Nama:
Ratna Hildya Astuti
Nim:
1111032100033
Responding
paper topic 6
Periode 1912 -1928 yaitu sejak berdirinya organisasi
wanita yang pertama “ Poetei Mardika” sampai diselenggarakannya Kongres
Perempuan Inndonesia yang pertama. Masa ini di tandai oleh apa yang dinamakan
kebangkitan nasional dalam arti bahwa nampak kesadaaran bahwa bangsa pribumi
yang berada di bawah penjajahan asing harus mengadakan persatuan-persatuan
dalam kalanagan sendiri untuk meninggikan derajatnya. Dalam kalanagan wanita
periode ini merupakan periode pemupukan
kesadaran untuk berorganisasi mengadakan usaha-usaha memajukan wanita
Negara dan Ideologi Ibuisme Masa Orde Lama dan Orde Baru
Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan terbilang
cukup dinamis dan memiliki bergaining cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini
mulai tumbang sejak Orde Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan:
adakah gerakan perempuan di masa rejim orde baru? Bila mengunakan definisi
tradisonal di mana gerakan perempuan diharuskan berbasis massa, maka sulit
dikatakan ada gerakan perempuan ketika itu. Apalagi bila definisi tradisonal
ini dikaitkan dengan batasan a la Alvarez yang memandang gerakan perempuan
sebagai sebagai sebuah gerakan sosial dan politik dengan anggota sebagian besar
perempuan yang memperjuangkan keadilan gender. Dan Alvarez tidak mengikutkan
organisasi perempuan milik pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol
serta organisasi perempuan di bawah payung organisasi lain dalam definisinya
ini.
Namun definisi baru gerakan perempuan tidak seketat ini, hingga
dapat disimpulkan di masa Orba pun telah muncul gerakan perempuan. Salah satu
buktinya adalah munculnya diskursus seputar penggunaan istilah perempuan untuk
menggantikan istilah wanita.
Gerakan
perempuan di masa rejim otoriter Orba muncul sebagai hasil dari interaksi
antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro
berhubungan dengan politik gender orba dan proses demokratisasi yang semakin
menguat di akhir tahun 80-an. Sedangkan faktor politik mikro berkaitan dengan
wacana tentang perempuan yang mengkerangkakan perspektif gerakan perempuan masa
pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan Women in Devolopment
(WID) yang telah mendominasi politik gender Orba sejak tahun 70-an, juga wacana
femnisme yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademinis) dan ornop
Pemerintah Orde Baru mempunyai agenda penting, yaitu pemberlakuan
kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan untuk
menggantikan kebijakan orde lama yang menekankan pembangunan ideologi dan
politik. programnya berorientasi persoalan praktis yang berkaitan dengan
kebutuhan hidup masyarakat. Kaum perempuan ditempatkan sebagai partner manis
bagi pembangunan, karena perempuan dianggap sebagai sumber daya pembangunan.
Ini terlihat pada blue print pembangunan sebagaimana termaktub dalam
GBHN, bahwa “wanita memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan”
Contoh kebijakan pemerintah Orde Baru adalah dibentuknya
kementerian khusus urusan wanita, dharma wanita yang dipegang langsung oleh
presiden dan wakil presiden sebagai pembina utama dengan istrinya sebagai
penasihat utama dan PKK yang menjadi proyek Menteri Dalam Negeri. Secara umum,
kelahiran kedua organisasi tersebut tidak terlepas dari situasi sosial politik,
sedangkan kepengurusannya berdasarkan jabatan struktural sang suami di
pemerintahan, bukan karena intelektual dan kapabilitas seorang perempuan itu
sendiri. Otonomi individu perempuan dalam menentukan nasib dirinya diabaikan
dan kemudian secara berbarengan disubordinasikan untuk mendukung penuh
kepentingan suami.
Adapun wacana tentang perempuan di kalangan intelektual muslim yang
berkembang pada saat itu juga berada dalam kerangka ideologi pembangunan. Hal
ini dipengaruhi oleh rumusan pemikiran Islam pada saat itu yang berorientasi
pada pembangunan. Oleh karena itu baik pemikiran maupun aktivitas sejumlah
tokoh intelektual perempuan muslim Indonesia diarahkan untuk mendukung program
pembangunan. Sebut saja misalnya Zakiyah Derajat, pemikiran dan praktik sosial
keagamaan yang dikembangkan berada dalam koridor kebijakan pemerintah orde
baru, termasuk masalah perempuan. Ia terlibat membidani lahirnya lembaga untuk
perempuan di lingkungan Depag, yaitu Perwanida (Persatuan Wanita Departemen
Agama). Seperti halnya Dharma Wanita, Perwanida memberi kursus-kursus pada
istri-istri pegawai agar dapat berperan sebagai pendamping suami yang baik.
Dengan demikian politik gender pemerintah Orde Baru telah memberdayakan
perempuan bahkan melanggengkan perempuan tetap pada ranah domestik.
Selain Zakiyah Derajat, nama-nama seperti Suryani Tahir dan Tuty
Alawiyah15 yang merintis majlis taklim juga dapat dikatakan mewakili satu
gerakan perempuan masa Orde Baru. Majlis taklim tersebut kemudian berkembang
menjadi satu bentuk gerakan sosial keagamaan perempuan dalam kerangka ideologi
orde baru. Tema-tema yang diusung di dalamnya juga meliputi isu penguatan peran
domestik perempuan.
Peran Gerakan Perempuan
Muslim dalam Memperjuangkan Kesetaran Gender Masa Reformasi
Pada era reformasi ini, wacana Islam tentang perempuan masih terus
menjadi perdebatan, dan banyak diwarnai isu politik. Fiqh masih sangat
potensial menjadi panglima, padahal dalam fiqih senantiasa terdapat sejumlah
pandangan ulama yang kadang bertentangan satu sama lain, dan sangat tergantung
pada siapa yang mendefinisikan. Begitu pula dengan wacana kepemimpinan
perempuan. Pada tahun 1997, Munas NU di Lombok mengeluarkan fatwa bahwa
perempuan dapat berkiprah di ranah publik dan berperan aktif dalam berpolitik.
Pada tahun 1999, fatwa itu semacam dianulir oleh munas alim ulama MUI bahwa
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
Sementara
itu tokoh Muhammadiyah Amin Rais juga tidak mendukung kepemimpinan perempuan.
Ia mengatakan bahwa jika masih ada laki-laki yang becus tidak akan memilih
perempuan. Senada dengan Amin Rais, Hamzah Haz berpandangan bahwa penduduk
Indonesia mayoritas Islam, karenanya perempuan dilarang menjadi presiden.
Ketika Megawati menjadi presiden, Hamzah Haz pun beralih pandangan bahwa
Indonesia bukan Negara Islam karena itu tidak ada larangan perempuan menjadi
pemimpin.
Perjuangan perempuan masih terus berlanjut
untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk kuota 30% pun
merupakan hasil perjuangan perempuan yang cukup panjang dan sangat melelahkan,
dan juga UU KDRT No 23/2004, yang memberi peluang untuk dapat menciptakan hukum
yang lebih adil khususnya bagi perempuan, karena pasal-pasal yang ada dalam UU
ini secara keseluruhan mengedepankan pola relasi kemanusiaan dan kebersamaan
antara suami istri, bahwa suami istri tidak boleh saling menyakiti dan
melakukan tindak kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah
tangga, agar terwujud keluarga yang sakinah.
Bacaan
Jajat
Burhanudin, Edt Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2002
Suryochondro, Sukanti,
Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Jakarta
: CV Raja Wali,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar