RELASI GENDER DALAM ISLAM
(Revisi)
Dosen Pembimbing: Hj. Siti Nadroh, MA
Disusun
untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Relasi Gender dalam Agama-Agama
Oleh:
Ifa Nur Rofiqah
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang
terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai
kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan
manusia. Sesama manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu
Tuhan. dihadapan Tuhan yang paling utama adalah kualitas takwanya.[1]
Lagi-lagi
ayat al-Qur’an surat al-Hujarat/49: 13 inilah yang dijadikan dasar untuk
memahami kesataraan gender di dalam Islam. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan
semata yang memiliki hak untuk melakukan penilaian, bukan manusia.
Beberapa
teori mengenai kesetaraan peran laki-laki dan perempuan yang umumnya
dikemukakan oleh para feminis didasarkan pada pertanyaan mendasar “apa peran
perempuan?”.
Dari
sinilah menarik untuk dibahas mengenai kesetaraan gender, terutama di dalam
agama Islam, yang pada umumnya perbincangan tentang perempuan dalam Islam
selalu berujung pada kesimpulan bahwa Islam tidak ramah pada perempuan. Apalagi
pendapat tersebut didukung oleh ayat al-Qura’n dalam surat An-Nisa/4: 34,
sebagai berikut:
الرَجال قوَامون على النَساء بما فضَل الله
بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم
Artinya:
“laki-laki
itu pelindung bagi perempuan, karena Allah telah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)
telah memberikan nafkah dari sebagian harta mereka”.
Berangkat
dari permasalahan tersebut diatas maka dalam makalah ini ingin melihat dan menganalisa bagaimana konsep yang ditawarkan
dan di kemukakan Islam dalam memandang kesetaraan gender antara laki-laki dan
prempuan.
BAB
II
RELASI GENDER DALAM ISLAM
Ketika
risalah Islam hadir pada 15 abad yang silam, ajarannya secara substansial telah
menghapuskan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Islam memandang
perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki, kalaupun ada
perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan
agama kepada masing-masing jenis kelamin sehingga perbedaan yang ada tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan
mereka saling melengkapi dan bantu membantu. Hal ini ditegaskan dalam firman
Allah Swt. Dalam surat An-Nisa/4: 32.[2]
Adanya
perbedaan fungsi pada lelaki dan perempuan merupakan hal yang bersifat kodrati.
Sebagaiman firman Allah surat Al-Lail/92: 3-4, sebagai berikut:
وما
خلق الذكر والأنثى () إنَ سعيكم لشتَى ()
Artinya:
“Demi
penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang
berbeda-beda”.
Ajaran
tauhid membawa kepada keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis
kelamin, gender, ras, suku bangsa dan bahkan agama. Islam diyakini oleh para
pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (agama yang menebarkan rahmat
bagi alam semesta). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam
terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Ukuran
kemuliaan seseorang dihadapan Allah Swt. Adalah prestasi dan kualitas takwanya,
tanpa membedakan jenis kelaminnya (al-Hujurat/49 :13). Semua manusia tanpa
dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid dan
kholifah (an-Nisa’/4: 124 dan an-Nahl/16: 97).[3]
Fakta
sejarah menjelaskan bahwa perempuan merupakan sosok yang dijunjung tinggi
martabatnya di masa Rasulullah Saw. Kehadiran Nabi Saw. mampu melakukan
perubahan yang sangat radikal dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum
perempuan. Dari posisi perempuan sebagai objek yang dihinakan dan di lecehkan
menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Bahkan, dengan kehadiran Nabi
Saw. Dia mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah
tradisi arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Selanjutnya Nabi mempromosikan
posisi ibu sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah di
tengah masyarakat yang memandang ibu hanyalah mesin produksi. Nabi juga
menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandang
sebagai objek seksual belaka.
Hanya
saja, dalam perjalanan sejarah Islam yang harus bersentuhan dengan budaya
perluasan yang masih sangat patriarkis (Persia, Asiria, dan sebagainya), sangat
mempengaruhi penafsiran dan pemaknaan terhadap ayat-ayat suci yang telah ada,
sehingga kesan dominasi lelaki menjadi semakin kental. Celakanya, umat Islam
banyak yang terjebak dengannya, sehingga hasil ijtihad para ulama yang kemudian
terumus dalam teologi Islam, fiqih, ataupun keilmuan yang lain tadi, dianggap
sebagai ajaran agama yang tidak bisa diotak-atik.[4]
Oleh
karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha untuk membongkar pemahaman terhadap
teks-teks agama yang selama ini dijadikan sebagai alat legitimasi bagi jalan
pikir yang bersifat patriarkis tersebut, yang masih jauh dari keadilan Gender.
Upaya-upaya yang dapat mengembalikan pemahaman guna menuju tercapainya relasi
kesederajatan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dikehendaki oleh
ajaran al-Qur’an dan hadis Nabi, perlu digalakkan terutama dalam tataran
ilmiah, untuk selanjutnya bisa disosialisasikan kepada masyarakat.[5]
Prof.
Dr. Nasaruddin Umar dalam bukunya yang
berjudul Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci, mengatakan bahwa ada
beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisis
prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur'an. Variabel-variabel tersebut
antara lain sebagai berikut :
o Laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai hamba. (Q.S al-Dzariyat/51: 56). Hamba ideal dalam
al-Qur’an diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan
untuk mencapai derajad muttaqun ini tidak dikenal adanya jenis kelamin,
suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
o Laki-laki dan
perempuan sebagai khalifah di muka bumi. (Q.S al-A’rof/6: 165 dan Q.S
al-Baqoroh/2: 30). Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai
kholifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekholifaannya di bumi.
o Laki-laki dan
perempuan menerima perjanjian primordial. (Q.S al-A’rof/7: 172). Seperti
diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih
dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Perjanjian Primordial artinya Ikrar semua manusia di alam ruh
dengan disaksikan malaikat.
o
Adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Drama Kosmis: Cerita
tentang Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi. Semua ayat yang
menceritakan tentang drama kosmis selalu menekankan kedua belah pihak secara
aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa.
o Laki-laki dan
perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi. (Q.S Ali Imran/3: 195, Q.S
an-Nisa’/4: 124, Q.S an-Nahl/16: 97 dan Q.S gafir/40:40).
Pandangan
teologis terhadap perempuan yang berpengaruh luas di masyarakat, anatara lain
adalah, Pertama, Perempuan Diciptakan dari tulang rusuk kiri adam dan
dengan demikian perempuan subordinasi laki-laki.
Secara
kodrati lelaki dan perempuan merupakan makhluk Tuhan yang memiliki
perbedaan-perbedaan sekaligus persamaan-persamaan. Namun, hal itu bukan berarti
yang satu lebih unggul/utama dari pada yang lain sehingga menyulut terjadinya
diskriminatif. Adanya perbedaan dan persamaan antara keduanya merupakan
sunnatullah yang sengaja diciptakan Allah demi kelangsungan hidup generasi
manusia dalam mengemban tugas kekholifaan di bumi ini.
