Kamis, 28 November 2013

ISLAM DAN KESETARAN GENDER DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA



Nama: Ratna Hildya Astuti
Nim: 1111032100033
Responding paper topic 6

Periode 1912 -1928 yaitu sejak berdirinya organisasi wanita yang pertama “ Poetei Mardika” sampai diselenggarakannya Kongres Perempuan Inndonesia yang pertama. Masa ini di tandai oleh apa yang dinamakan kebangkitan nasional dalam arti bahwa nampak kesadaaran bahwa bangsa pribumi yang berada di bawah penjajahan asing harus mengadakan persatuan-persatuan dalam kalanagan sendiri untuk meninggikan derajatnya. Dalam kalanagan wanita periode ini merupakan periode  pemupukan kesadaran untuk berorganisasi mengadakan usaha-usaha memajukan wanita
Negara dan Ideologi Ibuisme Masa Orde Lama dan Orde Baru
Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis dan memiliki bergaining cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan di masa rejim orde baru? Bila mengunakan definisi tradisonal di mana gerakan perempuan diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan perempuan ketika itu. Apalagi bila definisi tradisonal ini dikaitkan dengan batasan a la Alvarez yang memandang gerakan perempuan sebagai sebagai sebuah gerakan sosial dan politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang memperjuangkan keadilan gender. Dan Alvarez tidak mengikutkan organisasi perempuan milik pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta organisasi perempuan di bawah payung organisasi lain dalam definisinya ini.

Namun definisi baru gerakan perempuan tidak seketat ini, hingga dapat disimpulkan di masa Orba pun telah muncul gerakan perempuan. Salah satu buktinya adalah munculnya diskursus seputar penggunaan istilah perempuan untuk menggantikan istilah wanita.
Gerakan perempuan di masa rejim otoriter Orba muncul sebagai hasil dari interaksi antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro berhubungan dengan politik gender orba dan proses demokratisasi yang semakin menguat di akhir tahun 80-an. Sedangkan faktor politik mikro berkaitan dengan wacana tentang perempuan yang mengkerangkakan perspektif gerakan perempuan masa pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan Women in Devolopment (WID) yang telah mendominasi politik gender Orba sejak tahun 70-an, juga wacana femnisme yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademinis) dan ornop
Pemerintah Orde Baru mempunyai agenda penting, yaitu pemberlakuan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan untuk menggantikan kebijakan orde lama yang menekankan pembangunan ideologi dan politik. programnya berorientasi persoalan praktis yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat. Kaum perempuan ditempatkan sebagai partner manis bagi pembangunan, karena perempuan dianggap sebagai sumber daya pembangunan. Ini terlihat pada blue print pembangunan sebagaimana termaktub dalam GBHN, bahwa “wanita memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan”
Contoh kebijakan pemerintah Orde Baru adalah dibentuknya kementerian khusus urusan wanita, dharma wanita yang dipegang langsung oleh presiden dan wakil presiden sebagai pembina utama dengan istrinya sebagai penasihat utama dan PKK yang menjadi proyek Menteri Dalam Negeri. Secara umum, kelahiran kedua organisasi tersebut tidak terlepas dari situasi sosial politik, sedangkan kepengurusannya berdasarkan jabatan struktural sang suami di pemerintahan, bukan karena intelektual dan kapabilitas seorang perempuan itu sendiri. Otonomi individu perempuan dalam menentukan nasib dirinya diabaikan dan kemudian secara berbarengan disubordinasikan untuk mendukung penuh kepentingan suami.
Adapun wacana tentang perempuan di kalangan intelektual muslim yang berkembang pada saat itu juga berada dalam kerangka ideologi pembangunan. Hal ini dipengaruhi oleh rumusan pemikiran Islam pada saat itu yang berorientasi pada pembangunan. Oleh karena itu baik pemikiran maupun aktivitas sejumlah tokoh intelektual perempuan muslim Indonesia diarahkan untuk mendukung program pembangunan. Sebut saja misalnya Zakiyah Derajat, pemikiran dan praktik sosial keagamaan yang dikembangkan berada dalam koridor kebijakan pemerintah orde baru, termasuk masalah perempuan. Ia terlibat membidani lahirnya lembaga untuk perempuan di lingkungan Depag, yaitu Perwanida (Persatuan Wanita Departemen Agama). Seperti halnya Dharma Wanita, Perwanida memberi kursus-kursus pada istri-istri pegawai agar dapat berperan sebagai pendamping suami yang baik. Dengan demikian politik gender pemerintah Orde Baru telah memberdayakan perempuan bahkan melanggengkan perempuan tetap pada ranah domestik.
Selain Zakiyah Derajat, nama-nama seperti Suryani Tahir dan Tuty Alawiyah15 yang merintis majlis taklim juga dapat dikatakan mewakili satu gerakan perempuan masa Orde Baru. Majlis taklim tersebut kemudian berkembang menjadi satu bentuk gerakan sosial keagamaan perempuan dalam kerangka ideologi orde baru. Tema-tema yang diusung di dalamnya juga meliputi isu penguatan peran domestik perempuan.
Peran Gerakan Perempuan Muslim dalam Memperjuangkan Kesetaran Gender Masa Reformasi
Pada era reformasi ini, wacana Islam tentang perempuan masih terus menjadi perdebatan, dan banyak diwarnai isu politik. Fiqh masih sangat potensial menjadi panglima, padahal dalam fiqih senantiasa terdapat sejumlah pandangan ulama yang kadang bertentangan satu sama lain, dan sangat tergantung pada siapa yang mendefinisikan. Begitu pula dengan wacana kepemimpinan perempuan. Pada tahun 1997, Munas NU di Lombok mengeluarkan fatwa bahwa perempuan dapat berkiprah di ranah publik dan berperan aktif dalam berpolitik. Pada tahun 1999, fatwa itu semacam dianulir oleh munas alim ulama MUI bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
Sementara itu tokoh Muhammadiyah Amin Rais juga tidak mendukung kepemimpinan perempuan. Ia mengatakan bahwa jika masih ada laki-laki yang becus tidak akan memilih perempuan. Senada dengan Amin Rais, Hamzah Haz berpandangan bahwa penduduk Indonesia mayoritas Islam, karenanya perempuan dilarang menjadi presiden. Ketika Megawati menjadi presiden, Hamzah Haz pun beralih pandangan bahwa Indonesia bukan Negara Islam karena itu tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin.
 Perjuangan perempuan masih terus berlanjut untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk kuota 30% pun merupakan hasil perjuangan perempuan yang cukup panjang dan sangat melelahkan, dan juga UU KDRT No 23/2004, yang memberi peluang untuk dapat menciptakan hukum yang lebih adil khususnya bagi perempuan, karena pasal-pasal yang ada dalam UU ini secara keseluruhan mengedepankan pola relasi kemanusiaan dan kebersamaan antara suami istri, bahwa suami istri tidak boleh saling menyakiti dan melakukan tindak kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga, agar terwujud keluarga yang sakinah.
Bacaan
Jajat Burhanudin, Edt Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002
Suryochondro, Sukanti, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Jakarta : CV Raja Wali,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar