.    PENUTUP
Demikian uraian singkat mengenai perempuan dan perubahan social dalam Islam. Memang tidak mudah membicarakan perempuan dan perubahan social apalagi jika dikaitkan dengan agama Islam, karena keduannya telah “ada” dan “terjadi” jauh sebelum Islam “lahir”. Islam menempatkan perempuan pada posisi terhormat dengan caranya yang unik. Namun sejarah panjang antara perempuan dalam Islam menjadikan posisinya terkesan berubah-ubah dan naik-turun. Hal ini disebabkan karena factor-faktor yang tidak sedikit.
Dulu, ketika masyarakat terwujud dengan system matriarki, perempuan menempati posisi yang tinggi. Namun kemudian ketika tatanan masyarakat berubah, posisi perempuan pun berubah. Yang pada awalnya matriarki, beralih menjadi patriarki. Hal ini yang kemudian memaksa perempuan menempati posisi yang rendah. Dan hal itu berlangsung dalam suatu proses yang panjang. Memang hal itu tidak terjadi di semua masyarakat di semua wilayah, karena sudah barang tentu setiap kelompok mempunyai bentuk dan intensitas relasi gender yang berbeda-beda. Namun, sejarah menampilkan wanita dengan posisi tersingkir dalam kurun waktu yang cukup lama, dan itu sangat memprihatinkan.
Begitu pun dalam sejarah Islam. Pada masa awal kelahiran Islam, kalangan perempuan menyebutnya dengan antusias, karena misi Islam ialah pembebasan dari penindasan. Dan banyak tokoh peempuan yang kemudian memegang peran penting dalam pembangunan masyarakat Muslim di masa ini, khususnya pada kebangkitan Islam di Timur. Namun sangat di sayangkan, hal ini kemudian hilang setelah Rasulullah wafat. Sejarah Marjinalisasi perempuan seolah terulang-kembali. Dan itu mungkin terasa sampai saat ini. Dan hal itu mengundang tanda tanya besar, sehingga memerlukan kajian yang lebih mendalam.
Secara sederhana, harus diakui bahwa memang agama Islam tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Islam Hanya menetapkan tugas-tugas pokok masing-masing, sembari menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong-menolong. Baik itu untuk laki-laki maupun untuk perempuan.

 D.  DAFTAR PUSTAKA
·               Ahmed, Leila. 2000. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: PT Lentera Basritama.
·               Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Paramadina.
·               Waddy, Charis. 1987. Wanita dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
·               Azra, Azyumardi, “Membongkar Peranan perempuan dalam Bidang Keilmuan”, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, kumpulan makalah, Jakarta : JPPR, 1999.
·               Jamal, Ahmad Muhammad, Jejak Sukses 30 Wanita Beriman, terjemahan Zaid Husain Al-hamid, cetakan pertama, Surabaya : Pustaka Progressif, 1991.
·               http://adaapanya.com/keadaan-perempuan-sebelum-islam.htm, diakses pada hari selasa 10 September 2013 pukul 21.00
·               http://sebuahkehidupan.com/kedudukan-wanita-sebelum-islam-dan-wanita-kini.htm, diakses pada hari selasa 10 September 2013 pukul 21.30
·               supena, Ilyas dan M. Fauzi. Dekonstruksi dan Rekonstruksi Islam. Semarang : Gama Media, 2002.
·               Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998


[1] http://adaapanya.com/keadaan-perempuan-sebelum-islam.htm, diakses pada hari selasa 10 September 2013 pukul 21.00
[2] http://sebuahkehidupan.com/kedudukan-wanita-sebelum-islam-dan-wanita-kini.htm, diakses pada hari selasa 10 September 2013 pukul 21.30
[3]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), hlm.  84-85
[4] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), hlm. 3-4
[5]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), hlm.  93
[6]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 94-95
[7]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 4-5
[8]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 95
[9]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 97
[10]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 99
[11]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 8
[12]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 100
[13]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 124-125
[14]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 128-129
[15]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h. 135-138
[16]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h.  46-47
[17]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 54
[18]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 87
[19]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, h. 86
[20]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, h. 87
[21]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, h. 90
[22]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 47
        [23]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 59
[24]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 72
[25]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 73
[26]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 53
[27]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 58
[28]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 85
[29]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 89
[30]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 90
[31]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 91
[32]Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 62
[33] Laila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 58
[34] Laila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 62
[35] Laila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h.85


Tidak ada komentar:

Posting Komentar