Tentang
proses penciptaan manusia, selama ini mayoritas orang meyakini bahwa manusia
pertama yang diciptakan oleh Allah Swt. Adalah adam, seorang laki-laki dan
barulah Hawa, pasangan hidupnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Q.S
an-Nisa’/4: 1, sebagai berikut:
ياأيّها
النّاس اتّقوا ربّكم الّذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا
كثيراونساء واتّقواالله الّذى تساءلون به والأرحام انّ الله كان عليكم رقيبا
Ayat
ini secara gamblang menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dari nafs
wahidat, dan istrinya juga diciptakan dari unsur itu. Tapi al-Qur’an tidak
menjelaskan didalam ayat tersebut apa yang dimaksud dengan nafs wahidat.
Sehingga timbul berbagai pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut.
Penafisiran
pertama berasal dari sebagian ulama’, menurutnya kata nafs wahidat di
tafsirkan dengan diri yang satu (Adam), kemudian istrinya diciptakan dari Adam
itu. Timbulnya penafsiran tersebut nampaknya dipengaruhi oleh sebuah hadis Nabi
yang menegaskan bahwa perempuan diciptakan Allah dari tulang rusuk, yang
artinya: “sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling
bengkok dari tulang rusuk itu adalah yang paling atas. Oleh karenanya, jika
kamu paksa meluruskannya, dia akan patah dan (sebaliknya) jika kamu
membiarkannya, dia akan selalu bengkok”. (Ibnu Katsir, 1992: 553).
Para
ulama’ klasik menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan hadis itu, sehingga
terbentuklah opini bahwa bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam;
bahkan al-Zamaksyari yang dianggap sebagai mufasir muktazilah yang rasional
menganut paham ini.
Penafsiran
kedua diungkapkan oleh tokoh feminis
muslimah, seperti Riffat Hasan, ia membantah anggapan bahwa perempuan
diciptakan dari tulang rusuk, pemahaman ini serupa dengan penafsiran Yusuf Ali,
kata nafs wahidat berarti a species, a nature, a similarity.
Riffat Hasan berpendapat bahwa perempuan dan lelaki diciptakan dari bahan yang
sama. Ajaran yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
bertentangan dengan al-Qur’an. Karena al-Qur’an sendiri tidak pernah
menjelaskan secara eksplisit (qoth’i) bahwa istri Adam diciptakan dari tulang
rusuknya, al-Qur;an hanya berkata: “Tuhan menciptakan darinya istrinya”. Jadi
tidak pernah menyebut kata tulang rusuk. Pada ayat-ayat lainnya lafadh nafs tidak
menunjuk kepada diri Adam secara khuus, melainkan menunjuk kepada berbagai
pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti ‘jiwa’, ‘jenis atau
bangsa’, sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf/12: 53, al-Fajr/89: 27,
at-Takwir/81: 14, al-Infithor/82: 7, an-Nahl/16: 72, ar-Rum/30: 21,
at-Taubah/9: 128 dan lain-lain. Dari uraian diatas jelaslah bahwa perempuan
menurut al-Qur’an bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari unsur
yang sama dengan unsur Adam yaitu tanah.[6]
Penafsiran
lain juga sependapat dengan Riffat Hasan seperti Muhammad Rashid Ridho
(kalangan ulama’). Dalam Tafsir Al-Mannar, Ridho mengesankan bahwa
tradisi pemahaman yang mempersepsikan Hawa dari tulang rusuk kiri Adam, bukan
bersumber dari al-Qur’an tetapi pengaruh ajaran Kitab Suci sebelumnya, “Seandainya
tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama
(kejadian 2:21) niscaya pendapat keliru tidak pernah terlintas dalam benak
seorang muslim. Dan pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Fatimah
Mernissi dan Muhammad Iqbal.[7]
Kedua, larangan
keterlibatan perempuan dalam bidang kepemimpinan. Stidaknya ada tiga alasan
mengenai hal tersebut;
1.
Q.S an-Nisa’/4: 34, “الرَجال
قوَامون على النَساء” (laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan).
2.
Hadis yang menyatakan bahwa perempuan kurang cerdas dibandingkan
dari laki-laki, begitu juga dalam sikap keberagamaannya.
3.
Hadits yang menyatakan, “lan yufliha qaumun wallau amrahum
imra’atan” (tidak berbahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan
kepada perempuan).
Ayat
maupun hadis tersebut mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum
laki-laki dan menegaskan kaharusan perempuan mengakui kepemimpinan ini.[8]
Ada
beberapa penafsiran yang dikemukakan tentang ayat 34 tersebut. Para mufassir
klasik seperti, Qurthubi cenderung menafsirkan ayat tersebut dengan melihat
aktivitas laki-laki sebagai pencari nafkah, penguasa, hakim dan juga tentara.
Sementara Ibnu Abbas secara khusus menafsirkan kata qawwamun sebagai
pihak yang memiliki kekuasaan atau wewnang. Al-Zamakhsyari, seorang tokoh
mu’tazilah terkemuka menegaskan baha kata itu berarti laki-laki, wajib ber-amar
ma’ruf nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa kepada rakyatnya.
Jadi laki-laki diyakini sebagai makhluk yang berkuasa.[9]
Berbeda
dari penafsiran diatas yang menafikan keberadaan perempuan untuk terjun dalam
ranah politik. Untuk itulah dilakukan penafsiran ulang secara proporsional,
bahwa ayat itu bertujuan untuk mengatur mekanisme intern dalam keluarga, bukan
kepemimpinan bagi dunia publik. Karena yang dimaksud dengan ar-rijal itu
suami-suami, dan an-nisa’ adalah istri-istri. Wajar jika suami menanggug
beban nafkah keluarganya, menjadi kepala keluarga. Namun bukan berarti istri
menjadi terjajah, apalagi jika istri juga ikut bertanggung jawab terhadap
tegaknya ekonomi keluarganya.
Fazlur
Rahman berpendapat bahwa ayat itu bukan penegasan perbedaan hakiki, tetapi
fungsional. Artinya jika istri dapat mandiri dibidang ekonomi, atau paling
tidak dapat memberi konstribusi bagi keluarganya, maka keunggulan suami
otomatis akan berkurang.
Dan
menurut Amina Wadud Muhsin, kata qawwamun tidaklah dimaksudkan
menegaskan superiorotas melekat pada setiap laki-laki. Yang dilebihkan Allah
adalah sebagian mereka atas sebagian yang lain. Dan ini realitas sejarah, bukan
normatif sehingga ayat ini berlaku umum, artinya, kelebihan yang dimiliki oleh
sebagian laki-laki atas lelaki yang lain dapat berlaku juga dikalangan
perempuan atas perempuan yang lain. Oleh karena itu, kedudukan suami sebagai
kepala keluarga pun masih patut dipertanyakan jika realias yang mendukungnya
kurang memadai.[10]
Jelas
sekali bahwa al-Qur’an memuji ratu Balqis dari negeri Saba, yang artinya,
menurut al-Qur’an tidak ada larangan bagi tampilnya pemimpin perempuan di
berbagai arena, sampaipun memimpin bangsanya. Sebab jika sekiranya Allah
melarang tampilnya perempuan menjadi pemimpin, tentu tak akan ada cerita
semacam itu dalam al-Qur’an.
Status
Perempuan dalam Qur’an, Hadis dan Fiqih
a.
Status Perempuan dalam al-Qur’an
Banyak ajaran al-Qur’an yang secara langsung ataupun tidak
langsung, menuju kepada terwujudnya kesetaraan gender. Pernyataan-pernyataan
al-Qur’an tentang posisi perempuan dapat dilihat dalam beberapa ayat
sebagaimana berikut:
-
Perempuan adalah mahluk ciptaan Allah yang mempunyai kewajiban sama
untuk beribadat kepadaNya (Q.S Adz-Dzariyat/51: 56)
-
Perempuan adalah pasangan bagi kaum laki-laki (Q.S An-Naba’/78: 8)
-
Perempuan bersama-sama dengan kaum laki-laki juga akan
mempertanggung jawabkan secara individu setiap perbuatan dan pilihannya (Q.S Maryam/19:
93-95)
-
Sama halnya dengan kaum laki-laki mukmin, para perempuan mukminat
yang beramal sholeh dijanjikan Allah untuk dibahagiakan selama hidup di dunia
dan abadi di surga (Q.S An-Nahl/16: 97)[11]
Banyak contoh yang bisa di tunjuk, misalnya Islam tidak pernah
mendiskreditkan perempuan sebagai makhluk yang mudah tergoda ataupun yang
menjerumuskan laki-laki. Maka semua ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang
Adam dan Hawa selalu memakai kata ganti untuk dua orang/dlomir mutsanna (Q.S
al-Baqarah/2: 35-36 dan al-A’rof/7: 19-23).[12]
Kaum perempuan di masa Rasulullah Saw. Digambarkan sebagai
perempuan yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-Qur’an figur
ideal perempuan Islam (muslim) sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam
berbagai bidang kehidupan, diantaranya pertama, muslimah harus memiliki
kemandirian politik, al-istiqlal al-siyasah, sebagaimana firman Allah
Swt. Dalam surat al- Mumtahanah/60: 12. Juga perempuan seperti figur Ratu
Bilqis pemimpin kerajaan Superpower. Hal ini juga termaktub dalam kitab suci
al-Qur’an surat An-Naml/27: 23, sebagai berikut:
اِنِّى
وَجَدْتُ امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍوَّلَهَا عَرْشٌ
عَظِيْمٌ
Artinya:
“
Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia di
anugrahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar”.
Kedua, kemandirian
dalam bidang ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (Q.S an- Nahl/16: 97). Hal
ini juga digambarkan sebagaimana cerita tentang figur perempuan pengelola
peternakan dalam kisah Nabi Musa As. di Madyan. Dalam al-Qur’an Allah Swt.
Berfirman dalam surat Al-Qashash/28: 23.
Ketiga, kemandirian
dalam menentukan pilihan pribadi, al-istiqlal al-syahkshi yang diyakini
kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami bagi perempuan yang sudah
menikah. Ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut adalah surat
at-Tahrim/66: 11. Atau keberanian menentang pendapat orang banyak, sesuai
dengan ayat Allah dalam al-Qur’an surat at-Tahrim/66: 12.
Adapun jika dijumpai ayat-ayat khusus bagi lelaki, seperti seorang
suami setingkat lebih tinggi di atas istri (Q.S al-Baqarah/2: 228), lelaki
pemimpin bagi perempuan (Q.S an-Nisa’/4: 34), lelaki memperoleh warisan lebih banyak
dari perempuan (Q.S an-Nisa’/4: 11 dan 176), lelaki menjadi saksi efektif (Q.S
al-Baqarah/2: 282), boleh berpoligami (Q.S an-Nisa’/4: 3) dan sebagainya.
Menurut Nasaruddin Umar, tidak menyebabkan lelaki menjadi hamba utama.
Kelebihan tersebut diberikan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang
memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika al-Qur’an diturunkan. Oleh
karena itu sekiranya dijumpai ayat-ayat tersebut yang bernuansa dominasi pihak
tertentu, ataupun bisa ditafsirkan untuk mendominasi pihak tertentu, seharusnya
dicermati untuk senantiasa diselaraskan dengan ide moral kesetaraan diatas.[13]
Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, sebagaimana halnya kitab-kitab
suci agama lain, diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa
budaya. Karena itu, kitab suci memiliki dimensi kemanusiaan, disamping dimensi
keilahian. Ketika ajaran suci itu berinteraksi dengan beragam budaya manusia
tidak mustahil apabila masing-masing dari masyarakat mempunyai penafsiran yang
berbeda-beda. Perbedaan penafsiran tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya adalah karena pebedaan tingkat intelektualitas dan pengaruh latar
belakang sosio-kultural dan sosio historis. Selain itu, teks-teks al-Qur’an
sendiri mengandung makna-makna literal dan simbolis.
b.
Status Perempuan dalam hadis
Agak berbeda dengan al-Qur’an, yang nampak dalam hadis selama ini,
posisi perempuan terpinggirkan, sekalipun dijumpai hadis-hadis yang memandang
respek terhadap perempuan. Seperti hadis Nabi riwayat Abu dawud dan Tirmidzi:
اِنَّمَا
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya:
“laki-laki
adalah saudara kandung perempuan” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam hadis tersebut ditegaskan makna “saudara” mengandung arti
kesetaraan, kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak-hak asasi manusia,
pembelaan atas oang-orang yang mengalami kedzaliman, serta rasa senasib dan
sepenanggungan.[14]
Selanjutnya, Nabi juga mengatakan bahwa perempuan itu harus
dihormati dan dicintai. Sabda beliau: “dunia ini adalah kesenangan dan yang
paling menyenangkan adalah perempuan yang sholihah”. (HR. Muslim dan
an-Nasa’i)[15]
Namun lebih banyak lagi teks hadis yang memojokkan perempuan,
seperti: penghuni neraka kebanyakan perempuan; perempuan kurang akalnya;
perempuan kurang agamanya; setiap bepergian wajib seizin suaminya; jika menolak
ajakan suami di tempat tidur akan dilaknati sampai pagi. Dan sebagainya.
c.
Status Perempuan dalam Fiqih
Fiqih[16]
yang kita kenal sekarang merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad
pertengahan. Selanjutnya suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk
semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk
kurun waktu tertentu, namun belum tentu
cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi hasil ijtihad itu cocok untuk
masyarakat tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lainnya yang
memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda.[17]
Dalam dunia fiqih, asumsi dan opini minor terhadap perempuan
nampaknya cukup merajai, sehingga rumusan fiqih sering kali memposisikan
perempuan dalam the second class. Jadi, fiqih yang sebenarnya merupakan
hasil pemahaman para ulama’, yang melibatkan penalaran, dipengaruhi oleh
subjektivitas mujtahidnya, dan bertujuan untuk kemaslahatan umat tersebut.
Sehingga ia dianggap sebagai barang paten dari sononya, dan tak boleh dirubah
sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, terhadap rumusan fiqih yang
telah ada, para mujtahid masa kini dapat juga melakukan kajian ulang
terhadapnya, misalnya dengan memakai metode pemahaman kontekstual.
Harus bisa kita fahami bahwa Status perempuan dalam fiqih mempunyai
peranan yang berbeda dengan laki-laki, perbedaan-perbedaan tersebut merupakan tuntutan
dan ketetapan hukum yang masing-masing disesuaikan dengan kodrat dan jati diri.
Dintara perbedaan-perbedaan tersebut menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya
yang berjudul Perempuan, ialah sebagai berikut:[18]
- Warisan
Dalam surat an-Nisa’/4: 11 dinyatakan: “Allah mewasiatkan kamu
untuk anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan...”.
Pemberian warisan untuk anak laki-laki sebanyak dua kali lipat anak
perempuan, bukan saja disamping anak laki-laki ketika menikah berkewajiban
memberi nafkah dan mahar bagi keluarganya, melainkan juga karena lelaki secara
umum memiliki keistimewaan dalam bidang pengendalian emosi dibanding perempuan.
Ini menunjukkan bahwa pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus
didahulukan dari pada pengendaliannya
atas dasar emosi.
Melihat hal ini, Fazlur Rahman menawarkan suatu metode
pemahaman/penafsiran al-Qur’an secara kontekstual, yakni memperlakukan
al-Qur’an secara utuh kemudian memahaminya dengan mempergunakan teori
hermeneutik.[19]
Memang, secara tekstual bagian perempuan adalah separo dari bagian laki-laki.
Tetapi perlu diingat, pada waktu itu, yakni sebelum turunya ayat tadi, perempuan
di Arab tak pernah diperhitungkan sebagai pewaris. Jika kemudian al-Qur’an
memberi bagian (biarpun hanya ½), itu berarti sudah merupakan prestasi. Dan
pada waktu itu rumusan lebih tepat, sebab jika tiba-tiba dari yang semula tidak
diperhitungkan kemudian diberi bagian yang sama dengan lelaki, hanya akan
menimbulkan frustasi dikalangan lelaki, dan hal ini berbahaya bagi Islam.
Apalagi perempuan Arab pada umumnya tidak memiliki tanggung jawab sebagaimana
perempuan Indonesia masa kini.[20]
Apabila direnungkan lebih jauh, sebenarnya perbedaan pembagian
harta warisan satu berbanding dua (1:2) sebagaimana disyariatkan oleh Islam
seperti ditegaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4: 11, tidak didasarkan status
seseorang, melainkan atas tugas dan tanggung jawab. Dalam hal ini, kaum
laki-laki mendapat beban jauh lebih berat daripada yang dipikulkan di atas
pundak perempuan.
- Keharusan
adanya wali bagi perempuan dalam perkawinan
Sebelum menguraikan jalan pikiran ulama’ yang menetapkan syarat
tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa tidak semua ulama’ berpendapat
demikian. Ada empat pendapat menyangkut hal tersebut.
Pertama, mengharuskan
adanya wali. Imam syafi’i penganut pendapat ini. Kedua, membolehkan
perempuan melakukan pernikahannya selama ia telah memperoleh izin dari walinya.
Pendapat ini antara lain dianut oleh Abu Yusuf. Ketiga, membolehkan
perempuan mengawinkan dirinya sendiri atau mewakilkan orang lain untuk
mengawinkannya, demikian pendapat mazhab Hanafi dan Syi’ah Imamiyah. Keempat,
syarat persetujuan wali hanyalah bagi gadis, sedangkan janda boleh
menikahkan dirinya.
Interpretasi teks ayat-ayat yang berkaitan dengan perwalian dapat
menimbulkan aneka pendapat yang kesemuannya tidak mengandung kepastian tentang
kebenaran atau kekeliruannya, atau dapat juga dikatakan kesemuannya benar,
tergantung dari kasus dan situasi yang dihadapi. Karena itu, bila seseorang
tidak menyetujui syarat tersebut, bisa saja ia menganut pendapat lain dan, dengan
demikian, tidak perlu berkata bahwa Islam melecehkan perempuan dengan syarat
itu.
- Kewajiban iddah
bagi perempuan
Tidak ditetapkannya oleh Islam kewajiban iddah bagi lelaki
merupakan salah satu dampak dari perbedaan perempuan dengan laki-laki dari segi
seksual. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa perempuan lebih mampu menahan
dorongan seksualnya dari pada laki-laki, baik karena rasa malu maupun oleh
faktor-faktor biologis dan psikologis lainnya.
- Hak talak di
tangan suami
Tuntutan agar hak talak atau menceraikan yang pada dasarnya
diletakkan oleh al-Qur`an ditangan suami, agar istripun memperoleh hak
tersebut. Sebenarnya, Islam tidak menutup kemungkinan bagi para istri untuk
menuntut cerai melalui pengadilan atau apa yang diistilahkan dalam hukum Islam
dengan khulu’. Bahkan, dalam pandangan madzab Hanafi, seorang perempuan
boleh mensyaratkan dalam akad pernikahannya bahwa menalak berada dalam
wewenangnya bukan pada suaminya. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ini menurut
penganut madzab itu baru berlaku bila calon suami menyetujui karena hak pada
mulanya diberikan Allah pada suami.
Qosim Amin menentang pilihan sepihak, yaitu dari pihak pria dalam
soal perkawinan. Menurut pendapatnya, wanita harus diberi hak yang sama dengan
pria dalam memilih jodoh. Oleh karena itu ia menuntut supaya istri diberi hak
cerai.
Tugas dan
Kewajiban Suami dan Istri
Kitab suci al-qur’an menggaris bawahi bahwa suami maupun istri
adalah pakaian untuk pasangannya. Allah Swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah/2:
187 yang artinya sebagai berikut:
“Mereka (istri-istri kamu)
adalah pakaian bagi kamu (wahai para suami) dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka”.
Ayat ini menggaris bawahi sekian banyak hal yang harus disadari
oleh suami dan istri guna terciptanya keluarga sakinah. Kalau pakaian berfungsi
menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia, demikian pula pasangan suami
istri harus saling melengkapi dan menutupi kekuragan masing-masing. Kalau pakaian adalah hiasan bagi pemakainya,
maka suami adalah hiasan bagi istrinya, begitu pula sebaliknya (baca Q.S
Al-A’rof/7: 26). Kalau pakaian mampu melindungi manusia dari sengatan panas dan
dingin (Q.S An-Nahl/16: 81), suami
terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya harus pula mempu melindungi
pasangan-pasangannya dari krisis yang kesulitan yang mereka hadapi. Walhasil,
suami dan istri saling membutuhkan.[21]
Berikut akan diuraikan lebih jelas tentang tugas serta kewajiban antara suami dan istri.
a.
Kewajiban suami/Hak istri[22]
Hak-hak
istri yang menjadi kewajiban suami ada dua macam yaitu hak-hak kebendaan yang
meliputi mahar dan nafkah serta hak-hak bukan kebendaan seperti: hak dihargai,
dihormati dan perlakuan baik, hak dilindungi dan dijaga nama baiknya, serta hak
dipenuhi kebutuhan kodrat biologisnya.[23]
- Membayar mahar.
Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa’/4: 4.
- Memperlakukan
dan menggauli istri sebaik mungkin. Firman Allah didalam surat An-Nisa’/4: 19.
Hal yang menjadi sebab al-Qur’an berulang-ulang menyerukan kepada pihak suami
untuk memperlakukan istri dengan baik-baik adalah munculnya superioritas suami
atas istrinya. Dalam posisi ketergantungan tersebut khususnya dari segi
ekonomi, kekerasan berdasarkan jenis kelamin (gender) sangat mudah terjadi.
- Memberikn
nafkah, pakaian dan rumah / tempat tinggal yang layak dan baik. Hal ini
berdasarkan firman Allah surat at Thalak/65: 7, dan al-Baqarah/2: 233. Dan juga
didasarkan dari hadis yang artinya sebagai berikut: “Dari Jabir, rasulullah
Saw. Bersabda: ...bertakwalah kepada Allah tentang perempuan, karena mereka
itulah setengah umur dari kalian. Kalian mengambilnya dengan amanah Allah,
menjadikan halal kemaluannya dengan kalimah Allah. Kalian berkewajiban
memberikan nafkah, pakaian kepadanya dengan makruf”. (HR. Muslim).
Laki-laki
dan perempuan diberi kelebihan oleh Allah untuk saling melegkapi. Dalam
pandangan Islam laki-laki diberi kelebihan ketegaran fisik dan perempuan diberi
organ-organ reproduksi yang keduanya diarahkan untuk menjalankan fungsi
regenerasi. Karena secara biologis perempuan harus menjalankan fungsi
reproduksi, maka kebutuhan-kebutuhan finansial dibebankan kepada laki-laki.
Oleh karena itu nafkah harus diarahkan sebagai upaya mendukung regenerasi dan
bukan sebagai legitimasi superioritas laki-laki.
- Suami
memelihara dan menjaga istrinya. “suami yang paling baik adalah yang paling
baik kepada istrinya”. (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)[24]
Juga
suami berperan sebagai penjaga gawang atau pertahanan yang utama dan terakhir
dalam perkembangan pergerakan kehidupan rumah tangga. Allah berfirman dalam
surat al-Baqarah/2: 228. Ayat ini seringkali dijadikan alasan untuk menganggap
perempuan lebih rendah dari laki-laki secara muthlak.
Padahal
menurut Abduh dalam kitabnya al-mannar mengemukakan bahwa “keutamaan laki-laki
tersebut tidak dapat dilepaskan dari tugas dan kewajiban dalam memberikan
perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga”. Ini berarti bila seorang
laki-laki tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut dan yang menjadi tulang
punggung keluarga adalah istri, maka kelebihan itu sudah barang tentu menjadi
milik perempuan (istri). Dengan demikian, kelebihan yang dimaksudkan oleh ayat
ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin seseorang.[25]
b.
Kewajiban Istri/hak suami[26]
Hak
suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan,
seperti hak untuk ditaati dan hak memberi pelajaran. Maksud hak memberi
pelajaran adalah bahwa apabila terjadi kekhawatiran suami jika istrinya
bersifat membangkang.[27]
- Istri hendaklah
ta’at kepada suami dalam melaksanakan urusan rumah tangga selama suami
menjalankan ketentuan-ketentuan Islam yang berhubungan dengan kehidupan suami
istri. Rasulullah Saw. Bersabda dalam sebuah hadis yang artinya sebagai
berikut:
“Tidak
ada kewajiban taat dalam berbuat maksiat kepada Allah. Kewajiban taat iu hanya
untuk perbuatan yang baik”. (HR.
Bukhori Muslim)
- Berdiam diri di
rumah, tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami
(Baca surat Al-Ahzab/33 : 33), dan juga dalam hal ini Ibnu taimiyah
dalam bukunya Majmu al-Fatawa mengatakan:
لا يحل
للزوجة أن تخرج من بيتها إلا بإذنه وإذا خرجت من بيت زوجها بغير إذنه كانت ناشزة
عاصية الله ورسله ومستحقه للعقوبة
Artinya:
“seorang istri haram keluar dari rumahnya kecuali ada izin dari suaminya.
Apabila ia keluar rumah tanpa ada izin dari suaminya, maka istri tersebut sudah
dipandang sebagai istri yang berbuat nusyuz, berdosa kepada Allah dan Rasul-Nya
serta ia berhak mendapat hukuman.”
- Taat dan tidak
menolak apabila diajak berhubungan badan
عن ابي
هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن
تجيئ لعنتها الملا ئكة حتى تصبح) رواه البخارى ومسلم
Artinya:
“dari Abu Hurairah, rasulullah Saw bersabda: apabila suami meminta istrinya
berhubungan badan, lalu istrinya itu menolak dan enggan, maka ia akan dilaknat
oleh malaikat sampai pagi hai tiba”. (HR. Bukhori Muslim)
- Tidak
mengizinkan orang lain masuk ke rumah, kecuali ada izin dari suami. Hal ini
dasarkan pada hadis berikut:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لا تأذن المرأة في بيت زوجها وهو شاهد إلا بإذنه)
رواه مسلم
Artinya:
“Rasulullah Saw. Bersabda: seorang istri dilarang mengizinkan orang lain masuk
kedalam rumahnya kecuali ada izin dari suaminya”. (HR. Muslim)
- Dilarang
melakukan puasa sunnah ketika si suami ada kecuali ada izinnya. Dalam hal ini
mari kita simak pada hadis berikut:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه ولا
تأذن في بيته إلا بإذنه) رواه البخارى
Artinya:
“Rasulullah Saw. Bersabda: haram bagi seorang istri melakukan puasa sunnat
ketika suaminya ada kecuali dengan izinnya. Demikian juga seorang istri tidak
boleh mengizinkan orang lain masuk kedalam rumahnya kecuali ada izinnya”. (HR.
Bukhori).
- Tidak
menginfakkan hartanya kecuali ada izin dari suami.
Hal
ini didasarkan pada hadis berikut ini:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا تنفق امرأة شيئا من بيت زوجها إلا بإذن زوجها)
رواه ابو داود الترمذي وابن ماجه بسند حسن
Artinya:
“Rasulullah saw. Bersabda: seorang istri tidak boleh menginfakkan sebagian
harta suami kecuali ada izinnya”. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah dengan
sanad Hasan).
- Istri mengurus
dan menjaga rumah tangga suami, termasuk mengasuh dan memelihara anak dan rumah
tangga (QS. An-Nisa/4: 34)[28]
- Mensyukuri
pemberian suami, selalu mersa cukup dan melayani suami dengan baik . berikut penjelasan dari sebuah hadis:
عن عبد
الله بن عمر وقا ل : قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لا ينظر الله إلى امرأة
لا تشكر لزوجها وهي لا تستغنى عنه) رواه النسائى
Artinya:
“Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah Saw. Berkata: Allah tidak akan
memperhatikan seorang istri yang tidak pernah mensyukuri pemberian suaminya,
juga tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya kepadanya”
(HR. Nasa’i).
- Berdandan dan
mempercantik diri di hadapan suami
وقد
سئل النّبيّ ص م عن خيرالنّساء قال : (الّتي تطيعه اذا أمره, وتسره اذانظر, وتحفظه
فى نفسها ومالها) رواهالنّسائى
Artinya:
“Rasulullah Saw. Pernah di tanya tentang istri yang baik. Beliau menjawab:
apabila diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu
menjaga diri dari harta suami (manakala suaminya tidak ada)”. (HR. Nasa’i).
- Tidak berbuat
sesuatu yang dapat menyakiti dan tidak disukai suami
قال
النّبيّ . ص. م : (لا تؤذي امرأة زوجها فى الدّنيا الاّ قا لت زوجته من الحورالعين
: لا تؤذيه قاتلك الله فاءنّما هو دخيل عندك يوشك أن يفارقك الينا) رواه التّرمذى
وابن ماجه بسند حسن
Artinya:
“Rasulullah Saw. Bersabda: tidak ada seoarng istripun yang menyakiti suaminya
di dunia, kecuali istrinya dari bidadari surga akan berkata: janganlah kamu
menyakitinya, Allah akan membinasakan kamu. Dia itu adalah simpanan bagi kamu
kelak yang hampir saja ia berpindah kepada kami”. (HR. Turmudzi, Ibnu Majah
dengan sanad Hasan).
- Tidak boleh
meminta talak tanpa ada alasan syar’i yang jelas
قال
النّبيّ ص. م :( أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غيرما بأس فحرام عليها رائحة
الجنّة) رواه التّرمذى وابوا داود وابن ماجه
Artinya:
“Rasulullah Saw. Bersabda: wanita mana saja yang meminta untuk ditalak kepada
suaminya tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium baunya Surga”.
(HR. Turmudzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
- Berkabung
selama 4 bulan 10 hari ketika suaminya meninggal. Firman Allah dalam surat
al-Baqarah/2: 234.
Islam menempatkan posisi perempuan sederajat dengan laki-laki. Hak
an kewajiban suami istripun diformulasikan secara jelas dan seimbang oleh
al-Qur’an. Dalam kehidupan berkeluarga, porsi tugas dan tanggung jawab suami
istri hendaknya dibagi secara adil. Adil tidak mesti berarti tugas dan tanggung
jawab keduanya sama persis melainkan dibagi secara proporsional, tergantung
dari kesepakatan bersama.
Rumusan-rumusan fiqih, baik yang secara langsung mengacu pada bunyi
teks al-Qur’an dan hadis maupun hasil istinbat para mujtahid, pada dasarnya
sama-sama bisa dikaji ulang, dan mungkin membuahkan rumusan baru. Misalnya
tentang kesaksian perempuan, didomonasi laki-laki dalam persoalan
nikah-talak-rujuk, masalah hukum waris, keterkungkungan perempuan dalam rumah,
kekuasaan lelaki terhadap perempuan, kepemimpinan perempuan di berbagai level
dan sebagainya. Perlu memperoleh perhatian untuk dapat ditinjau kembali.[29]
Signifikansi
Interpretasi Baru bagi Kesetaraan Gender
Agama hadir tidak hanya untuk membawa misi kedamaian, tetapi juga
membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan, ketidakadilan dan
keterbelakangan. Secara garis besar, ideal moral setiap agama adalah sama,
seperti dalam memandang nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi,
pluralitas dan kesetaraan. Namun dalam beberapa ayat yang termuat secara
eksplisit mengarah pada bias gender, seolah-olah mengunggulkan jenis kelamin
tertentu.[30]
Dalam memahami teks suci tersebut secara sepintas dan tidak mendalam
menyebabkan terjadi distorsi penafsiran, bahkan tereduksi sedemikian rupa,
seolah-olah agama melakukan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu.
Turunnya teks suci, biasanya tidak steril dari berbagai persoalan yang
mengitarinya, sedang terjadi apa, kepada siapa teks tersebut ditujukan,
bagaimana kondisi masyarakat saat teks itu turun, metode apa yang digunakan
untuk mendekatinya, siapa yang melakukan interpretasi dan adakah intervensi
penguasa yang turut membentuk. Pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang
komprehensip karena untuk memahami gender dikaitkan dengan agama tidak mudah
diterima masyarakat.
Realitas ketidakadilan sosial dimasyarakat, termasuk di dalamnya
ketidakadilan gender terabaikan karena norma yang dibangun atas nama tafsir
agama tidak dapat dipertemukan dengan realitas umat beragama. Bagi yang
mempertahankan teks secara normatif, akan terjebak pada sikap dualistik yakni,
disatu sisi norma yang tidak boleh bergeser, disisi lain realitas umat yang
terus berkembang.
Berbeda halnya jika penafsiran teks suci mengacu pada pendekatan
emansipatoris, maka peristiwa (realitas) menjadi titik tolak untuk direspon
oleh agama (teks suci), kemudian dilakukan analog dengan pendekatan historis dan
sosiologis dengan mengacu pada tujuan hukum Islam yakni, nilai-nilai universal
agama seperti, keadilan, kesetaraan, dan HAM. Sedangkan pendekatan dan instrumen lain sebagai
pendukung penafsiran dapat berubah sesuai masalahnya. Gender akan terakomodasi
dengan baik melalui cara seperti ini karena salah satu dari nilai-nilai
universal tersebut adalah keadilan dan kesetaraan gender.
Oleh karena itulah dewasa ini beberapa pemikir muslim kontemporer
mengkritisi secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies khususnya
paradigma keilmuan fiqh. Bagi mereka fiqh dan implikasinya bagi pranata
sosial terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan
perkembangan zaman, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan hudud,
hak asasi manusia, hukum publik, perempuan, dan pandangan tentang non
muslim.
Perempuan menjadi terpinggirkan disebabkan:
1.
Kurangnya jumlah perempuan dibidang kajian kitab suci, menyebabkan
dominasi laki-laki sangat besar.
2.
Kuatnya hegemoni laki-laki dalam sistem kehidupan sebagai akibat
dari kasus pertama, dimana laki-laki menafsirkan dengn mengesampingkan
perspektif perempuan.
3.
Adanya kontrol terhadap materi sejarah, dimana citra perempuan
dipandang rendah. Hal ini juga dikuatkan oleh kebijakan politik dan ekonomi
yang dicarikan legitimasi agama.
Untuk
merubah cara pandang masyarakat atau individu terhadap sesuatu yang diyakini
benar menurut agama sama sulitnya dengan merubah budaya yang telah mendarah
daging dimasyarakat.
Berikut
beberapa tokoh feminis muslim yang akan memberikan sumbangan berarti dalam
perkembangan pemikiran Islam, khususnya yang terkait dengan perspektif gender. Para
tokoh yang dimaksud adalah: Qosim Amin dari Mesir, Amina Wadud Muhsin dari
Malaysia (sekarang di Amerika Serikat), Fatimah Mernissi dari Maroko, dan
Asghar Ali Engineer dari India.[31]
1.
Qosim Amin dari Mesir
Qosim Amin menegaskan bahwa separo dari penduduk dunia adalah kaum
perempuan. Karena itu, membiarkan mereka dalam kebodohan berarti membiarkan
potensi separo bangsa tanpa manfa’at. Dan karena inilah umat Islam mengalami
kemunduran. Qosim Amin sangat terpesona dengan masyarakat Barat (Eropa) yang
pada waktu itu sudah sangat maju dan tidak membeda-bedakan perempuan dengan
laki-laki dalam memperoleh kesempatan meraih pendidikan yang baik.
Ia menentang pilihan sepihak, yaitu dari pihak pria dalam soal
perkawinan. Menurut pendapatnya, wanita harus diberi hak yang sama dengan pria
dalam memilih jodoh. Oleh karena itu ia menuntut supaya istri diberi hak cerai.
Sungguhpun poligami disebut dalam al-Qur’an, ia berpendapat bahwa Islam pada
hakikatnya menganjurkan monogami.
Ia juga mengritik pendapat yang mengatakan perempuan seharusnya
adalah berada pada ranah domestik yang lebih baik berada di rumah saja. Menurutnya
justru memingit perempuan di rumah dan membatasi ruang geraknya bertentangan
dengan syari’ah yang mensejajarkan dua jenis kelamin itu dalam berbuat dan
bertanggung jawab.
2.
Amina Wadud Muhsin dari Malaysia
Dalam bukunya Qur’an and Women, Amina mengawali
pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada
mengenai perempuan dalam Islam. Metode penafsiran yang digunakan Amina adalah
metode yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman, yaitu metode neomodernis.
Pembahasan Amina mengenai kedudukan perempuan dalam buku tersebut
cukup ringkas dan terkesan simpel. Namun dalam buku tersebut ia menonjolkan
semangat egalitarianisme. Ia tidak menganggap matriarkisme adalah alternatif
bagi patriarkisme yang selama ini dituding sebagai penyebab ketersudutan
perempuan. Ia menginginkan suatu keadilan dan kerja sama antara kedua jenis
kelamin tidak hanya pada tataran makro (negara, masyarakat), tetapi juga sampai
ke tingkat mikro (keluarga). Hal ini dapat dilihat dengn jelas dari penafsiran
Amina Wadud terhadap ayat al-Qur’an surat an-Nisa/4: 34, yang diuraikan secara
rinci pada bab analis ayat-ayat gender.
3.
Fatimah Mernissi dari Maroko
Fatimah Mernisi (1940), dalam berbagai karyanya, ia menafsirkan
kembali teks-teks klasik Islam dengan perspektif feminis. Menurutnya sekalipun
Islam bermaksud memberikan posisi perempuan setara dengan laki-laki, tetapi
jika misoginis yang berasal dari pra Islam masih bercokol, maka
kesetaraan sulit terwujud.
Melalui bukunya
the Vell and the Male Elite: A Feminist Interpretation of women’s Right in
Islam, Mernissi mengupas penyebab ketersudutan perempuan sepeninggal Nabi
Muhammad Saw. Dan juga melakukan peninjauan ulang terhadap hadis-hadis yang
dinilai menyudutkan perempuan pada posisi yang rendah dan hina.
Dalam sebuah artikel yang berjudul Can We Women Head a Muslim
State? Mernissi mengemukakan perdebatan para ulama’ mengenai boleh tidaknya
perempuan menjadi pemimpin pemerintahan. Satu pihak dari mereka mengatakan,
perempuan boleh saja menjadi kepala negara, karena Islam memberi hak yang sama
kepada perempuan dan laki-laki. Satu pihak lain mengtakan, perempuan tidak
dapat menduduki jabatan kepala negara. Karena ada hadis yang melarang perempuan
untuk menduduki jabatan semacam itu. Setelah meneliti alasan-alasan dari kedua
belah pihak yang bertentangan diatas, Mernissi melihat bahwa alasan pihak yang
membolehkan perempuan menduduki jabatan kepala negara lebih bisa diterima,
terutama alasan yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali, seorang ulama’
dari Universitas Azhar Kairo (Mesir), sebagaimana yang dituangkan dalam bukunya
al-sunnat al-nabawiyyat bain ahl al hadis.
4.
Asghar Ali Engineer dari India
Berkaitan dengan perempuan Asghar menganggap bahwa meskipun
al-Qur’an memuliakan perempuan setara dengan laki-laki, namun semangat itu
ditundukkan oleh patriarkisme yang telah mendarah daging dalam kehidupan
berbagai masyarakat, termasuk kaum muslim. Meskipun secara normatif dapat
diketahui bahwa al-Qur’an memihak kepada kesetaraan status antara kedua jenis
kelamin, secara konstekstual al-Qur’an mengakui adanya kelebihan laki-laki
dibidang tertentu dibanding perempuan. Dalam proses pembentukan syari’ah, ayat-ayat
yang berkaitan dengan masalah perempuan sering ditafsirkan sesuai dengan
prasangka-prasangka yang diidap oleh bangsa Arab dan non Arab pra Islam, yakni
peradaban Hellenisme dan Sassanid mengenai perempuan. Dengan demikian,
interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’n sangat tergantung pada sudut pandng
dan posisi apriori yang diambil penafsirnya.
Mengenai ayat al-Qur’an “al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa” (Q.S
an-Nisa/4: 34) Asghar mengatakan, kata qawwam dalam ayat itu berarti
pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga, dan al-Qur’an tidak mengatakan
bahwa laki-laki harus menjadi qawwam. Menurutnya, jika Allah memaksudkan
ayat tersebut sebagai sebuah pernyataan normatif, maka pastilah hal itu akan
mengikat semua perempuan di semua zaman dalam semua keadaan. Namun, Allah tidak
menghendaki hal tersebut. Untuk menguatkannya Asghar mengutip pendapat-pendapat
dari beberapa pakar seperti Parves, seorang penafsir al-Qur’an terkemuka dari
Pakistan, Maulana Azad, pelopor hak-hak perempuan, dan Maulana Umar Ahmad
Usmani yang pada prinsipnya mengatakan bahwa Allah tidak melebihkan laki-laki
atas perempuan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konsep Islam menyumbangkan suatu sistem sosial yang adil terhadap kaum
perempuan. Islam memandang perempuan
adalah sama dengan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Ajaran Islam tidak
secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan,
tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan
yang lainnya secara biologis dan sosio kultural saling memerlukan dan dengan
demikian antara satu dengan yang lain masing-masing mempunyai peran.
Ajaran Islam secara substansial telah menghapuskan diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan. Islam memandang perempuan mempunyai kedudukan
yang sama dengan laki-laki, kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah akibat
fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis
kelamin sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa
memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan bantu
membantu.
Al-Qur’an, contoh yang bisa ditunjuk misalnya, Islam menegaskan
adanya pembagian warisan bagi perempuan, karena semula mereka tak pernah
diperhitungkan. Juga Aisyah merupakan tiga besar perawi hadis Nabi, merawikan
sebanyak 3150 hadis, terdiri dari berbagai tema seperti masalah keluarga, kewanitaan,
ibadah dan sebagainya.
B.
Saran
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, begitu bunyi
pepatah, tidak ada manusia sempurna, penulis adalah manusia biasa yang jauh
dari kesempurnaan, dengan kerendahan hati dengan pikiran yang terbuka penulis
mohon kepada pembaca untuk dapat menyampaikan kritik dan saran guna perbaikan
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
H. Anshari LAL. Penafsiran Ayat-Ayat Gender Menurut Muhammad
Quraish Shihab. Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008
Mufidah Ch. “Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Konteks
Sosial Budaya dan Agama” diakses pada 14 September 2013 dari ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/download/1910/pdf
Musdah
Mulia, Siti. Islam dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Naufan Pustaka,
2010
Musdah
Mulia, Siti. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Kibar
Press, 2006
M.
Abdul Hamid dan Nur Fadhilah. Undang-Undang Perkawinan dan Marginalisasi
Perempuan.
M.
Quraish Shihab. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005
M.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 1996
Nasuton,
Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang, 2011
Saepulloh
Darusmanwiati, Aep. “Serial Fiqih Munakahat V: Hak dan kewajiban Suami Isteri”
Sayyid,
"Hak dan Kewajiban Suami dan Istri dalam Islam" diakses pada 11
September 2013 dari
http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2013/04/09/hak-dan-kewajiban-suami-istri-dalam-islam/
“Tafsir al-Misbah: Kasus Penciptaan Wanita” diakses pada 28
September 2013 dari http://rasailmedia.com/index.php/en/13-artikel/7-tafsir-al-misbah-karya-muhammad-quraish-shihab
Tahido
Yanggo, Huzaemah. Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia,
2010
“Tuntutan
Kesetaraan Gender (Musawah al-Jinsiyyah)” di akses pada 14 September 2013 dari http://lbm.mudimesra.com/2012/03/tuntutan-kesetaraan-gender-musawah-al_18.html
Amar, H. Nasaruddin. Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci. Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000
Yasid, Abu. Fiqh Today
Fatwa Tradisional untuk orang Modern 3 Fiqh Keluarga, Erlangga
Zuhrah, Fatimah “Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam”
diakses pada 10 September 2013 dari http://filsafat.kompasiana.com/2013/05/04/kedudukan-perempuan-dan-kesetaraan-gender-dalam-pandangan-islam--557073.html
_____.
Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif
Hidayatullah, 2003
[1]
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta:
Kibar Press, 2006), h. 3
[2]
Huzaemah Tahido Yanggo. Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 83
[3]
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 60
[4]
_____. Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif
Hidayatullah, 2003), h. 205
[5]
Ibid, h. 205
[6]
_____. Pengantar Kajian Gender, h. 211-212
[7]
Nasaruddin Umar. Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci. (Jakarta: PT.
Fikahati Aneska, 2000), h. 33
[8]_____.
Pengantar Kajian Gender, h. 213
[9] Ibid, h. 213
[10]
Ibid, h. 214
[11] Fatimah Zuhrah “Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam”
diakses pada 10 September 2013 dari
http://filsafat.kompasiana.com/2013/05/04/kedudukan-perempuan-dan-kesetaraan-gender-dalam-pandangan-islam--557073.html
[12]
_____. Pengantar Kajian Gender, h. 221
[13]
_____. Pengantar Kajian Gender, h. 222
[14]
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 10
[15]
M. Quraish Shihab. Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. XIV
[16]Fiqih
adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah, karena
itu tentu saja sifatnya tidak absolut dan tidak pasti (zhanni). Lih.
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 60
[17]
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h. 9
[18]
M. Quraish Shihab. Perempuan, h. 287
[19]
Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, “hermeneus” berarti penafsir atau
penerjemah. Teori hermeneutika terutama digunakan untuk menafsirkan teks-teks
masa silam dan menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Prosesnya, pertama
kali ada teks masa silam lalu teks itu dilihat sebagai satu kesatuan yang
koheren, kemudian ditafsirkan, setelah itu perbuatan-perbuatan aktor aau pelaku
dijelaskan berdasarkan bahan-bahn sejarah. Dengan demikian nuansa sebuah teks
masa silam itu dapat dimengerti dan dapat dijelaskan. Teori ini dikembangkan
oleh F.D Schleiermacher (1766-1834). Lih. Nasaruddin Umar. Bias Gender dalam
Penafsiran Kitab Suci. H. 51
[20]
_____. Pengantar Kajian Gender, h. 220
[21]
M. Quraish Shihab. Perempuan, h. 172-173
[22]
Aep Saepulloh Darusmanwiati “Serial Fiqih Munakahat V: Hak dan kewajiban Suami
Isteri”
[23]
M. Abdul Hamid dan Nur Fadhilah. Undang-Undang Perkawinan dan Marginalisasi
Perempuan.
[24]
Huzaemah Tahido Yanggo. Fikih Perempuan Kontemporer, h. 71
[25]
M. Abdul Hamid dan Nur Fadhilah. Undang-Undang Perkawinan dan Marginalisasi
Perempuan.
[26] Aep Saepulloh Darusmanwiati “Serial Fiqih
Munakahat V: Hak dan kewajiban Suami Isteri”
[27] M.
Abdul Hamid dan Nur Fadhilah. Undang-Undang Perkawinan dan Marginalisasi
Perempuan.
[28]
Huzaemah Tahido Yanggo. Fikih Perempuan Kontemporer, h. 71
[29] ________. Pengantar Kajian Gender, h.
224
[30] Mufidah Ch. “Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam
Konteks Sosial Budaya dan Agama” diakses pada 14 September 2013 dari ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/download/1910/pdf
[31]
Marzuki. Perempuan dalam Pandangan Feminis Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar